SINGKIL (Waspada): Ribuan hektare luas kawasan hutan di Kabupaten Aceh Singkil memiliki potensi untuk pengajuan legalisasi kepemilikan lahan, melalui program Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA).
Berdasarkan analisis dan identifikasi yang dilakukan NGO Earthqualizer Foundation, selain program melakukan pemulihan dan restorasi ekosistem yang sebelumnya dilakukan di kawasan hutan hulu Sungai Lae Cinendang atas, mereka juga telah melakukan analisis spasial dan riset.
“Tercatat hingga April 2023, mencapai seluas sekitar 75.472 ha lahan di Aceh Singkil telah tertanam sawit,” kata Irsadul Halim Legalis Tanah Masyarakat Wilayah Singkil-PakPak Bharat, dalam pemaparannya pada workshop Peluang Tantangan Implementasi Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan Melalui Reforma Agraria di Kabupaten Aceh Singkil, yang berlangsung di Aula Bappeda, Senin (22/5).
Dari jumlah 75.472 ha lahan yang tertanam sawit di kawasan hutan tersebut, diperkirakan sekitar 40 persen dari luas wilayah Kabupaten Aceh Singkil.
Dirincikannya, dari jumlah tersebut sekitar 37.234 ha diantaranya berada di dalam Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan perkebunan. Dan sekitar 38.234 ha, berada di luar HGU.
Kemudian untuk luas Hutan Lindung sekitar 9,48 ha, Hutan Produksi 2.845 ha, Hutan Produksi Konversi 1.617 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas 2,31 ha. Kemudian kawasan hutan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 7,30 ha. Dengan total keseluruhan mencapai 4.482,38 ha.
Melalui kegiatan workshop ini diharapkan dapat mencari solusi untuk melegalisasikan kepemilikan lahan masyarakat tersebut. Sebab sebelum ditetapkan sebagai kawasan hutan, mereka sudah bermukim dan sampai turun-temurun di sebagian kawasan tersebut.
“Sehingga tujuannya bagaimana mereka bisa mendapatkan kepastian hukum terhadap lahan yang dikelolanya, dan pemerintah bisa menerima hasil di sektor pajak,” ucapnya.
Lanjutnya, berdasar data yang dimiliki Earthqualizer Foundation hasil analisis pencitraan, jumlah lahan yang ada di Kecamatan Danau Paris ada seluas 418 ha. Yakni di Desa Biskang dan Situbuh-Tubuh.
Kemudian Kecamatan Gunung Meriah ada di Blok 18. Kecamatan Simpang Kanan 243 ha. Masing-masing berada di dalam kawasan hutan. Sehingga total luas keseluruhannya mencapai 949,10 ha. “Semua tanaman sawit itu ditanam dibawah tahun 1997,” ucap Irsadi
Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2017, lahan tersebut telah memenuhi syarat pengelolaan 20 tahun lebih. Dan Hutan Produksi (HP) bisa didorong untuk pengajuan legalisasi kepemilikan lahan melalui program TORA.
Sementara itu hasil analisis tanaman sawit yang masuk dalam Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH), di wilayah Kuta Baharu, Kuala Baru, Simpang Kanan, Singkil, Singkil Utara, Singkohor dan Suro Makmur total luas lahan mencapai 8.599,03 ha. “Dan ini menjadi potensi untuk pengajuan Tora, dan data ini juga ada di Badan Pertanahan Nasional (BPN),” ucap Irsadi.
Kemudian ada analisis tanaman sawit milik petani swadaya mencapai luas 8.374 ha. Masing-masing masuk wilayah Kecamatan Kuta Baharu, Kuala Baru, Simpang Kanan, Singkil, Singkil Utara, Singkohor dan Suro Makmur, terang Irsadi.
Dalam kesempatan itu, Pj Bupati Aceh Singkil Marthunis serangkaian membuka workshop tersebut mengatakan, kepemilikan aset lahan ini salah satu pemicu meningkatnya angka kemiskinan.
“Semoga TORA ini dapat menjadi solusi untuk kepemilikan lahan masyarakat. Sehingga bisa menurunkan angka kemiskinan,” harapnya.
Marthunis menyebutkan, lahan sekitar seluas 949 ha tersebut kapan akan dimutakhirkan, dan selanjutnya apa strateginya untuk memproses legalisasi lahan tersebut, dan kapan targetnya untuk dimaksimalkan.
Kemudian ada kawasan hutan sekitar 500 ha lebih dan sudah diverifikasi teknis oleh KLHK tahun 2020 dan pengusulan sejak 2019, namun sampai ini izin belum keluar, dan tidak tau apa permasalahannya. “Mohon kordinasinya apa yang harus dilakukan Pj, dan itu harus saya selesaikan dan akan segera kita koordinasikan ke KLHK,” ucap Marthunis.
“Terkait kepemilikan aset ini jangan ada kepentingan aset, tumpang aset. Jangan ada ini lahan punya bupati dan punya wakil bupati,” tegas Marthunis.
Koordinator Penatagunaan Kawasan Hutan Bidang Planologi Kehutanan DLH dan Kehutanan Aceh, Husneta Ramly SHut, MSi dalam pemaparannya mengatakan, TORA menjadi jalan tol dalam penyelesaian tanah kawasan hutan.
Dijelaskannya, jenis penguasaan tanah yang dapat diselesaikan dengan TORA yakni kawasan hutan baik hutan konservasi maupun hutan lindung bisa diajukan, jika sudah ada pemukiman dan sudah 20 tahun lebih dikawasan. Kemudian ada fasilitas umum dan sosial.
Di samping itu ada lahan garapan yang sudah dikuasai selama 20 tahun secara terus-menerus.
Dan nanti akan dinilai oleh Tim Perhutanan Sosial. Termasuk pengkajian tanamannya apakah sudah berusia lebih 20 tahun. “Kemudian hutan yang dikelola masyarakat atau hukum adat, juga bisa diselesaikan dengan TORA,” terang Husneta.
Dalam acara itu turut dihadiri Kepala Bappeda Ahmad Rivai SH, Kepala Dinas Pertanahan Syamla MAg, mewakili Kadis Perkebunan Yusfarizal, mewakili Kepala Pertanahan, para Camat Kepala Desa, LSM dan perwakilan Media. (B25)