Rp2,5 triliun dibagi 7.812 unit sampan ekuivalen dengan Rp320 juta per sampan. Masih kurang masuk akalkah kalkulasi ini, yaitu tenaga Rp320 juta untuk 1 sampan kecil saja?
Rencana pemerintah menggelontorkan insentif Rp5 triliun untuk pembelian kendaraan listrik perlu diberi masukan, kalau tidak ingin disebut kritik. Gegap gempita Rp. 5 triliun itu dilakukan saat nelayan-nelayan tradisional kita terus terdesak oleh aneka masalah, mulai dari kenaikan harga BBM, penurunan nilai tukar nelayan, sulitnya akses pada BBM, tangkapan yang lebih sering minim, dan sederet masalah lainnya. Tak ada nama nelayan tradisional disebut bahkan dalam ekosistem kendaraan listrik yang sedang dibangun. Pemerintah sedang memunggungi laut.
Akal sehat manapun akan dengan mudah menjawab, kemana seharusnya subsidi/insentif disalurkan, apakah kepada kendaraan mewah digital atau kepada sampan-sampan tua nelayan yang rapuh menghadapi ganasnya ombak perkembangan zaman. Bicara soal produktivitas, juga tak sulit mengalkulasi mana lebih produktif menghasilkan kebutuhan pokok antara mobil/motor listrik dengan kapal listrik nelayan. Sehebat-hebatnya produktivitas kendaraan listrik, dominan masih di sektor jasa. Sekecil-kecilnya sampan nelayan yang goyang akibat ombak, dia membawa hasil laut ke daratan untuk dimakan rakyat.
80 Dan 8 juta
Mari kita berhitung. Kabarnya, mobil listrik dapat insentif Rp.80 juta per unit. Motor listrik dapat Rp.8 juta. Motor konversi dapat Rp. 5 juta per unit. Sekarang, mari kita berasumsi dalam hitung-hitungan kasar. Jika Rp5 triliun itu dibagi 2 untuk mobil dan motor, katakanlah masing-masing jenis mendapat Rp2,5 triliun. Maka, hasilnya adalah 2,5 triliun dibagi 80 juta akuivalen dengan 31.250 unit mobil akan menyerap yang 2,5 tiliun itu. Tak usah dihitung berapa unit motor yang akan menyerap 2,5 triliun lainnya, sekitar 10 kali lipat unitnya lebih banyak dibanding unit mobil, karena satu motor mendapat insentif 10 persen dibanding mobil (mobil 80 juta, motor 8 juta).
Sekarang, mari kita berandai-andai. Misalkan 2,5 triliun untuk mobil itu dialihkan untuk membuat sampan baru berbasis baterai untuk nelayan dimana 1 sampan kecil baru seharga Rp.80 juta, maka ada 31.250 sampan yang akan meremajakan sampan-sampan bermotor konvensional. Mungkin ini hitungan yang terlalu besar, maka potong sajalah 50 persennya, 31.250:2, maka setidaknya ada 15.625 ribu-an sampan baru yang tak butuh BBM subsidi lagi, tidak mengeluarkan karbon, dan yang lebih pasti lebih ergonomis bagi awak nelayan. Saya tidak punya data berapa jumlah total sampan kecil nelayan tradisional di Indonesia. Yang pasti, 15.625 unit sampan kecil untuk nelayan itu sangat banyak.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, potong sajalah jumlah 31.250 itu 50 persen lagi, itu artinya satu unit sampan memperoleh Rp160 juta. Bisakan hitung-hitungan kasar kita menerima bahwa 1 buah sampan kecil untuk nelayan tradisional seharga Rp160 juta itu? Pergilah ke daerah-daerah pesisir yang terdapat banyak nelayan tradisional, rasanya harga sampan mereka tak sampai Rp160 juta. Atau mungkin jumlah unit sampan listrik 15.625 ribu unit itu masih terlalu optimistis, potong lagi 50 persen, yaitu 7.812 unit sampan.
Artinya, Rp2,5 triliun dibagi 7.812 unit sampan ekuivalen dengan Rp320 juta per sampan. Masih kurang masuk akalkah kalkulasi ini, yaitu tenaga Rp320 juta untuk 1 sampan kecil saja? Bagaimana jika yang Rp2,5 triliun alokasi untuk motor listrik itu dipotong 50 persen saja untuk sampan nelayan, yaitu Rp1,25 triliun dibagi Rp320 juta, ekuivalen dengan 3500 lebih sampan baru, ditambah 7.812 unit yang didapat dari alokasi untuk mobil, jumlah totalnya sekitar 11.312 unit.
Perlu diingat, bahwa Rp. 5 triliun insentif yang dialokasikan untuk mobil dan motor itu hanya 50 persen saja, tidak seluruhnya untuk sampan nelayan. Rp. 2,5 triliun masih tetap teralokasikan untuk mobil dan motor. Tapi dengan setengahnya saja, ada hampir 10 ribuan sampan nelayan yang bisa menjaga laut kita. Mereka tidak perlu BBM, tidak mengeluarkan emisi, dan jauh lebih ergonomis. Jika 1 sampan menyerap 2 tenaga kerja, katakanlah 1 ayah dan 1 anaknya, berapa banyak penganggur yang terserap dengan spontan ke sektor perikanan tangkap.
Katakanlah 1 sampan kecil membawa pulang ikan 15 kg saja per hari, kalikanlah dengan hampir 10 ribu sampan, maka hasilnya hampir 15 ribu ton ikan setiap hari mendarat. Tak usah angkanya optimis seperti itu, potong saja lagi 50 % tangkapan per hari dari setiap sampan, maka ada 7500 ton ikan tangkap yang didaratkan per hari. Belum lagi jika tambah dengan sampan-sampan lama yang kemungkinan besar tetap beroperasi.
Pokoknya, jika berhitung-hitung angka, bisa hang, bahkan saya bisa mengundang keheranan orang mengapa saya bicara triliun-triliun segala. Maka, saya tak mau lagi memperpanjang triliun-triliun, kita bicarakan saja soal ergonomi sampan listrik dan dampak ikutannya pada sektor kelistrikan, kemudahan nelayan, dan lingkungan hidup.
Kemudahan
Dalam hal BBM saja, nelayan kita menghadapi banyak kendala. Menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Dani Setiawan, ada 3 kendala untuk mendapatkan BBM subsidi untuk nelayan, yaitu kendala administrasi, realisasi kuota yang tak sesuai, serta keterbatasan infrastruktur penyaluran BBM subsidi. Dari hasil survei KNTI pada 2021 ada 5.292 nelayan, sebanyak 82 % mengaku tidak memiliki akses pada BBM subsidi. Sebanyak 83 % nelayan mengaku membeli BBM ke pengecer dengan harga lebih mahal.
Padahal, jumlah desa pesisir saat ini di Indonesia ada 10.743 desa, yang dilayani hanya 374 unit saja. Pertanyaanya sekarang, untuk apa BBM bagi nelayan? Jelas untuk memutar baling-baling sampan dan alat listrik yang kecil, seperti ponsel dan lampu-lampu. Tidakkah ini bisa digantikan oleh baterai? Bukankah baterai bisa mengatasi 3 kendala nelayan tadi dalam mengakses BBM? Ini sangat mempermudah nelayan-nelayan kecil kita. Mereka bisa menghemat tenaga yang awalnya untuk membeli BBM kepada mencolokkan baterai ke sumber listrik di rumah pada saat off, penuh, dan jalan. Nelayan akan punya lagu baru untuk dinyanyikan, selamat tinggal BBM.
Sudahlah, tak usah saya bicara soal dampak ikutan positif dari migrasi sampan nelayan dari mesin konvensional kepada motor listrik. Terlalu banyak untuk disebutkan. Misal, dulu, kita sering mengalami pemadaman listrik. Kabar-kabarnya, karena produksi listrik kita defisit dibanding kebutuhan. Sekarang, situasi berbalik, over produksi listrik karena pemerintah agresif dalam pembangunan pembangkit listrik. Kemana produk listrik mereka akan dijual, padahal di sisi nelayan sedang kesulitan mendapatkan BBM dan bisa dikonversi menjadi baterai?
Sekali lagi, saya bisa memperpanjang-panjang penjelasan manfaat konversi sampan nelayan dari mesin pembakaran internal kepada mesin listrik, mulai dampak lingkungan, hasil tangkapan, serapan listrik, penurunan beban subsidi dalam APBN, tenaga kerja, dan lainnya, yang semua capaian ini tidak akan dapat diimbangi oleh kendaraan darat seandainya mereka memperoleh seluruh insentif yang direncanakan.
Ergonomis
Ergonomi adalah ilmu pengetahuan yang membahas tentang kesesuaian antara tubuh manusia dengan benda/alat-alat di sekitarnya sehingga tidak menimbulkan stres atau tekanan pada jiwa dan raga. Jelas, keberadaan mesin konvensional pada sebuah sampan kecil apalagi dari kayu tidak ergonomis. Mesin menghasilkan putaran baling-baling dan sedikit pasokan pada alat listrik yang dibawa nelayan. Tetapi, ada banyak hal yang kurang menguntungkan, misalnya kebisingannya, getarannya, bau-nya, kotorannya, kerumitan komponennya, dan masih banyak lagi.
Kita tahu bahwa sebuah mesin konvensional menghasilkan getaran yang bisa merusak struktur badan kapal. Ikan-ikan umumnya tidak menoleransi getaran yang berlebihan dan lari menjauh dari pusat getaran. Kebisingannya membuat nelayan kesulitan komunikasi. Bau dan kotorannya lebih banyak dibanding baterai. Komponennya memerlukan keahlian khusus jika rusak.
Itulah mengapa kapal selam banyak yang menggunakan baterai, yaitu sedikit getaran dari mesin membuat mudah terdeteksi oleh radar lawan. Bandingkan dengan motor listrik yang komponennya sedikit, minim sekali getaran, tidak bising, tidak memerlukan keahlian khusus untuk perbaikan, dan lainnya. Tentu kondisi tubuh nelayan akan lebih fit jika di dekat motor listrik dibanding dengan motor bakar. Mereka akan membawa ikan lebih banyak ke darat. Dan yang paling penting, kita akan mencetak rekor sebagai negara pertama di dunia yang nelayan tradisionalnya menggunakan motor listrik.
Penulis adalah Alumni STIK-P Medan, Editor Pada Penerbit CV Mitra, Ketua Pokja Forum Penulis Buku Muatan Lokal Sumatera Utara.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.