Oleh Ibrahim Gultom
Dalam konteks tugas Polri yang berkeadaban yang dicanangkan Irjen Pol. Agung adalah salah satu ciri polisi yang modern. Sebab ukuran prestasi kepolisian bukan hanya banyaknya kriminal yang ditangkap melainkan sejauhmana kedekatan Polri dengan rakyat sehingga mampu menekan angka kriminal dan dapat menciptakan ketertiban…
Jumat 14 Juli 2023 yang lalu telah dilantik Irjen Pol. Agung Setya Imam Effendi di Mabes Polri sebagai Kapolda Sumatera Utara (Sumut) menggantikan Irjen Pol. Panca Putra Simanjuntak. Sebagai Kapolda yang baru, masyarakat Sumut tentu menyambut kehadiran beliau mengemban tugas di Sumut dengan sejumlah pengharapan.
Jika menyimak pidato Irjen Pol. Agung pada saat pelantikan, Beliau mengajak semua pihak bersinergi membangun peradaban sebagai dasar untuk meningkatkan kemajuan yang saat ini telah tercapai. Upaya mewujudkan Sumut yang beradab tentu dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan di depan hukum dan kepatuhan terhadap norma-norma hukum yang berlaku.
Selain itu, untuk mewujudkan peradaban di tengah masyarakat terutama di area publik perlu mengedepankan akidah, keimanan dan kebangsaan. Jika tercipta peradaban di area publik, tentu tidak ada lagi gangguan keamanan dan ketertiban. Demikian cuplikan pidato beliau seraya menyebut berkat peradaban itu kita dapat merasakan indahnya ekspresi dan budaya di area publik sebagai warna masyarakat Sumut.
Jujur saja, sebagai akademisi, tentu saya terkesima dengan tawaran ide-ideal Kapoldasu yang baru ini dalam mengawali tugasnya di Sumut. Tegasnya, Beliau mengedepankan dimensi peradaban, akidah, keimanan dan kebangsaan dalam menata kehidupan masyarakat tak terkecuali dalam memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat.
Selama ini jarang pejabat kepolisian sekelas Kapolda yang ingat dan mau menyebut terminologi peradaban, akidah dan keimanan sebagai jargon, motto serta slogan dalam memedomani tugasnya. Hanya orang yang berilmu, berpengalaman dan intelek yang mampu menerjemahkan peranan peradaban itu dalam kehidupan.
Sejak berdirinya institusi Polri, sudah banyak butir-butir pedoman yang wajib diamalkan oleh anggota kepolisian dalam setiap menjalankan tugasnya. Mulai dari Tri Brata, Catur Prasetya dan sejumlah slogan seperti “pengabdian yang terbaik”, pengabdian tanpa terbatas apalagi dengan semboyan terbaru “bisa menolak perintah atasan yang nyata-nyata melanggar hukum” .
Ada dua jargon atau motto kepolisian yang muncul dalam satu dekade belakangan ini. Pertama, jargon atau motto yang bernama promoter yang diusung oleh Kapolri Jen. Pol. Tito Karnavian. Promoter ini punya makna bahwa institusi Polri harus professional, modern dan terpercaya.
Kedua, adalah presisi yang dikumandangkan oleh Jen. Pol. Listyo Sigit Prabowo yang mengandung tiga konponen yakni prediktif, responsibilitas dan transfaransi yang berkeadilan.
Dua jargon ini mengalami banyak ujian sehingga secara praksis cita-citanya tidak dapat diwujudkan secara maksimal dalam hal penagakan hukum, melindungi masyarakat, memelihara ketertiban/keamanan, mengayomi dan melayani, jika tidak dikatakan gagal. Keberadaan jargon ini pun akhirnya tidak lebih hanya sekedar pajangan belaka karena terkesan sedikit melangkah lebih jauh meninggalkan rakyat.
Akhirnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri menurun 4 tahun belakangan ini. Syukurlah angka kepercayaan masyarakat ini pulih kembali dari angka 60 persen sebelumnya menjadi 70 persen menurut versi presiden Jokowi baru-baru ini.
Banyak variabel yang menyebabkan motto ini tidak dapat terwujud. Boleh jadi karena tarikan politik yang memaksa harus keluar dari ruh jargon dan motto yang sebenarnya. Persis seperti pergeseran fungsi kepolisian pada jaman Belanda yang semula melindungi masyarakat malah merubah arah menjadi penjaga harta golongan para elit. Artinya berubah dari alat negara menjadi alat penguasa.
Ketiga, bisa saja doktrin jargon dan motto ini sejak dari awal tak mengindahkan aspek peradaban, akidah keimanan dan kemanusiaan dalam proses perjalanannya. Atau bisa saja karena banyaknya godaan bagi mereka yang duduk di pucuk pimpinan sehingga lupa akan tugas formalnya sehingga terjebak pada gaya hidup hedonisme, cinta dunia serta jauh dari sifat qanaah sehingga tak mampu mengendalikan dirinya.
Dalam hal menjalankan tugas, acap kali diperhadapkan pada suatu pilihan yang rumit sekaligus menuntut adanya kecerdasan hati nurani. Terkait dengan hati nurani ini Rasulullah pernah berkata dengan bahasa kenabiannya; ”mintalah fatwa pada dirimu”. Kalimat ini hingga tiga kali diucapkan. Fatwa yang dimaksud tentu menanya kalbu yang paling dalam agar setiap melangkah, memilih dan memutuskan senantiasa berkordinasi dengan hati nurani agar jangan timbul penyesalan pada dirinya dan orang lain.
Dalam konteks tugas Polri yang berkeadaban yang dicanangkan Irjen Pol. Agung adalah salah satu ciri polisi yang modern. Sebab ukuran prestasi kepolisian bukan hanya dilihat dari segi banyaknya orang yang berbuat kriminal dapat ditangkap dan dipenjarakan melainkan sejauhmana kedekatan Polri dengan rakyat sehingga mampu menekan angka kriminal dan dapat menciptakan ketertiban daan keamanan.
Prinsip ini sejalan dengan paham kepolisian di semua negara di dunia yang disebut filosofi polisi modern yang baru (new modern police philosophy) yang jargonnya”vigilant quiescent” (Kami berjaga sepanjang waktu agar masyarakat tenteram).
Artinya, lebih mengedepankan penjagaan, kewaspadaan yang berbentuk soft dengan pendekatan moral, kultural dan humanis daripada memperlihatkan senjata di genggaman. Penggunaan teknonolgi yang canggih hanyalah sebagian dari ciri Polri yang modern itu.
Kehadiran Kapoldasu yang baru tentu disambut masyarakat Sumut dengan rasa sukacita seraya menunggu terobosan-terobosan yang handal guna menekan angka kriminalitas di Sumut khususnya fenomena begal di kota Medan. Selain itu ada juga fenomena hadirnya Narkoba di mana-mana dan kesemrautan lalu lintas. Salah satu karakter jelek anggota masyarakat di Sumut adalah ketidakpatuhan terhadap rambu-rambu lalulintas.
Perlu ada gerakan bersama dengan melibatkan semua komponen masyarakat berupa campaign (kampanye) secara masif untuk menggaungkan perang terhadap begal, Narkoba dan perang ketidakpatuhan terhadap ketertiban berlalu-lintas. Perang yang dimaksud adalah berbentuk himbauan khas atau pengumuman, baik melalui media maupun komunikasi interpersonal. Bila perlu rumput yang bergoyang pun harus tahu tentang adanya gerakan campaign itu.
Meski penduduk Sumatera Utara ini tergolong masyarakat heterogen yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras dan golongan (SARA) dan memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah lain, namun daerah ini boleh dikatakan termasuk daerah yang aman dan jauh dari konflik dan kerusuhan.
Itu tiada lain karena kedewasaan anggota masyarakatnya menjaga perbedaaan meski sepanas apapun suhu politik di negeri ini. Dan itu pula sebabnya yang membuat masyarakat Sumut sebagai barometer kerukunan menurut kaca mata pemerintah pusat. Banyak yang datang dari daerah lain guna studi banding tentang kerukunan khususnya kerukunan umat beragama di Sumatera Utara.
Selamat menjalankan tugas baru di Sumatera Utara, semoga Irjen Pol. Agung sukses menjalankan amanah. Atas segala pengabdian yang akan dipersembahkan di Sumut mudah-mudahan memperoleh berkah dan mendapat ridho dari Allah SWT.
Penulis adalah Guru Besar UNIMED dan Anggota FKUB Sumut
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.