Scroll Untuk Membaca

Sumut

Gerak Bersama Untuk Tanah Adat: Marwali 21 Dan Jejaring Rakyat Galang Advokasi Kolektif

Pertemuan yang diinisiasi Marwali 21 dan dihadiri masyarakat serta sejumlah elemen pejuang hak agraria seperti Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jumat (25/4). Waspada/ist
Pertemuan yang diinisiasi Marwali 21 dan dihadiri masyarakat serta sejumlah elemen pejuang hak agraria seperti Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jumat (25/4). Waspada/ist

DELISERDANG (Waspada): Perwakilan Musyawarah Warga Sampali Dua Satu (Marwali 21), Swaldy SH, menegaskan pentingnya solidaritas antarorganisasi rakyat dan masyarakat adat dalam memperkuat perjuangan atas hak atas tanah yang selama ini masih belum memiliki kejelasan hukum.

Demikian disampaikannya dalam pertemuan yang diinisiasi Marwali 21 dan dihadiri masyarakat serta sejumlah elemen pejuang hak agraria seperti Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara (Bakumsu), Jumat (25/4).

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Gerak Bersama Untuk Tanah Adat: Marwali 21 Dan Jejaring Rakyat Galang Advokasi Kolektif

IKLAN

Menurut Swaldy, pertemuan ini adalah langkah awal untuk membangun keyakinan bahwa para pejuang tanah tidak bergerak sendiri.

“Ini penting untuk menguatkan moral dan semangat anggota bahwa perjuangan ini kolektif, bukan individu,” katanya.

Swaldy menyebut, Marwali 21 bersama jejaring masyarakat adat dan organisasi sipil lainnya tengah mempersiapkan langkah lanjutan, termasuk mendorong agar Bakumsu dapat menjadi pendamping hukum strategis, khususnya dalam menghadapi potensi persoalan hukum pidana yang mungkin muncul selama perjuangan.

Namun, ia menekankan bahwa upaya ini bukan untuk memberikan kuasa hukum dalam sengketa kepemilikan tanah secara perdata, melainkan sebagai antisipasi ketika persoalan kriminalisasi muncul.

“Kami bukan mau menyerahkan persoalan tanah ini sepenuhnya ke pengacara, tapi mengantisipasi jika nanti muncul kriminalisasi. Harus ada yang mendampingi secara hukum, karena pengalaman menunjukkan perjuangan seperti ini sering dibenturkan dengan tuduhan pidana,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, tanah yang diperjuangkan merupakan tanah sejarah perjuangan masyarakat adat Melayu Tanjung Mulia dan Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI). Dalam setiap surat pernyataan resmi, pihaknya tidak pernah menghapus sejarah kepemilikan tanah tersebut sebagai bagian dari identitas perjuangan rakyat.

“Kami selalu menegaskan bahwa tanah ini adalah tanah perjuangan. Sejarah tidak boleh dihapus. Masyarakat adat Melayu Tanjung Mulia dan BPRPI punya rekam jejak panjang di sini,” tegasnya.

Swaldy juga menanggapi aspirasi dari AMAN agar anggota masyarakat adat yang belum memiliki dasar hukum atas tanah bisa difasilitasi melalui legalisasi berbasis pengakuan adat dan rekomendasi BPRPI. Namun, ia mengingatkan agar proses ini tetap memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat.

“Ini masyarakat miskin. Kalau semua harus profesional, harus bayar mahal, nanti malah yang ingin punya surat tanah jadi tidak mampu. Jadi kami harap ada kebijakan berbasis gotong royong,” ucapnya.

Terkait jumlah keluarga yang telah tergabung dalam perjuangan, Swaldy mengungkapkan bahwa ada sekitar 230 kepala keluarga (KK) yang telah terdata. Namun, dokumen kepemilikan formal masih belum lengkap karena satu orang bisa memiliki satu hingga dua bidang tanah, sehingga saat ini pihaknya tengah melakukan kompilasi data untuk disusun secara sistematis sebagai bahan usulan ke pemerintah.

“Data ini penting agar pemerintah bisa pelajari secara utuh, dan tidak mengabaikan fakta bahwa perjuangan ini bukan hanya soal individu, tapi menyangkut seluruh warga di lokasi ini, khususnya di wilayah yang disebut 93,” jelasnya.

Swaldy berharap pemerintah ke depan dapat memberi dukungan melalui program-program legalisasi tanah masyarakat berbasis kepastian hak, baik melalui reforma agraria maupun skema lain yang berpihak kepada rakyat kecil.

“Jangan sampai kejadian simpang siur seperti di Anggrek Pancasila terulang. Di sana, tanah Kodam dulu akhirnya bisa diterbitkan 360 sertifikat atas nama warga. Jadi pemerintah bisa kalau memang mau,” tambahnya.

Ia juga menyebut bahwa hingga kini belum ada pihak pengusaha yang secara resmi mengklaim lahan tersebut. Tidak ada somasi, plang kepemilikan, atau surat resmi dari perusahaan mana pun.

“Kalau memang ini tanah perusahaan, pasti sudah ada somasi, plang, atau tindakan hukum. Tapi kenyataannya tidak ada. Bahkan pihak swasta pun tak berani mencaplok ini. Ini peluang bagi rakyat untuk memperkuat legalitas,” katanya.

Dalam penutup pernyataannya, Swaldy menyampaikan bahwa perjuangan tanah ini adalah bagian dari gerakan kolektif masyarakat sipil untuk keadilan agraria dan pengakuan atas hak-hak masyarakat adat.

Ia mengajak seluruh pihak untuk terlibat aktif, termasuk lembaga hukum, lembaga pendamping, dan pemerintah, untuk mewujudkan kepastian hukum tanpa mengorbankan hak rakyat miskin.

“Kita tidak bicara sekadar legalitas, tapi bicara keadilan. Kalau rakyat sendiri tak diberi ruang, yang untung hanya para mafia tanah. Kami akan terus bersama rakyat untuk memastikan perjuangan ini berjalan dengan bermartabat,” pungkas Swaldy.

Jaga Konsistensi

Perwakilan BPRPI Kampung Tanjung Mulia, Razali, menegaskan pentingnya menjaga konsistensi dan persatuan dalam perjuangan masyarakat atas hak tanah.

Razali mengingatkan agar seluruh upaya yang dilakukan tetap berada dalam jalur hukum dan semangat perjuangan yang telah diwariskan.

“Apapun bentuk perjuangan masyarakat, selama itu untuk kebaikan dan dilakukan melalui jalur hukum yang benar, kita harus tetap bersama. Persoalan tanah adalah perjuangan kolektif yang tidak bisa dijalankan sendiri-sendiri,” ujar Razali.

Ia menekankan, perjuangan masyarakat atas tanah bukan semata-mata urusan legalitas administratif, tetapi menyangkut harkat, martabat, dan sejarah panjang komunitas adat di Kampung Tanjung Mulia.

Karena itu, ia mengingatkan semua pihak untuk tidak menyimpang dari prinsip dasar perjuangan yang telah dirintis bersama selama bertahun-tahun.

“Kami selalu ingatkan, jangan sampai lari dari garis perjuangan. Sekarang sudah banyak jalur, banyak kelompok, tapi arah kita harus satu. Jangan ada yang bermain sendiri-sendiri,” pesannya.

Razali juga mengapresiasi adanya forum-forum musyawarah yang berkembang di tengah masyarakat, yang menurutnya menjadi wadah penting untuk memperkuat nilai kebersamaan dan memperjelas arah gerakan.

“Perkumpulan musyawarah yang positif di tempat kita ini sangat baik. Kita punya buku catatan perjuangan, kita punya sejarah. Itu harus terus kita rawat,” ujarnya.

Ia juga menambahkan, dalam berbagai pergerakan yang dilakukan masyarakat di lapangan, penting untuk menjaga komunikasi dan sinergi antarwarga serta antarorganisasi pendamping. Ia menekankan bahwa tidak ada satu pihak pun yang bisa menyelesaikan masalah ini sendirian.

“Semua pergerakan masyarakat harus dijalankan bersama-sama. Kalau nanti kita perlu duduk bersama lagi, kita harus lakukan dengan niat baik dan kembali pada jalurnya masing-masing,” tegas Razali.

Pernyataan Razali mempertegas posisi BPRPI sebagai salah satu aktor utama dalam gerakan rakyat untuk mempertahankan tanah adat di Sumatera Utara, khususnya di Kampung Tanjung Mulia. Ia juga menyerukan kepada seluruh anggota masyarakat agar tidak terprovokasi oleh pihak-pihak yang ingin memecah belah perjuangan.

“Tanah ini bukan sekadar aset, ini simbol dari harga diri kita sebagai masyarakat adat. Perjuangan ini bukan baru kemarin, sudah turun-temurun. Maka kita tidak boleh goyah,” tutupnya.

Pernyataan Sikap

Sementara itu, Ketua Organisasi Masyarakat Sampali 21 (Marwali 21), Tiora Sinaga, membacakan pernyataan sikap resmi organisasi yang dipimpinnya. Pernyataan tersebut menegaskan komitmen kuat Marwali 21 dalam memperjuangkan hak-hak rakyat, khususnya hak atas tanah yang telah lama dikuasai oleh masyarakat.

Dalam pernyataannya, Tiora menyampaikan, Marwali 21 adalah organisasi rakyat yang berdiri atas inisiatif dan swadaya masyarakat, dengan tujuan utama memperjuangkan hak atas tanah, hak ekonomi, hak asasi manusia, hak kesehatan, hak pendidikan, serta memperkuat harmoni antara manusia dan lingkungan alam serta budaya.

“Kami hadir untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, serta menjunjung tinggi toleransi antarumat beragama,” tegas Tiora di hadapan peserta forum.

Dalam butir kedua pernyataan sikapnya, Tiora menjelaskan, perjuangan yang diusung oleh Marwali 21 akan dilakukan secara menyeluruh melalui dua pendekatan utama, yakni litigasi (jalur hukum) dan non-litigasi, termasuk melalui pendekatan politik.

“Perjuangan kami tidak hanya soal pengurusan surat atau dokumen legalitas tanah, tapi juga menyasar jalur politik. Kami siap melakukan advokasi ke legislatif, berdialog dengan eksekutif, dan jika perlu, menggandeng tokoh-tokoh politik yang memiliki keberpihakan,” jelasnya.

Tiora menyebut, pendekatan politik menjadi bagian integral dari strategi organisasi dalam memastikan suara rakyat mendapat ruang dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut tanah yang telah dikuasai dan dimanfaatkan masyarakat sejak lama.

Jalur Reforma

Pernyataan paling tegas dalam sikap Marwali 21 adalah komitmen untuk menempuh jalur reforma agraria dari inisiatif rakyat apabila seluruh upaya hukum dan politik telah ditempuh, namun tidak membuahkan hasil yang adil.

“Apabila tidak ada tanggapan dan keputusan dari pihak eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka kami, Marwali 21 bersama seluruh anggota, akan menempuh jalan reforma agraria inisiatif rakyat terhadap tanah yang telah kami kuasai sejak 1997,” tegas Tiora, disambut tepuk tangan dari peserta pertemuan.

Langkah ini, menurutnya, bukan tindakan sepihak atau bentuk konfrontasi, tetapi bentuk ekspresi politik masyarakat yang selama puluhan tahun tak mendapatkan keadilan atas tanah yang menjadi sumber hidup mereka.

Di akhir pernyataannya, Tiora menegaskan bahwa sikap ini dibangun atas dasar kesadaran penuh dan rasa tanggung jawab terhadap perjuangan rakyat. Ia juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang selama ini mendampingi dan memberikan dukungan moral maupun teknis dalam perjuangan tersebut.

“Surat pernyataan ini kami buat dengan penuh kesadaran. Ini bukan sekadar dokumen, ini adalah suara hati. Kami akan terus maju, bersama, dengan semangat solidaritas dan keadilan,” pungkasnya.(cbud)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE