Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Kurikulum Merdeka Perlu Dikaji Ulang

  • Bagikan

JAKARTA (Waspada): Sejumlah pengamat pendidikan mengimbau agar Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengkaji ulang kurikulum merdeka.

Sebab, alih-alih mencoba mengatasi learning loss akibat pandemi covid yang berkepanjangan, kurikulum merdeka justeru dinilai membingungkan masyarakat.

Dalam webinar pendidikan yang digelar Vox Populi Institute Indonesia pada Senin (21/2),
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Said Hamid Hasan mengatakan kalau kurikulum merdeka yang memberi kebebasan pada sisws memilih mata pelajaran (mapel) yang sesuai dengan minat di sekolah, disebut-sebut akan membuat kepala sekolah frustasi.

Sebagaimana diketahui, Kurikulum Merdeka yang diluncurkan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim beberapa hari lalu, menghapuskan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa bagi pelajar SMA. Sebagai gantinya, siswa bebas memilih mata pelajaran.

“Persoalan implementasi yang membebaskan seperti itu bukan masalah ringan, kita pernah bertemu kepala sekolah di Jakarta. Konsep itu sudah ada soal bidang minat ini dan dilepas, apa yang terjadi? Kepala sekolah itu angkat tangan semua,” imbuh Said.

Dan dia meyakini bahwa model pembelajaran semacam ini sangat sulit diberlakukan di Indonesia. Bahkan, diprediksi akan menimbulkan masalah baru di dunia pendidikan. Pasalnya, kurikulum merdeka ini menghendaki proses pembelajaran yang berbeda dan menghendaki kualitas penilaian yang berbeda. Sementara pedoman yang diterbitkan Kemendikbudristek tidak menjelaskan secara pasti bagaimana perubahan itu dapat dijalani dunia pendidikan.

Persoalan lain terkait jam belajar yang masih simpang siur, pelatihan guru serta manajemen pengawasan yang perlu upaya lebih. Banyak yang sekolah yang akan mengalami kesulitan karena gurunya tidak lengkap.

“Sedangkan pembelajaran berbasis project menghendaki antar mata pelajaran yang artinya bukan hal mudah,” imbuh Said.

Karena itu, lanjut dia, kurikulum merdeka harus dikaji ulang secara konsepnya dan filosofinya sesuai kondisi indonesia. Sebab, kondisi sekolah di Indonesia masih banyak yang tidak mengenal teknologi, tidak ada jaringan internet bahkan belum teraliri listrik.

“Ini harus jadi perhatian,” ujar Said.

Dhitta Puti Saraswati dari Gerakan Nasional Tastaka yang juga dosen di Sampoerna University mengatakan menjelaskan definisi kurikulum dari implementasinya.

Pertama adalah kurikulum resmi dikeluarkan oleh suatu badan. Badan itu bisa negara, bisa pemerintah daerah bahkan sekolah.

Selanjutnya ada kurikulum operasional yang merupakan intrepretasi dari kurikulum resmi yang diterapkan ketika guru mengajar.

Ada juga kurikulum yang di negoisiasikan dari  kurikulum resmi. Salah satu contoh adalah penerapan kurikulum nasional di daerah 3T. Tentu ada proses negosiasi yang menyesuaikan antara ketentuan kurilulum dengan kondisi setempat.

Lantas ada juga kurikulum yang muncul dari ketertarikan siswa. Lainnya adalah kurikulum tersembunyi yang tidak secara resmi ada naskahnya, tapi semua dapat belajar sesuatu dari sana.

Dari itu semua, Dhitta berupaya mendudukkan kurikulum merdeka di posisi mana. Dan dia mengaku kager karena  kurikulum merdeka belum punya naskah akademik. Naskah akademik sangat diperlukan bagi sebuah kurikulum bersifat resmi dengan lingkup nasional, supaya dapat diakses dan dipertanggungjawabkan kepada publik.

“Dan saya cukup kaget karena kurikulum merdeka ini tidak punya naskah akademik. Yang ada cuma dua kajian yakni kajian pengembangan profil pelajar pancasila dan kajian akademik kurikulum untuk pemulihan pembelajaran,” tandasnya.

Pengamat pendidikan Indra Charismiadji menduga kurikulum merdeka belajar ini adalah kurikulum operasional yang akan ‘dinasionalkan’. (J02)

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *