DELISERDANG (Waspada): Guru Besar Hukum Universitas Pancasila Prof. Agus Surono meminta Satuan Tugas (Satgas) Anti Mafia Tanah dan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk konsisten memberantas perkara sengketa tanah yang diduga melibatkan para mafia tanah.
Hal itu diungkapkan Prof. Agus Surono, kepada Waspada Selasa (21/5), saat diminta tanggapannya, terkait di wilayah Sumatera Utara (Sumut) adanya dugaan perkara sengketa tanah yang diduga melibatkan para mafia tanah.
Sebagaimana diketahui adanya dugaan pemalsuan surat keterangan (SK) tentang pembagian dan penerimaan sawah/ladang sebanyak 227 unit berkas, terhadap tanah milik PTPN-2 (saat PTPN 1), seluas 464 hektar, pada objek lahan Kebun Tanjung Garbus di Desa Penara, Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deliserdang.
Dalam kasus ini, Majelis hakim Mahkamah Agung (MA) menerima kasasi jaksa penuntut umum terhadap terdakwa inisial Mu bersalah dan terbukti menggunakan surat-surat palsu.
Mu harus menjalani kurungan 2 tahun penjara, dipotong selama berada dalam tahanan sementara. Putusan ini sesuai dengan tuntutan jaksa Kajari Deliserdang, di Pengadilan Negeri Lubukpakam, 12 Juni 2023 lalu.
Majelis Hakim Mahkamah Agung yang diketuai Soesilo dalam putusan nomor 1133K/Pid/2023 tanggal 3 Oktober 2023 mengabulkan kasasi yang diajukan jaksa Kejaksaan Negeri Deliserdang dan membatalkan putusan PN Lubukpakam No.471/Pid.B/2023/PN Lbp tanggal 27 Juni 2023, dimana Mu sempat menghirup udara bebas sejak putusan Majelis Hakim PN Lubukpakam.
Prof. Agus Surono menegaskan, bagaimana agar lahan tersebut tidak dimanfaatkan oleh mafia tanah. Karena mafia tanah harus diberantas yang dapat merugikan masyarakat dan perekonomian negara. “Iya tentu prinsip Satgas Anti Mafia Tanah dan APH, harus konsisten untuk memberantas dan menegakkan hukum terkait adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan mafia tanah,” tegasnya.
Terlebih, kata Prof. Agus Surono, perkara sengketa tanah ini perlu mendapat perhatian serius dari Mahkamah Agung.
Pasalnya sangat berpotensi perkara sengketa tanah tersebut merupakan praktek dari mafia tanah.
“Dalam kasus tanah sering kali bermainnya kelompok mafia tanah. Sehingga banyak rakyat kecil yang berjuang mendapatkan keadilan selalu kalah,” sebutnya.
Terkait itulah, dia mendesak majelis hakim di MA tidak lagi bekerja pada tataran keadilan prosedural.
Hanya melihat dokumen dan bukti semata, namun juga menjangkau lebih jauh pada keadilan substantif.
Menurutnya praktek mafia tanah sulit dihadapi oleh rakyat. Karena mafia tanah merupakan komplotan aktor kejahatan dari berbagai keahlian.
“Jadi tidak heran dokumen palsu itu bisa dengan mudah menjadi seolah asli, kemudian digunakan sebagai jaminan bank dan mendapatkan pinjaman dalam waktu cepat,” ungkapnya.
Dari sini maka tugas MA sebagai garda terakhir penegakan hukum untuk memberikan keadilan yang hakiki. Melindungi rakyat sebagaimana amanat konstitusi. Tidak lagi bekerja secara biasa-biasa saja.
Terlebih lagi, lanjutnya dia keberadaan mafia tanah sudah disadari pemerintah.
Terbukti dengan dibentuknya Satgas Anti Mafia Tanah itu sendiri merupakan di bawah naungan Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (Ditjen PSKP), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
“Kita semua berharap kerja Satgas Antimafia Tanah itu bisa berbuah nyata. Bekerja keras bersama MA dan masyarakat sipil untuk memberantas mafia tanah,” ujarnya.
Sebagai informasi terdapat sejumlah kasus mafia tanah yang mencuat di media massa.
Kasus itu dari berbagai daerah, sebagai contoh kasus yang populer menimpa artis Nirina Zubir.
Kemudian perkara Sugianto di Surabaya. Adapula Kasus Johan Efendi mantan diplomat terkait tanah di Kemang yang melibatkan notaris Lusi SH, Vivi Novita SH dan Santoso Halim.
Masih banyak lagi yang terlihat pada direktori Mahkamah Agung.(a16)