Dinilai Mampu Atasi Krisis Iklim, Gerakan Green Islam Perlu Dimaksimalkan

  • Bagikan
Dinilai Mampu Atasi Krisis Iklim, Gerakan Green Islam Perlu Dimaksimalkan

JAKARTA (Waspada): Gerakan lingkungan yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok agama Islam atau populer dengan istilah Green Islam, saat ini semakin meningkat. Tapi sayangnya, gerakan ini belum menjadi gerakan besar yang dikenal publik.

“Padahal, Green Islam merupakan harapan bagi krisis iklim di Indonesia,” ujar Koordinator Riset Gerakan Green Islam dari Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, dalam diskusi hasil temuan penelitian kualitatif dengan tema “Gerakan Green Islam: Harapan bagi Krisis Iklim di Indonesia?”, pada Selasa (27/8/2024) di Jakarta.

Dalam dua dekade terakhir, gerakan lingkungan yang diinisiasi oleh kelompok-kelompok agama semakin meningkat, termasuk oleh kelompok Islam. Gerakan-gerakan organisasi atau komunitas yang menggunakan identitas Islam, seperti ceramah lingkungan, ngaji lingkungan, fatwa lingkungan dan lainnya, seringkali terlihat dalam aktivisme lingkungan di Indonesia.

“Gerakan Green Islam dapat menjadi harapan, tapi mereka perlu mendapatkan dukungan kebijakan publik yang lebih luas, dan mampu mengatasi tantangan-tantangan yang mereka hadapi sendiri,” jelas Testriono.

Testriono menyebut ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh gerakan Green Islam di Indonesia. Pertama, gerakan Green Islam masih terfragmentasi dan cenderung fokus pada isu-isu lokal di area mereka.

Kedua, sebagian organisasi belum mampu mengoptimalkan sumber daya yang mereka miliki, sebagian lainnya bahkan memang terbatas dalam hal sumber daya. Testriono juga menyebutkan beberapa tantangan lainya seperti kesenjangan pengetahuan antara aktivis dan konstituen serta belum maksimalnya pelibatan perempuan dalam gerakan Green Islam di Indonesia.

Selain itu, dari sisi pengambil kebijakan, Testriono menyoroti misalnya, bahwa Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) belum memanfaatkan secara maksimal kelompok Green Islam, agenda lingkungan belum masuk dalam program Kementerian Agama (Kemenag), serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga belum secara maksimal melibatkan aktivis perempuan Green Islam, padahal tiga kementerian tersebut merupakan lembaga yang dapat berperan penting dalam perkembangan gerakan Green Islam di Indonesia.

Dalam pemaparan hasil riset tersebut, Testriono, koordinator Riset Gerakan Green Islam, menyatakan bahwa Green Islam di Indonesia berkembang setidaknya melalui tiga fase. Fase awal yang bermula pada periode 1980-an, yaitu ketika MUI merumuskan Fatwa tentang Kependudukan, Kesehatan, dan Pembangunan pada Oktober 1983. Selanjutnya adalah fase pasca-tsunami Aceh 2004, di mana gerakan mitigasi risiko bencana dan bantuan pasca-bencana mendorong perkembangan gerakan Islam lebih dekat pada isu lingkungan. Yang terakhir adalah fase ecological turn, yang ditandai dengnan Deklarasi Islam tentang Perubahan Iklim Global di Istanbul, Turki, dan Paris Agreement pada tahun 2015.

Testriono juga menyatakan bahwa terdapat tiga pola pembentukan Green Islam di Indonesia. Pertama, gerakan Green Islam yang muncul dari organisasi-organisasi Islam, seperti LPBI pada NU, MLH, MDMC, dan LLHPB Aisyiyah pada Muhammadiyah, serta LPLHSDA pada MUI.

Kedua, gerakan Green Islam yang muncul dari organisasi lingkungan non-agama, seperti Greenpeace dengan Ummah For Earth dan HAkA dengan gerakan Teungku Inong. Ketiga, gerakan Green Islam yang sejak awal berdirinya memang ditujukan untuk integrasi Islam dan lingkungan, seperti FNKSDA, KHM, dan AgriQuran.

Testriono menyebutkan bahwa setidaknya terdapat 142 kelompok organisasi atau komunitas Green Islam di berbagai daerah di Indonesia yang dikategorikan ke dalam tiga tipologi: konservasionis, pengkampanye kebijakan, dan mobilisator.

Mayoritas kelompok Green Islam terafiliasi secara struktural di bawah dua organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah. Banyak dari mereka bekerja di basis lokal daripada nasional dan internasional, dan paling banyak berjenis ormas keagamaan, dibandingkan NGO, komunitas, dan koalisi.

Sebagian besar aktivisme Green Islam menggunakan pendekatan pengkampanye kebijakan, dibandingkan konservasionis dan mobilisator.

Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah yang menjadi salah satu pemantik diskusi memberikan perspektif mengenai integrasi prinsip-prinsip Islam dengan upaya pelestarian lingkungan dan memperkuat komitmen Muhammadiyah dalam upaya pelestarian alam, sesuai dengan ajaran Islam tentang tanggung jawab terhadap lingkungan.

Abdul Mu’ti memulainya dengan polemik Muhammadiyah dengan tambang. Ia menegaskan bahwa pengelolaan tambang tidak harus selalu diidentikkan dengan kerusakan lingkungan, meskipun pandangan ini terkadang terkesan utopis. Muhammadiyah ingin agar isu pertambangan menjadi perhatian serius, dengan menunjukkan contoh pengelolaan tambang yang baik yang selama ini jarang dipublikasikan. Muhammadiyah berkomitmen untuk meminimalkan dampak negatif lingkungan dari aktivitas pertambangan. “Melalui pengelolaan tambang, Muhammadiyah ingin meminimalkan tingkat kerusakan lingkungan akibat tambang,” tegas Abdul Mu’ti.

Menurut Abdul Mu’ti, gerakan Green Islam juga menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, terutama kendala teologis. Salah satu contohnya adalah penggunaan air bekas wudhu yang tidak dapat digunakan kembali meskipun telah melalui proses daur ulang dengan teknologi canggih. Faktor utama yang menyebabkan daur ulang air itu tidak berjalan karena penggunaannya dianggap tidak sah jika air tersebut tidak menyentuh tanah. Menurut Abdul Mu’ti, bahkan di lingkungan Muhammadiyah yang dikenal progresif, penggunaan air daur ulang masih menjadi perdebatan, apalagi di kalangan yang lebih konservatif.

“Di Muhammadiyah yang sudah berkemajuan, penggunaan air daur ulang tersebut saja masih jadi perdebatan, apalagi yang bukan Muhammadiyah yang tidak berkemajuan,” sahutnya.

Muhammadiyah telah berusaha menjawab kendala ini dengan menerbitkan fikih air dan fikih bencana, yang memberikan dasar-dasar teologi dan mengatasi berbagai kendala teologis yang ada di masyarakat. Namun, hambatan teologis dalam gerakan Green Islam masih menjadi tantangan besar, karena hampir tidak ada yang berani merekonstruksi fikih. Fikih yang ada cenderung mendaur ulang pemahaman klasik tanpa mempertimbangkan kondisi kontemporer. Sebagai contoh, menurut Abdul Mu’ti, tempat ibadah, yang menjadi salah satu penyumbang utama sampah, jarang dikritisi terkait praktik pengelolaan sampah di dalamnya.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *