
Catatan ketiga mengenai Wahabi ialah kecenderungan Gerakan ini yang mengabaikan pengembangan ilmu. Carapandang non ilmiah ini nampak ketika membicarakan sumber hukum. Seperti disebut pada catatan kedua, pemahaman Wahabi hanya beroirientasi pada praktek Nabi semasa hidupnya.
Padahal sesungguhnya terdapat sumber hukum lainnya selain al-Qur’an dan hadits, baik yang disepakati semua mazhab yaitu ijmak dan qiyas, maupun yang digunakan terbatas oleh mazhab tertentu, seperti istihsan, mashlahat mursalah, ‘urf, dan sebagainya. Sumber-sumber hukum itu hadir tentu melalui proses sejarah seiring dengan perkembanan keilmuan dalam Islam.
Dalam sistimatika keilmuan Islam, ilmu yang membicarakan persoalan sumber ini ialah Ushul Fikih, sebagai ilmu tentang metode mengeluarkan hukum dari dalil. Kegunaan ilmu ini ialah untuk memproduksi hukum yang digali dari dalil, baik yang disepakati maupun yang tidak disepakati. Dalam bekerja, ilmu ini menggunakan ilmu-ilmu lain sebagai alat kerja, seperti al-Qur’an, tafsir, ‘ulumul qur’an, hadits, ‘ulumul hadits, kebahasaan, dan lain-lain termasuk syllogism atau qiyas yang disebut dengan logika (manthiq).
Begitu kuatnya peran logika sehingga muncul ungkapan bahwa sesungguhnya fiqh dilahirkan oleh logika, bahkan mengaitkan dengan logika Aristoteles. Klai mini tentunya memiliki argument. Misalnya, bagaimana hubungan korek kuping dengan shalat hanya bisa dihubungkan oleh logika atau syllogism, seperti pada syllogism berikut:
-Korek kuping ialah menggerak-gerakkan anggota badan lebih tiga kali
-Setiap menggerak-gerakkan anggota badan lebih 3 kali membatalkan shalat
=Korek kuping membatalkan shalat
Wahabi tentu tidak menggunakan ini, sehingga alat ukur kebenaran hanya jika dipraktekkan pada zaman Nabi saja. Jika ada praktek lain yang sesungguhnya memiliki dalil dengan instrument ushul fiqh, dianggap bid’ah. Ambillah contoh tentang zikir usai shalat wajib adalah bid’ah, karena katanya, tidak pernah dilakukan Nabi. Bahwa ada perintah melakukannya itu tidak menjadi pertimbangan dalam menetapkan hukum.
Misalnya al-Qur’an surat an-Nisa/4: 103 mengatakan: “Selanjutnya apabila kamu telah menyelesaikan shalatmu ingatlah Allah Ketika kamu berdiri, pada waktu duduk, dan pada waktu berbaring”. Perintah ini tidak memiliki daya dorong untuk berbuat bagi Wahabi, karena tidak pernah dilakukanNabi semasa hidupnya. Jika saja menggunakan logika dalam pemahamannya, tentu akan diperoleh makna yang luas, sehingga semakin banyak dalil yang digunakan semakin luaslah pemahaman dan praktek keagamaannya.
Misalnya, mengapa dalam berzikir dilakukan secara berjama’ah, tentu dikaitkan dengan hadits perintah berjama’ah, seperti kekuasaan Allah beserta orang yang berjamaah (Yadullahi ma’al jama’ah). Kemudian dapat lagi dianalogikan dengan hadits perintah shalat berjam’ah, bisa dikaitkan dengan ibadah lainnya yang bisa dilakukan secara berjama’ah.
Oleh karena itu, cara pandang Wahabi akan sangat tidak mendukung berkembangnya ilmu-ilmu keislaman, seperti ushul fiqh di atas.
Catatan Harianku;
Jum’at, 31, Mei 2024
By Hasan Bakti Nasution