Oleh Najamuddin Khairur Rijal
Kebijakan perdagangan bebas memberi manfaat bagi konsumen berupa harga susu yang lebih terjangkau dan dengan keragaman pilihan produk susu. Tetapi di lain sisi, terbukanya keran impor memukul telak daya saing produk susu dari peternak lokal
Dunia persusuan nasional sedang tidak baik-baik saja. Beberapa waktu lalu, viral di media sosial pemberitaan mengenai peternak sapi perah di Boyolali yang mandi susu sapi segar. Kejadian itu kemudian diikuti juga oleh peternak sapi perah di beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan membuang-buang susu segar mereka.
Alasannya karena harga jual susu sapi segar anjlok. Harga susu segar di tingkat peternak rata-rata hanya 7 ribu rupiah, sementara harga ideal di kisaran 9 ribu rupiah. Akhirnya peternak memilih membuang susu mereka daripada menjualnya dengan harga yang tidak sebanding dengan biaya produksi. Dewan Persusuan Nasional bahkan mengungkapkan ada lebih dari 200 ton susu segar per hari yang terpaksa harus dibuang.
Sementara itu, industri pengolahan susu (IPS) tidak mampu menyerap produksi susu segar dari peternak lokal. IPS lebih cenderung mengandalkan susu impor karena dianggap lebih murah dan kualitasnya lebih konsisten. Ironisnya, pada saat yang sama, impor susu terus meningkat dan tanpa terbatas.
Kenyataannya, Indonesia adalah salah satu negara dengan ketergantungan tinggi pada impor susu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen kebutuhan susu nasional dipenuhi melalui impor. Sementara produksi susu domestik hanya mampu memenuhi sekitar 20 persen kebutuhan susu nasional.
Sebagian besar susu impor berasal dari Selandia Baru dan Australia. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya kebijakan perdagangan bebas melalui kerangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Agreement (AANZFTA). Kerangka ini memungkinkan produk susu impor dari Australia dan Selandia Baru masuk ke dalam negeri dengan biaya rendah, bahkan dengan tarif nol persen.
Dilemanya adalah, di satu sisi, kebijakan perdagangan bebas ini memberi manfaat bagi konsumen berupa harga susu yang lebih terjangkau dan dengan keragaman pilihan produk susu. Tetapi di lain sisi, terbukanya keran impor memukul telak daya saing produk susu dari peternak lokal, yang dijual dengan harga murah tetapi dengan biaya produksi tinggi.
Fenomena ini memperlihatkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan perdagangan global. Ketika negara-negara eksportir susu mendapatkan keuntungan dari pasar ekspor ke Indonesia, para peternak lokal justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena tidak mampu bersaing. Masalah ini juga mencerminkan bagaimana kapitalisme bekerja dan kebijakan perdagangan internasional, dalam banyak kasus, mengabaikan dimensi keadilan distributif.
Kebijakan pembebasan bea masuk dan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk produk susu impor, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2022, semakin memperkuat dominasi produk impor di pasar domestik dan telah menciptakan ketimpangan struktural. Peternak lokal yang berjuang untuk biaya produksi tinggi harus bersaing langsung dengan produk susu impor yang ditopang oleh kekuatan modal yang besar dari korporasi global di negara asalnya.
Jika pemerintah mau belajar, negara-negara lain sejatinya memberikan praktik baik (best practices) bagaimana negara berusaha melindungi sektor domestik dari pusaran perdagangan global. Misalnya, Uni Eropa memberikan subsidi besar kepada peternak sapi perah dan memberlakukan kebijakan kuota impor ketat yang membatasi masuknya produk susu dari luar kawasan.
Demikian pula India memberikan contoh menarik. Sebagai salah satu produsen susu terbesar di dunia, India melarang impor susu bubuk dan produk susu lainnya untuk melindungi peternak lokalnya. Pada saat yang sama, pemerintah menyediakan fasilitas pelatihan dan akses alih teknologi modern untuk meningkatkan produktivitas peternak lokal. Langkah ini terbukti efektif dalam menjaga stabilitas harga susu lokal dan menjamin kesejahteraan peternak.
Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk menyehatkan kondisi persusuan nasional? Pertama, diperlukan evaluasi komprehensif terhadap kebijakan bebas bea masuk untuk produk susu impor serta perlunya proteksi sementara untuk memberi ruang bagi peternak lokal memperbaiki daya saing mereka.
Kedua, perlunya penguatan kemitraan di mana IPS didorong menjalin kemitraan yang adil dengan peternak lokal dan pemerintah harus memfasilitasinya. Regulasi yang mewajibkan industri pengolahan susu untuk bermitra dengan peternak lokal sejatinya sudah ada, seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 33 tahun 2018, tetapi implementasinya di lapangan belum berjalan maksimal dan karena itu perlu dikawal.
Ketiga, pemerintah perlu memberikan subsidi langsung kepada peternak sapi perah untuk menurunkan biaya produksi, sekaligus meningkatkan kualitas susu segar melalui berbagai fasilitasi pelatihan dan akses teknologi.
Keempat, peternak perlu didorong untuk menghasilkan diversifikasi produk susu menjadi produk olahan seperti keju, yoghurt, mentega dan lainnya yang memiliki nilai tambah. Tetapi ini membutuhkan komitmen pemerintah dan berbagai pihak melalui proses pendampingan dan pemberdayaan berkelanjutan, juga dengan dukungan modal.
Kelima, yang mungkin juga perlu didorong kembali adalah kampanye kesadaran konsumen untuk membeli produk lokal. Misalnya melalui kampanye nasional yang mendorong massifikasi konsumsi susu sapi segar produksi lokal.
Pada akhirnya, kondisi persusuan yang sedang menjadi perhatian publik saat ini adalah cerminan nyata dari ketidakseimbangan sistem perdagangan global dan dilema negara berkembang. Di satu sisi, Indonesia harus tetap memenuhi komitmennya dalam kerangka perdagangan bebas. Di sisi lain, pemerintah memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi dan menyejahterakan peternak lokal.
Kondisi ini menjadi momentum bagi pemerintahan baru untuk meninjau dan menyusun ulang agenda prioritas di bidang perdagangan, khususnya dalam konteks persusuan nasional. Dalam rangka menyelamatkan produksi lokal dan masa depan peternak. Jika tidak, kita akan terus menjadi bangsa yang bergantung pada negara lain, bahkan untuk memenuhi kebutuhan susu kita sendiri. Ironis.
Penulis adalah Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.