Pengadilan Negeri Sei Rampah diduga kuat mengeluarkan dua putusan terhadap satu objek tanah di Tualang, Perbaungan. Majelis hakim ditengarai mengindahkan prinsip profesionalisme.
PERBAUNGAN (Waspada): Rumah Gatot, 55, warga Lingkungan VI, Tualang, Perbaungan, Serdang Bedagai (Sergai), Sumut, bersama 6 kepala keluarga lainnya, pekan lalu, dieksekusi (dirobohkan) oleh tim eksekutor Pengadilan Negeri Sei Rampah, Sergai. Mereka diduga kuat menjadi korban permainan mafia tanah.
Menurut keterangan Gatot kepada Waspada.id, Minggu (20/10/2024), dasar eksekusi pihak PN Sei Rampah itu adalah Putusan No.34/PDT.G/2019/PN.SRH dan putusan lain di atasnya yang sudah berkekuatan hukum tetap. “Tapi anehnya, kami tidak pernah diberi fotocopy putusan di atasnya baik yang di Pengadilan Tinggi maupun di Mahkamah Agung,” cerita Gatot.
Gatot dan keluarganya kini terpaksa tinggal menumpang di rumah kerabatnya, hanya beberapa meter dari rumah lama yang sudah tinggal puing-puing. Ia meneruskan membuka usaha perbengkelan yang sudah ditekuni sejak puluhan tahun lalu.
Sebelumnya, di rumah lama, Gatot membuka usaha perbengkelan sekaligus tempat tinggal. Dasar ia membangun usaha dan rumah di jalan lintas Sumatra Perbaungan-Tebing Tinggi itu adalah Surat Keterangan Lurah Tualang, Perbaungan, Nomor 453/470. Surat atas nama Yatimin (orang tua Gatot) itu ditandatangani Kepala Kelurahan Tualang M.Buang (Alm), NIP: 010120148, tanggal 24 Desember 1998.
Belasan tahun Gatot menetap dan menjalankan usahanya tak pernah terjadi sengketa apapun. Belakangan, muncul klaim dan gugatan bahwa tanah itu adalah kepunyaan Amrick.
Berdasarkan penelusuran Waspada.id, Amrick, 64 tahun, warga Medan, menggugat Ramlan dan kawan-kawan (ada 8 tergugat, di dalamnya termasuk tanah Gatot) berdasarkan Surat Penyerahan Tanah tertanggal 20 Juni 1989 yang diketahui dan ditandatangani tergugat VIII (Lurah) dan Camat Perbaungan.
Kemudian, Surat Keterangan Nomor 55/529/2/2001, tertanggal 9 Februari 2001, yang diterbitkan dan ditandatangani oleh tergugat VIII jo Berita Acara Pengukuran tertanggal 8 Februari 2001 atas nama Penggugat (Amrick).
Dalam putusan PN Sei Rampah, Majelis Hakim menyatakan dan menegaskan bahwa kedua surat yang diajukan oleh Amrick selaku penggugat adalah sah dan berkekuatan hukum.Menyatakan Penggugat adalah pemilik sah atas objek perkara seluas 3072 m2 yang terletak di Kelurahan Tualang, Kacamatan Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatra Utara.
Sementara Surat Nomor 453/470 tertanggal 24 Desember 1998 terdaftar atas nama Yatimin (orang tua Gatot) dan Berita Acara Pengukuran tertanggal 24 Desember 1998 yang diterbitkan oleh tergugat VIII (Lurah), termasuk Surat Penyataan Alm Yatimin (Orang tua tergugat I sd tergugat VII) dinyatakan tidak sah oleh hakim.
Ironinya, sekitar tiga tahun kemudian, Majelis Hakim PN Sei Rampah, lewat putusannya Nomor 8/Pdt.G/2022/PN Srh, tanggal 02 November 2022, memenangkan gugatan Nurhayati, 64, terhadap tiga objek tanah yang ditempati hampir 100 tahun oleh keluarga Hermanto Hariantono alias Tongkang, 57, (tergugat I), Tjan Jok Tjing alias Acin, 51, (tergugat II), dan Bunju alias Ayu Gurame, 50, (tergugat III). Di dalam putusan ini, terdapat objek tanah milik Amrick Shing yang sudah diputuskan menang melawan keluarga Gatot.
“Ini aneh, dalam satu objek gugatan ada 2 putusan,” kata warga Dusun IV Kota Galuh yang tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah Gatot.
Dari data yang diperoleh Waspada.id, dasar Nurhayati menggugat objek tanah warga di Dusun IV Kota Galuh adalah Surat Penyerahan Hak tanggal 27 Juli 1979 dari Tengku Raja Gamal Telunjuk Alam kepada Nurhayati, berdasarkan Hak Grand Sultan Serdang Nomor 102 tanggal 17 Mei 1924.
Sementara pijakan warga adalah penguasaan fisik tanah hampir 100 tahun atas izin lisan Yayasan Keluarga Wakaf Darwisjah. “Ini tanah tumpah darah kami, bapak kami, dan kakek kami sejak 1923,” kenang Bunju, yang tersungkur digugat Nurhayati.
Sementara Gatot meyakini ada tindakan kesewenang-wenangan dan kesemberonoan majelis hakim dalam memutuskan dan mengesekusi tanah miliknya dan keluarganya. Sebab, sebagian tanah yang dieksekusi (tanah Gatot dan keluarganya), lebar sekitar 15 meter, diklaim tanah milik Ali Susanto yang berbagi dengan Amrick Shing. “Ini surat pembagian antara Amrick dan Ali Susanto,” kata Gatot sembari menunjukkan bukti fisik surat itu.
Sebelum dieksekusi, apakah pernah ditawarkan ganti kerugian? Menurut Gatot, orang yang mengaku utusan Amrick Shing pernah mendatangi untuk menawarkan ganti rugi. “Mereka menawarkan ganti kerugian sebesar Rp150 juta, tapi kami tolak. Itu tidak adil karena kami ada 7 kepala keluarga,” tegas Gatot.
Gatot dan 6 tergugat lainnya kini lebih memilih pasrah karena mau menggugat ulang ia mengaku tak memiliki dana lagi. “Dulu, waktu sidang-sidang di pengadilan, kami urunan untuk biaya operasional dan menyewa pengacara. Sekarang kami pasrah aja, tidak ada uang lagi untuk melawan,” tutup Gatot dengan nada lirih.(m14)