TIBDAK pidana pencucian uang merupakan upaya untuk menyembunyikan asal – usul harta kekayaan yang merupakan hasil kejahatan dengan melalui berbagai cara dan memasukannya ke dalam sistem keuangan yang legal agar harta kekayaan hasil kejahatan tersebut menjadi kelihatan legal.
Menurut Munir Fuady kegiatan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) secara Universal dewasa ini telah digolongkan sebagai suatu Tindak Pidana yang tergolong dalam White Collar Crime.
Kejahatan kerah putih atau White Collar Crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh kaum elit, pengusaha, bankir, atau para pejabat yang mempunyai peran dan fungsi strategis atau akses kebijakan strategis melalui korupsi, kecurangan, dan penipuan yang sangat merusak serta menimbulkan korban yang bersifat massal.
Dalam kasus Tindak Pidana Pencucian Uang ini untuk dapat melakukan pemutihan uang dilakukan secara jelas dengan cara ilegal. Sedangkan pencucian uang menurut Sarah N. Welling adalah dimulai dari adanya uang kotor atau haram yang ditempuh melalui penggelapan pajak dan memperoleh kekayaan dengan cara melanggar hukum.
Beberapa jenis Tindak Pidana Pencucian Uang dalam suatu tindak pidana menggunakan Asas Ultimum remedium. Asas Ultimum remedium merupakan penggunaan hukum pidana Indonesia sebagai sebuah jalan akhir dalam penegakan hukum.
Karena asas ultimum remedium adalah jalan terakhir yang harus ditempuh dalam proses peradilan Tindak Pidana Pencucian Uang dan juga sebagai penentu pidana dalam Undang-undang.
Di Indonesia sendiri kejahatan pencucian uang identik erat dengan isu pemberantasan korupsi, namun asal mula kejahatan pencucian uang ini justru erat dengan upaya pemberantasan narkotika, khususnya di Amerika Serikat.
Pada saat itu kartel narkoba umumnya mengalihkan uang perolehannya dalam bentuk aset, menginvestasikannya dalam kegiatan usaha, atau mengatasnamakan kerabatnya atas kepemilikan aset tersebut.
Hal ini menyulitkan upaya perampasan aset tersebut yang diharapkan dapat menghentikan kegiatan illegal yang mereka lakukan.
Meski latar belakang yang terdokumentasi secara resmi mengenai kelahiran rezim anti-money laundering adalah yang berkaitan dengan upaya pemberantasan narkotika di Amerika, akan tetapi esensi dari modus pencucian uang sebenarnya juga sudah jauh dilakukan oleh para bajak laut dalam hal memanfaatkan hasil rampasannya.
Para bajak laut ini umumnya memperdagangkan kembali hasil rampasannya yang biasa berupa emas kepada para pedagang dari Eropa. Tujuan perdagangan tersebut dilakukan supaya asal-usul harta rampasan bajak laut bisa menggunakan hasil rampasannya seolah-olah hasil perolehan legal.
Konsep ini tentu sesuai dengan inti dari kegiatan pencucian uang, yakni menyamarkan asal-usul aset yang berkaitan dengan kegiatan kejahatan.
Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundering) merupakan upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau Harta Kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau Harta Kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang legal.
Ada tiga tahapan yang ditempuh untuk “mensucikan” hasil kejahatan dalam money laundring.
Pertama, uang yang dihasilkan dari suatu kegiatan kejahatan di ubah ke dalam bentuk yang kurang atau tidak menimbulkan kecurigaan melalui penempatan kepada sistem keuangan dengan berbagai cara (placement).
Langkah kedua adalah melakukan transaksi keuangan yang kompleks, berlapis dan anonim dengan tujuan memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya ke berbagai rekening sehingga sulit untuk dilacak asal muasal dana tersebut yang dengan kata lain menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana tersebut (layering).
Langkah yang terakhir adalah tahapan dimana pelaku memasukkan kembali dana yang sudah kabur asal usulnya ke dalam Harta Kekayaan yang telah tampak sah baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegaiatan bisnis yang sah ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana (integrasi).
Menurut ketentuan Pasal 2 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang masuk dalam kategori kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang adalah sebagai berikut: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang pasar modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau indak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf n.
Adapun bentuk hukuman terhadap pelaku TPPU diatur dalam pasal 3-10 UU Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yakni Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. (Penulis Magister Ilmu Hukum Univesitas Sumatera Utara)