Arus perkembangan teknologi digital saat ini mengharuskan kita untuk mampu beradaptasi dengan cepat, termasuk dalam hal komunikasi. Hampir seluruh aktivitas kehidupan berhubungan dengan teknologi digital, mulai dari rumah tangga sampai urusan pekerjaan yang terkait ekonomi, politik, sosial, dll.
Komunikasi virtual pun menjadi budaya baru di tengah masyarakat, bahkan sudah menjadi kebutuhan. Komunikasi ini dapat berlangsung efektif jika dibarengi dengan kecakapan penggunaan media komunikasi dalam jaringan yang tepat.
Terkait dengan komunikasi di era serba digital, kelompok lansia mendapat tempat yang khusus karena harus didampingi dan diedukasi cara berinteraksi dan beraktifitas di dunia maya. Sebab mereka terlahir dan tumbuh di era media komunikasi masih sederhana (manual) seperti telepon genggam yang hanya berfungsi untuk berbagi suara dan pesan singkat.
Sedangkan informasi diperoleh melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, buletin, dan media elektronik seperti TV dan bioskop.
Kehadiran Internet melahirkan media baru dalam berbagai platform, sangat membantu dalam melakukan aktifitas harian, bahkan mampu meningkatkan produktifitas dan kreatifitas.
Data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2021 menunjukkan, dari total 272.682.600 jiwa rakyat Indonesia, 77,02 persen penduduk sudah terkoneksi ke Internet. Dari angka tersebut kelompok lansia dikategorikan sebagai warga yang berusia 55 tahun ke atas.
Maka pengguna internet di kalangan mereka tercatat sebanyak 5,97% dari seluruh populasi Indonesia. Kehadiran media baru bagi kelompok lansia ternyata menjadi masalah baru dalam kehidupan mereka.
Mengutip tulisan Santi Indra Astuti dalam Modul Budaya Bermedia Digital, masalah pada lansia terdapat pada keterbatasan akses digital disebabkan lemahnya kompetensi teknis untuk mengakses berbagai konten yang diperlukan. Pendampingan yang diperlukan lebih pada faktor teknis, sehingga lemahnya kompetensi teknis membuat hak-hak akses mereka terabaikan.
Masuk ke tahapan lansia membuat mereka mengalami keterbatasan dan kesulitan ruang gerak, bahkan untuk sekedar aktivitas sehari-hari, membutuhkan bantuan orang di sekitarnya. Banyak lansia belum terbiasa dengan dengan kondisi saat ini.
Merasa sulit beradaptasi menimbulkan kehilangan percaya diri, cemas, tertekan, dan frustasi sehingga mempengaruhi kualitas hidup mereka (Osman et al. 2012). Semestinya, kehadiran media baru dalam dunia lansia dapat membantu untuk hidup lebih berkualitas.
Banyak fitur yang ditawarkan dalam dalam telepon genggam membantu mereka untuk bisa bertukar informasi dengan keluarga dan sahabat lamanya. Berkomunikasi melalui aplikasi WhatsApp contohnya, banyak aktivitas dapat dilakukan untuk mengisi waktu senggang mereka seperti bertukar informasi dan gambar, bahkan bercengkrama dalam grup.
Sedangkan di aplikasi Youtube, lansia dapat mendengar ceramah bimbingan rohani dari para tokoh dan ulama yang mereka kagumi, tanpa harus meninggalkan rumah atau bepergian ke tempat lain. Bahkan mendengar lagu-lagu nostalgia dapat mengaktifkan daya ingat mereka.
Media baru juga memudahkan akses pengetahuan untuk hidup lebih sehat. Informasi tentang kesehatan, pola hidup sehat, dan olahraga yang sesuai dengan usianya tersedia di jaringan internet. Bahkan olahraga interaktif dapat diterapkan via media digital.
Jika mereka membutuhkan produk tertentu untuk menunjang kesehatan seperti makanan suplemen, vitamin, dan alat bantu kesehatan dapat melakukan transaksi tanpa harus pergi ke apotik tertentu. Selanjutnya, dengan media baru, kelompok lansia lebih leluasa memilih platform media informasi sebagai sumber utama baik tentang politik, ekonomi, sosial sampai hobi.
Ada kecenderungan memilih media baru sebagai alternatif sumber informasi dengan alasan lebih sederhana dan lebih mudah dicerna dibandingkan dengan media mainstream (massa). Umumnya para lansia lebih memilih media yang sudah mereka percayai dan sedikit susah untuk move on ke media lain, dapat disebut sebagai niche audience.
Bagi lansia yang masih produktif, punya keahlian dalam bidang tertentu, media sosial dapat dijadikan sarana untuk menunjang ekonomi. Cukup dilakukan di rumah dengan ruang seadanya, seorang penceramah dapat berdakwah, seorang motivator dapat mengisi ruang media dengan kata-kata inspiratif secara live, dan seorang dosen dapat menjangkau ribuan pendengar dalam satu waktu.
Memang tidak dapat dipungkiri, kelompok lansia tidaklah se piawai generasi milenial dalam menggunakan gedget. Mereka tergolong dalam kelompok digital immigrant, generasi yang lahir dan tumbuh sebelum era internet. Apatah lagi media baru seperti Facebook, Instagram, WhatsApp, Twitter, E-commerce, dan platform lainnya butuh waktu untuk mengenalkannya.
Osa Wuriyanti dan Poppy Febriana dalam jurnal, “Problematika Penggunaan New Media (WhatsApp) di Kalangan Lansia sebagai Media Bertukar Pesan di Era Digital” menyatakan, faktor sosial yang mendorong lansia mempelajari serta menggunakan WhatsApp, desakan dari orang sekitarnya untuk bisa minimal menggunakan WhatsApp untuk bertelepon.
Tujuannya agar sanak keluarga memungkinkan untuk bertatap muka dan tetap terkoneksi dengan lansia tersebut. Sedangkan faktor individual yang mendorong lansia menggunakan WhatsApp karena mereka merasa dapat menemukan informasi secara instan, baik tentang kesehatan, obat herbal, fakta unik, hingga hingga berita.
Tentang informasi yang instan di media sosial, kelompok lansia menjadi sasaran empuk sebagai penerima dan penyebar berita hoax, khususnya hal kesehatan dan produk kesehatan. Sebagaimana dalam data analisis disampaikan oleh Menkominfo yang menyatakan penyebar hoax terbesar adalah orang tua dengan usia di atas 45 tahun.
Para lansia ini katanya memforward informasi yang dirasa menarik atau bahkan dianggap bisa bermanfaat untuk banyak orang tanpa dibaca ulang atau dipastikan kebenarannya (Kominfo 2018). Yunita Purnama sari dalam tulisannya di yoursay.suara.id menjelaskan, perilaku lansia di sebuah grup WA, kerap memposting sesuatu yang telah digulirkan oleh lebih dari beberapa orang sebelumnya.
Terbukti postingan serupa juga muncul di grup WA yang lain, dan ternyata mereka generasi berusia enam puluh tahun ke atas. Berita tentang covid-19 yang beredar di media sosial merupakan salah satu contoh bagaimana para lansia menerima berita hoax dan menyebarkannya kepada orang-orang terdekatnya.
Di awal tahun 2020 pemerintah mengumumkan tentang pandemi Covid-19, disusul dengan kewajiban setiap lansia untuk divaksin agar meningkatkan kekebalan tubuh. Berbagai asumsi beredar di media sosial di kelompok lansia yang menyebut Covid-19 ciptaan manusia, di dalam setiap vaksin ada chip yang ditanamkan dalam tubuh, isolasi di rumah sakit adalah ruang mengantar nyawa dan lain sebagainya.
Faktanya, tidak sedikit lansia yang menolak divaksin dan tidak mau dirawat di rumah sakit setelah terpapar Covid-19. Hal itu disebabkan ketidakmampuan mencari kebenaran berita yang terus digulirkan di media sosial. Maka perlu edukasi tentang literasi media baru dari orang-orang terdekat mereka.
Selain itu, kelemahan literasi digital di kalangan lansia menjadikan mereka rentan menjadi korban kriminal di dalam dunia maya. Bentuk kejahatan digital yang paling sering menyerang mereka adalah phising dan scamming.
Kejahatan tersebut bertujuan mendapatkan data privasi atau materi dari para korbannya. Trik yang penjahat sering lakukan berupa pesan singkat ataupun telepon, seperti pura-pura sudah pernah ketemu, mengaku dari suatu perusahaan atau rumah sakit dengan alasan mengkonfirmasi data pribadi.
Selain itu, meminta PIN akses keuangan digital dengan iming-iming mentransfer hadiah tunai hingga pembayaran COD terhadap barang yang tidak pernah dipesan. Di aplikasi seperti WhatsApp. pesan yang didapatkan biasanya akan diforward ke grup karena dianggap sebuah informasi yang menguntungkan.
Padahal, pesan yang dibagikan biasanya berisi link phising yang jika diklik atau diakses, memungkinkan data-data serta dokumen penting di dalam gawai akan dicuri.
Co-Founder Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi), Santi Indra Astuti mengatakan, para penjahat digital kerap mengelabui korbannya dengan memanfaatkan kelalaian serta kondisi psikologis ketika cemas. Cara ini dikenal juga dengan istilah social engineering atau rekayasa sosial.
Para lansia sering tidak mampu mengontrol emosi saat menerima berita hingga lupa untuk konfirmasi kebenarannya. Di situlah penjahat berhasil menggiring mereka untuk melakukan transaksi seperti mentransfer uang untuk mengklaim sejumlah hadiah.
Perlindungan privasi data adalah isu penting bagi lansia agar terhindar dari korban manipulasi. Pemahaman terhadap data pribadi yang diperlukan harus dikuatkan sehingga lansia dapat mengelola data privasi dengan baik dan tidak menjadi korban cyber fraud.
Pendampingan orang terdekat diperlukan karena modus untuk mencuri data privasi semakin canggih. Lansia perlu diberitahu berbagai contoh kasus manipulasi data sehingga mereka lebih berhati-hati.
Edukasi dan Pendampingan Lansia di Dunia Maya
Beberapa kasus di atas mengingatkan betapa pentingnya edukasi literasi digital bagi kelompok lansia. Dalam rangka mewujudkan masyarakat cakap digital menuju generasi Indonesia Emas 2045 yang merupakan “Visi Indonesia”, pemerintah harus memandang pentingnya akses dan partisipasi di dunia digital bagi semua kelompok umur termasuk lanjut usia.
Edukasi tentang literasi digital tak hanya terfokus pada usia produktif, namun harus juga memperhatikan kelompok pra lansia dan lansia. Hal itu selaras dengan tema yang diusung dalam Peringatan Hari Lanjut Usia Internasional Tahun 2021 “Digital Equity for All Ages”.
Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia Bapak Muhadjir Effendy juga menekankan hal yang sama dalam Web Kemenko PMK. Muhadjir menegaskan perlu menumbuhkan kesadaran pentingnya inklusi digital bagi lansia sekaligus memberikan perlindungan dari dampak yang ditimbulkannya.
Muhadjir menyampaikan itu pada Musyawarah Nasional (Munas) Persatuan Wredatama Republik Indonesia (PWRI) ke-XIV tahun 2021. Muhadjir juga menegaskan pembangunan manusia mulai dari hulu sampai ke hilir.
Dalam siklus pembangunan manusia, sejak seribu hari pertama kehidupan hingga post-produktif atau usia 65 tahun, harus dipersiapkan betul-betul untuk mencapai cita-cita Indonesia di 2045. Sebagaimana yang sudah dilakukan Maarif Institute, Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Love Frankie, didukung oleh Google.org, dalam program Tular Nalar dengan tema ‘Warga Lansia Cakap Digital’.
Program yang diluncurkan pada 7 Februari 2022 lalu itu bertujuan mengedukasi warga post-productive dengan target 6.000 orang lanjut usia di 25 kota di Indonesia seperti Jayapura, Makassar, Denpasar, dan Yogyakarta. Kegiatan dilakukan melalui daring maupun luring.
Program ini diadakan dengan pertimbangan banyaknya lansia yang dianggap kurang mampu menyeleksi informasi dan mudah sekali menyebarluaskannya ke publik tanpa proses verifikasi. Kegiatan serupa perlu dilakukan pemerintah dengan melibatkan kelompok masyarakat demi percepatan literasi digital di Indonesia.
Kesimpulan
Kehadiran media baru bagi lansia dapat berdampak positif terhadap kualitas hidup jika mereka lihai dalam memanfaatkan gawai dan perangkatnya. Kelemahan mereka karena keterbatasan yang dimiliki sering menjadi korban disinformasi, kriminal dan penipuan.
Maka pemerintah dan setiap orang perlu mendampingi dan mengedukasi mereka agar cakap menggunakan media baru serta bijak menyikapi pertumbuhan informasi dan komunikasi digital yang semakin cepat. WASPADA
Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.
Terima kasih atas informasinya terkait urgensi pedampingan lansia di era media baru new media. Banyak berbagai macam teknologi di era digital semakin berkembang dan, Vendor Augmented Reality Jakarta bahkan di Indonesia merupakan salah satu teknologi yang akan mempermudah keseharian anda.