Studi Regional & Teknologi Kelautan

  • Bagikan
Studi Regional & Teknologi Kelautan

Oleh Shohibul Anshor Siregar

Promosi praktek perikanan berkelanjutan dan mitigasi dampak perubahan iklim perlu beroleh perhatian serius. Penangkapan ikan berlebihan dapat menjadi salah satu masalah utama di banyak bagian dunia Muslim

Seluruh catatan pengalaman empiris maritim dalam sejarah dunia Muslim begitu kaya dan penting untuk diabaikan. Selain beragam, juga sekaligus mencerminkan berbagai konteks budaya, ekonomi, dan politik. Samudera Hindia, misalnya, telah menjadi arena penting aktivitas maritim Muslim sejak kemunculan Islam (Mukhtar, 1981; Al-Haj, 1996; Al-Sudairy, 2010).

Pelaut Muslim mengembangkan teknik navigasi canggih yang memungkinkan mereka melintasi bentangan samudra yang luas. Mereka sangat bergantung pada bintang untuk navigasi; menggunakan instrumen seperti astrolabe, alat navigasi tradisional yang digunakan untuk menentukan posisi bintang dan planet dalam hubungannya dengan bumi (Sa’id, 1993; Saliba, 1976; King, 1981); dan kuadran, alat navigasi tradisional yang digunakan untuk mengukur tinggi matahari atau bintang di atas horizon (Chittenden & Roy, 2010; Hirsch, 2001) untuk menentukan halatuju. Perkembangan instrumen ini terkait erat dengan kemajuan astronomi yang menunjukkan interaksi antara pengetahuan ilmiah dan aplikasi praktis di dunia Muslim (King, 1983; Al-Khalili, 2011; Ahsan, 2004; Al-Hassani, 2008).

Pembuatan kapal di dunia Muslim lazimnya dipengaruhi oleh tradisi lokal dan pengaruh eksternal. Dhow, kapal layar tradisional Arab, adalah contoh utama dari hal ini. Dhow dibangun menggunakan teknik konstruksi sewn-plank dengan papan-papan dijahit bersama dengan tali sabut kelapa, bukan dipaku. Metode ini sangat cocok dengan bahan yang tersedia di sekitar dan memungkinkan pembangunan kapal yang kokoh dan layak laut (Hourani, 1967; Hourani, 1995; Al-Hassani, 2010).

Semua itu seiring perdagangan yang menjadi aspek penting dari aktivitas maritim. Jaringan perdagangan Samudra Hindia, yang menghubungkan Afrika Timur, Jazirah Arab, India, dan Asia Tenggara, didominasi oleh para pedagang Muslim sejak abad ke-8 dan seterusnya. Jaringan perdagangan ini tidak hanya memfasilitasi pertukaran barang tetapi juga penyebaran ide, teknologi, dan budaya (Abu-Lughod, 1989; Chaudhuri, 1985; Pomeranz, 2000).

Sejarah maritim dunia Muslim memberikan wawasan berharga tentang interaksi dengan lingkungan laut mereka dari waktu ke waktu. Sekaligus menggarisbawahi perlunya strategi pembangunan berkelanjutan melestarikan warisan budaya yang mampu mempromosikan pertumbuhan ekonomi.

Sejarah maritim Muslim dan relevansinya dengan akuakultur telah lama terkait dengan laut dan sumber daya perairan. Dari masa awal Islam, Muslim telah menjadi pelaut yang melintasi Samudra Hindia, Laut Merah, Laut Mediterania, dan Teluk Persia sembari membangun jaringan budaya yang luas. Selain itu, mereka juga mengembangkan hukum maritim Islam yang canggih, mencakup aturan tentang navigasi, hak lintas, dan sumber daya perairan.

Sejarah ini menyumbang basis yang kuat untuk pengembangan akuakultur yang unggul. Pengetahuan dan keterampilan maritim yang ada dapat digunakan untuk mendukung inovasi dalam teknologi akuakultur. Selain itu, gagasan maritim Islam dapat memberi kerangka hukum yang mendukung pengembangan sektor ini (Al-Hassani & Abattouy, 2003; Rahman & Jahan, 2008; Khadduri, 2008; Faruq et al., 2014).

Tetapi itu adalah kisah masa lalu, dan kini upaya konservasi laut di dunia Muslim mungkin menjadi salah satu masalah yang tak begitu menggembirakan. Ekosistem laut berada di bawah tekanan yang meningkat. Penangkapan ikan yang berlebihan, polusi, perubahan iklim, dan perusakan habitat mengesankan pelestarian keanekaragaman hayati, promosi praktik penangkapan ikan yang berkelanjutan, mitigasi dampak perubahan iklim, begitu mendesak (Cinner et al., 2012; Saleem et al., 2019; UNEP, 2015).

Beberapa negara telah membentuk kawasan perlindungan laut untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan melindungi spesies yang rentan. Kebijakan ini bervariasi dalam ukuran dan tingkat perlindungan, tetapi semuanya bertujuan melestarikan ekosistem laut dan memastikan pemanfaatannya secara berkelanjutan (UNEP/MAP, 2020; Muslimah, 2017; MICA, 2022; The Nature Conservancy, 2023).

Promosi praktek perikanan berkelanjutan dan mitigasi dampak perubahan iklim perlu beroleh perhatian serius. Penangkapan ikan berlebihan dapat menjadi salah satu masalah utama di banyak bagian dunia Muslim. Beberapa negara telah menerapkan langkah-langkah untuk mempromosikan praktik penangkapan ikan berkelanjutan. Termasuk menetapkan batas tangkapan, membatasi metode penangkapan ikan tertentu, dan mempromosikan penggunaan alat tangkap yang lebih selektif (Grafton et al., 2020; Saleem et al., 2016; FAO, 2015; Cheung et al., 2010).

Perubahan iklim menimbulkan ancaman yang signifikan terhadap ekosistem laut yang sebetulnya bukan menjadi masalah khas di dunia Muslim. Naiknya permukaan laut, pengasaman laut, dan peningkatan suhu dapat berdampak buruk pada terumbu karang dan habitat penting lainnya (Hoegh-Guldberg et al., 2017; Hughes et al., 2018; Kleypas et al., 2012; IPCC, 2019).

Dunia, termasuk beberapa negara mayoritas Muslim telah berusaha mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap lingkungan laut mereka (Hoegh-Guldberg et al., 2014; Saleem et al., 2021; Cinner et al., 2018; UNEP, 2020).

Jawaban ilmu dan teknologi diperlukan. Potensi kemajuan peradaban dalam sains dan teknologi kelautan di dunia Muslim dapat dikembangkan. Selain menyelamatkan lingkungan dan mensejahterakan rakyat dengan sumberdaya kelautan, juga sekaligus menjawab potensi kemajuan ilmu dan teknologi kelautan. Mungkin akan berurusan dengan fokus pada bidang-bidang seperti teknologi akuakultur, energi laut terbarukan, dan bioteknologi laut (Khan & Ahmed, 2018; Mokhatar, 2015; El-Din & El-Sayed, 2018).

Akuakultur adalah sektor yang menjanjikan untuk inovasi teknologi. Kemajuan dalam teknologi ini dapat membantu meningkatkan produksi ikan, meningkatkan ketahanan pangan, dan mengurangi tekanan pada stok ikan liar. Energi laut terbarukan adalah konsep penting dalam konteks perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan (Kim & Chung, 2020; Cruz, 2021).

Bioteknologi laut adalah bidang yang berkaitan dengan pemanfaatan organisme laut untuk kepentingan ilmiah, teknologi, dan aplikasi komersial (Kim & Chojnacka, 2018; Karthikeyan & Boopathy, 2020). Hal ini telah menjadi sektor yang potensil menjanjikan untuk inovasi teknologi di dunia Muslim. Namun ketiganya memerlukan kelembagaan akademik, pembiayaan, kerjasama dan dorongan politik yang serius.

Dengan lebih dari 57 negara yang mayoritas penduduknya Muslim, banyak di antaranya memiliki garis pantai dan sumber daya perairan yang signifikan, potensi untuk pengembangan akuakultur sangat besar. Kemajuan dalam teknologi dalam bidang ini dapat membantu meningkatkan produksi ikan, meningkatkan ketahanan pangan, dan mengurangi tekanan pada stok ikan liar (Siddik et al., 2018; Rahman et al., 2017; Yıldırım, 2016; Mokhatar & Nurrulhidayah, 2020).

Teknologi akuakultur modern dan potensinya dapat mencakup berbagai metode dan alat untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas budidaya air termasuk teknologi pembenihan, pakan, penangkapan dan panen, serta pemantauan dan manajemen.

Dengan mengembangkan teknologi ini, produsen akuakultur dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas, mengurangi dampak lingkungan dari operasi, dan meningkatkan kesejahteraan.

Implementasinya di dunia Muslim dapat disaksikan dalam tahapan awal yang belum sepenuhnya menjawab kebutuhan. Misalnya di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh. Di Uni Emirat Arab dan Qatar produsen akuakultur telah mulai menggunakan teknologi pakan hidroponik dan berbasis alga untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ikan mereka (Hasan & Halwart, 2019; Al-Abdullatif et al., 2019; Tendencia et al., 2020; Rana et al., 2018). Alga, atau ganggang, adalah organisme fotosintetik yang memiliki peran penting dalam ekosistem laut dan terlibat dalam siklus oksigen dan karbon dioksida. Dalam konteks bioteknologi laut dan akuakultur, alga telah menjadi fokus penelitian dan pengembangan karena potensinya sebagai sumber nutrisi, produk kimia, dan bioenergi (Borowitzka, 2016; Wijffels & Barbosa, 2010; Brown, 2019; Spolaore et al., 2006).

Tetapi sejauh ini banyak negara Muslim yang memiliki sumber daya perairan yang signifikan tetapi belum sepenuhnya memanfaatkannya. Juga kerap terjebak oleh iklim buruk pengelolaan terkait keamanan dari pencurian tanpa penghargaan atas kedaulatan sebuah negara.

Upaya konservasi laut saat ini menunjukkan peningkatan kesadaran akan ancaman yang dihadapi ekosistem laut dan komitmen untuk mengatasi tantangan ini meski masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan keberlanjutan upaya ini dan untuk memitigasi dampak perubahan iklim terhadap lingkungan laut.

Sebagai salah satu potensi yang signifikan untuk kemajuan teknologi dalam ilmu dan teknologi kelautan di dunia Muslim, negara-negara mayoritas Muslim dapat berkontribusi pada upaya global untuk mengatasi masalah kelautan yang mendesak sekaligus mempromosikan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Akuakultur telah menjadi semakin penting dalam beberapa tahun terakhir karena permintaan ikan meningkat, tetapi sumber daya akuatik alami menipis.

Studi regional tentang sains dan teknologi kelautan di dunia Muslim dapat membantu mengatasi tantangan-tantangan ini dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya sains dan teknologi kelautan, meningkatkan pendidikan dan pelatihan dalam sains dan teknologi kelautan, meningkatkan pembangunan infrastruktur dalam sains dan teknologi kelautan, dan meningkatkan kerja sama antar negara Muslim dalam sains dan teknologi kelautan.

Juga dapat memberikan manfaat bagi dunia Muslim dalam sejumlah hal, termasuk meningkatkan pembangunan ekonomi, meningkatkan kualitas hidup, meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, meningkatkan perlindungan lingkungan dan meningkatkan perdamaian dan kerja sama.

Selain itu penting untuk masa depan tak hanya bagi dunia Muslim secara eksklusif. Studi ini dapat membantu mengatasi tantangan pemanfaatan potensi laut untuk pembangunan berkelanjutan.

Topik ini adalah salah satu agenda pembahasan Seminar Islamic History and Heritage: Remembering the Past, Remaking the Future 4th International Conference on Islamic Civilization (ICONIC) dan 9th International Conference On Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Universitas Islam Arraniry Banda Aceh, 23-24 Agustus 2023 mendatang.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Studi Regional & Teknologi Kelautan

Studi Regional & Teknologi Kelautan

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *