Scroll Untuk Membaca

Sumut

Diduga Korban Malapraktik, Ibu Dan Anak Tewas Di RSU Sylvani

Diduga Korban Malapraktik, Ibu Dan Anak Tewas Di RSU Sylvani
Penasehat hukum beserta ibu dan suami korban memberikan keterangan usai melaksanakan sidang dengan agenda mediasi di PN Binjai. (Waspada/Ria Hamdani)

BINJAI (Waspada) : Diduga menjadi korban malapraktik, ibu dan anak meninggal dunia saat menjalani persalinan di RSU Sylvani, Jalan Perintis Kemerdekaan, Kecamatan Binjai Utara, Kota Binjai.

Kasus ini pun sudah dibawa pihak keluarga ke ranah hukum, baik tuntutan secara perdata maupun pidana. Untuk tuntutan perdata, sidang mediasi sudah berlangsung pada Kamis (5/12) di PN Binjai, Jalan Gatot Subroto, Binjai Barat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Diduga Korban Malapraktik, Ibu Dan Anak Tewas Di RSU Sylvani

IKLAN

Berdasarkan keterangan penasehat hukum korban, Dr Dra Risma Situmorang SH MH, di PN Binjai, peristiwa ini terjadi pada September 2024. Ketika itu, Putri Afriliza yang menjadi korban, merasakan kontraksi dari kandungannya.

Kemudian, korban bersama anggota keluarga berangkat dari kediamannya di Langkat ke RSI Sylvani. Namun, karena hari libur tidak bertemu dengan dokter spesialis. “Karena tidak ada dokter, jadi pasien dan keluarganya balik ke rumah sembari mampir di bidan untuk menghilangkan rasa sakit,” ungkapnya.

Keesokan harinya, tanggal 17 September dinihari, korban kembali kontraksi dan muntah, sehingga dilarikan ke Silvany dan tiba sekitar pukul 02:00 dinihari.

Di rumah sakit, korban ditangani dr SF selaku dokter jaga. Korban pun diperiksa dan langsung dipindahkan ke ruang perawatan. “Di sini dr SF bilang detak jantung si bayi gak ada. Tapi pasien masih menunggu dokter kandungan inisial FF yang tiba pukul 5:30. Bayangin, dari jam 2 tidak ada pertolongan, hanya dikasih antibiotik,” paparnya.

Sesaat setelah minum antibiotik, korban pendarahan di kamar mandi. Kemudian, dr FF datang dan diputuskan segera operasi. Pada saat operasi, keluarga mempertanyakan soal ketersediaan darah. Namun, pihak rumah sakit mengakui stok darah sudah tersedia.

“Proses penyediaan darah pun sangat lambat. Pihak medis masih mencari tahu apa golongan darah pasien. Padahal saat melahirkan anak pertama dan kedua, juga di Sylvani. Seharusnya kan ada rekam medis. Akhirnya darah datang sekitar jam 9:30. Kita gak tahu apakah itu darah tercukupi atau tidak,” urainya.

Sementara, suami korban disuruh untuk menguburkan bayinya, sedangkan pihak medis tidak menjelaskan kondisi istrinya, apakah masih sehat, apakah masih bugar atau tidak. “Setelah tak ada kabar soal kondisi korban, sekitar jam 1-an diminta untuk pompa jantung. Tak lama setelah itu korban pun meninggal dunia,” terangnya.

Dari uraian yang disampaikan, Risma menegaskan, bahwa terjadi dugaan kesalahan dan kelalaian tenaga medis yang mengakibatkan meninggalnya pasien. Kemudian, kesalahan dan kelalaian dr. Sg, selaku Spesialis Obstetri dan Ginekologi yang tidak membuat perencanaan dan jadwal kelahiran bayi dalam kandungan.

Selanjutnya, sebut Risma, kesalahan dan kelalaian yang dilakukan dr. FF, tidak memberikan penjelasan penyebab bayi meninggal dunia atau hanya menjelaskan bahwa indikasi bayi lepas plasenta.

Selain itu, Risma juga mengungkapkan dugaan kesalahan dan kelalaian dr SF, selaku Dokter Umum (dokter jaga di IGD), yang sejak sekitar pukul 02:00 WIB kondisi bayi dalam kandungan sudah tidak bernyawa, tetapi membiarkan dan tidak melakukan
tindakan apapun untuk mengatasi kondisi pasien yang terus-menerus mengalami pendarahan dan mengerang kesakitan.

“Dia (dr SF) juga tidak memberikan informasi yang benar dan jujur mengenai kondisi pasien dan bayi dalam kandungan yang sudah tidak bernyawa kepada suami pasien dan keluarganya. Bahkan dia tidak melakukan upaya penyelamatan dengan melaksanakan sistem rujukan kepada fasilitas kesehatan yang setara atau lebih tinggi dengan yang lokasinya dekat dengan RSU Sylvani,” tegasnya.

Berikutnya, lanjut Risma, indikasi kesalahan dan kelalaian yang dilakukan dr. ADS Spesialis Anestesi, memberikan informasi mengenai kondisi pasien kepada suami dan keluarganya. “Padahal menyampaikan informasi tersebut bukan tugas dan tanggung jawabnya,” beber Risma.

Berkenaan dengan hal itu semua, kata Risma, tenaga medis telah melanggar ketentuan Pasal 274 huruf a dan huruf e, Pasal 275 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 276 huruf b dan huruf c Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan.

“Kesalahan dan kelalaian Direktur RSU Sylvani yaitu sebagai pimpinan RS tipe C tidak membuat aturan dokter spesialis wajib jaga dan dapat dihubungi apabila terjadi kondisi gawat darurat. Ini melanggar ketentuan Pasal 184 ayat (4) dan Pasal 189 Undang-
Undang No. 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan,” pungkasnya.

Dia menambahkan, akibat dugaan malapraktik ini, korban mengalami kerugian materil sebesar Rp511.650,000 dan kerugian Immateriil sebesar Rp100. 000.000. 000.

“Kita bisa membedakan, apakah ini resiko medis, faktor kesehatan atau ada dugaan malapraktik, dan kesalahan penanganan gak sesuai SOP. Terlambat memberi darah serta kesalahan memberi obat, itu namanya malapraktik. Tapi apapun ini semua masih berproses,” jelasnya.

Sementara itu, suami almarhumah, Indra, berharap pihak rumah sakit dapat bertanggungjawab sesuai ketentuan dan peraturan yang berlaku. “Anak dan istri saya tidak dapat kembali. Jika dihargai dengan uang, itu juga tidak sebanding. Jadi saya berharap, pihak rumah sakit dapat mempertanggungjawabkan hal ini sesuai ketentuan yang berlaku,” tegasnya.

Terpisah, Penasehat Hukum RSU Sylvani, Dodi, menegaskan, bahwa tuduhan itu tidak benar. “Kita sudah melakukan tindakan sesuai SOP. Rumah sakit tipe c tidak ada bank darah dan permintaan darah juga sesuai kebutuhan,” tegasnya.

“Jika sebab kematian korban karena darah, saat itu korban sudah mendapatkan satu setengah kantong darah. Jangan gara-gara kurang ini dan itu dikaitkan menjadi sebab kematian,” tambahnya.

Soal tidak adanya dokter spesialis, Dodi menyebutkan, bahwa keadaan pasien darurat atau tidak terjadwal. “Kalau kita rujuk, belum tentu juga di rumah sakit lain ada dokter spesialisnya. Semua itukan harus ada proses sesuai SOP,” pungkasnya.

Jika mencari kesalahan, sambung Dodi, seharusnya keluarga pasien menuntut bidan tempatnya memeriksa diawal. “Kami dengar saat itu mereka sempat ke bidan. Kata bidan gak ada masalah. Kemudian mereka pulang. Sampai di rumah kontraksi dan muntah. Setelah itu dibawa ke Sylvani dan pukul 02:00 tiba di rumah sakit. Kalau memang tidak ada masalah, kenapa sampai ke rumah sakit,” tuturnya.

Disoal penyebab kondisi pasien ngedrop pasca operasi, Dodi tidak dapat memberikan penjelasan. “Soal itu nanti akan kami sampaikan di persidangan berikutnya,” imbuh Dodi. (a34)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE