Scroll Untuk Membaca

Opini

Runtuhnya Kekuasaan Politik Trias Politica

Runtuhnya Kekuasaan Politik Trias Politica

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Dalam aktivitas serta pemahaman politik modern pada abad pertengahan, juga disebut era “enlightment”, perubahan prinsipil dalam dunia politik adalah, kekuasaan politik tidak berada pada satu kekuasaan yang absolut serta otoriter. Sehingga keputusan serta kebijakan politik dalam kehidupan rakyat ditentukan dan dikuasai oleh satu kekuasaan politik menentukan segalanya terhadap bidang kehidupan. Kemudian perubahan dialektika intelektual serta sistem politik yang demikian mendasar, menjadikan kondisi dan aktivitas politik semakin menjadi lebih modern, karena perubahan terhadap hak yang prinsipil dalam kehidupan manusia, yaitu adanya penghargaan manusia memiliki hak yang sama dan setara dalam kehidupan masyarakat, hukum, serta kemanusiaan. Selanjutnya berkembang menjadi penghargaan adanya hak azasi manusia, manusia memiliki hak dan adanya pengakuan yang sama serta sederajat.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Runtuhnya Kekuasaan Politik Trias Politica

IKLAN

Hal ini menjadi pemikiran masyarakat modern bahwa, adanya pengakuan terhadap posisi politik dalan kekuasaan agar tidak pada satu orang ataupun pada seseorang yang menjadi penguasa politik, maka berdasarkan pemikiran secara empiris Inggris John Locke (1632-1704), dipengaruhi oleh pemikiran Hobbes, Decrates, Aristotels dan lainnya, bahwa setiap orang memiliki hak terhadap pengakuan individunya, sehingga lahirnya liberalisme dari dialektika kekuasaan feodalisme dan adanya kontrak sosial dalam kehidupan politik. Kemudian menjadi pemikiran lanjutan Montesquieu (1689-1777), yaitu pemisahan kekuasaan politik kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif, konsep pemikiaran kekuasaan politik ini kemudian populer dengan istilah “trias politica”, menjadikan aktivitas dan kekuasaan politik tidak lagi pada satu dan atau kepada seseorang yang berkuasa secara politik. Ini akibat adanya perubahan berlaku sebelumnya, kekuasaan seorang pemimpin politik sangat feodal dan otoriter, merangkul orang termasuk agamawan dan militer, juga alat kekuasaan lainnya mendukung kekuasaannya, sehingga menjadi sangat absolut dan menentukan keinginan dan kepentingan politiknya.

Kemudian demokrasi yang semakin berkembang di era modernisme menjadi suatu model pemerintahan dengan keseimbangan kehidupan yang diarahkan menjadi harmonis, merupakan ciri khas kehidupan modern. Maka, demokrasi mampu mengatasi tantangan utama dalam politik, adanya berbagai pandangan dan kepentingan yang saling ada dalam masyarakat  yang sama, sekaligus cenderung meredam pertumpahan darah dan kekerasan, karena demokrasi stabil dan damai, bersandar pada debat terbuka, persuasi dan kompromi (Heywood, 2013). Sehingga demokrasi semestinya mampu menjauhkan dari kehidupan tirani dalam kehidupan rakyat, karena menggunakan prinsip nilai universal yang diargumentasikan dengan hak azasi manusia, yaitu sebuah hak yang fundamental dan absolut yang dimiliki semua orang, dengan tidak menitik beratkan terhadap perbedaan bangsa, agama, gender dan lainnya. Dalam penekanan hak terhadap partisipasi politik dan akses pada kekuasaan, khusus terhadap memilih dapat diterapkan secara universal, disebabkan adanya hak mendasar seseorang untuk membuat keputusan yang memepengaruhi diri sendiri, hak untuk berkuasa atas dirinya sendiri.

Sebenarnya ini merupakan akses yang setara pada kekuasaan dan untuk partisipasi politik kebaikannya tidak hanya terbatas pada hak itu sendiri, namun keduanya merupakan prasyarat terhadap pemeliharaan semua hak dan kebebasan yang lain. Hal ini dapat menjauhkan sifat politik tirani kekuasaan terhadap rakyat, karena kekuasaan berlebihan menjadi tirani sebagai refleksi fakta berlaku pada saat sedang berkuasa, karena nafsu dan kepentingan pribadi, kelompok, golongan dan keluarga/dinastinya diatas kepentingan orang lain atau rakyat. Maka dengan sistem pemerintahan yang demokratis, kekuasaan tidak pada satu dan atau sekelompok orang, menggunakan sistem kekuasaan dengan “trias politica”, pemimpin atau elite perlu diawasi, dibatasi, karena tidak ada pembatasan yang lebih efektif dengan demokrasi dengan pembahagian kekuasaan. Karena kekuasaan yang demokratis berlangsung menggunakan mekanisme akuntabilitas  yang memungkinkan rakyat untuk menyingkirkan orang-orang curang, culas, penjilat, busuk, gila kekuasaan, bahkan ingin terus berkuasa termasuk memanfaatkan anak keturunan darahnya sebagai dinasti politik. Sehingga rakyat demokratis akan berfikir rasional, menggunakan akal sehat serta cerdas, tidak membiarkan pemimpin tirani yang otoritarian absolut untuk kekuasaan politik negara.

Dalam praktik politik demokrasi memalui pemilihan umum menghendaki adanya legitimasi, ini sepaham dengan rujukan pemikir Jerman Weber (1864-1920) dikutip oleh Wolin (1981), yaitu otoritas, legal, dan rasional, yaitu menghubungkan otoritas dengan sebuah rangkaian aturan yang jelas dan didefinisikan secara hukum, ini banyak berlaku di negara modern.

Kemudian dikaitkan dengan cara berfikir empiris Locke (Strauss, 1953&Dunn, 1967) dimana otoritas, legal dan rasional. Kini ternyata pemimpin pemerintah eksekutif, mampu mendominasi kekuasaan legislatif dengan berlebihan serta otoritas yang dimilikinya melalui berbagai cara, selanjutnya yudikatif dapat saja yang menjadikan hukum sebagai landasan legalitas yang mudah diperintahkan, dibelok-belokkan, dibengkokkan untuk kepentingan kekuasaan eksekutif. Juga ditempuh berbagai cara lain, bahkan menghalalkan segala cara agar kekuasaan partai politik tetap dalam genggaman, yang selanjutnya di bawah kendali kekuasaan serta dinasti politik yang dibangun. Hal ini juga merupakan tirani kekuasaan atas politik dan demokrasi politik rakyat melalui legitimasi hukum yang dilakukan secara sah, ini dilaksanakan dengan memaksakan legitimasi otoritas, legal dan rasional yang seolah-olah benar meskipun salah, mendapatkan legitimasi dan pengakuan dengan menggunakan alat-alat kekuasaan negara yang dipaksakan, termasuk dengan uang, jabatan dan otoritas kekuasaan berada di bawahnya.

Dengan demikian legitimasi yang dipaksakan akan menimbulkan krisis kepercayaan dan legitimasi kepemimpinan dari rakyat, yang sangat menghargai demokrasi dalam kehidupan politik modern, termasuk dengan secara terpaksa menerima proses demokrasi, kompetisi orang dan partai, pemilihan umum, reformasi kesejehateraan sosial (bantuan sosial, bantuan langsung tunai, program keluarga harapan dan lainnya), semua uang berasal dari rakyat diatasnamakan belanja negara. Namun demikian dalam proses demokrasi dilakukan dan pemilihan umum dilakukan lagi cara-cara yang curang, culas dan penuh manipulasi, agar kekuasaan politik di bawah kendali kuasaan pemimpin otoriter serta tirani, dibantu oleh keluarga, kroni, para antek rakus kekuasaan dan anak keturannya dalam lingkungan dinasti politik. Karena ini semua merupakan usaha untuk menguasai kekuasaan negara menggunakan pemikiran dan praktik sistem kapitalisme yang dianut untuk menumpukkan kekayaan pribadi, keluarga, kroni dan kerabat pendukung kekuasaannya yang memicu krisis kepercayaan dan legitimasi rakyat. Sehingga menurut Habbermas (1973), yaitu serangkaian kecenderungan krisis dalam masyarakat kapitalis yang membuat mereka sulit untuk memelihara stabilitas politik melalui kesepakatan semata. Hal ini biasanya kesepakatan mudah sekali diputar-balikkan, dikhianati, dikangkangi dan berlaku selama kekuasaan masih dibawah genggaman pemimpin otoriter.

Dengan demikian argumen kontradiksi akibat runtuhnya sistem “trias politica” akan terus terjadi ketegangan, konflik antar logika akumulasi kapitalis yang terus berkuasa, pada satu sisi lain rakyat harus melepaskan penghalangnya oleh politik demokrasi semua yang menggunakan baju otoritarianisme. Hal ini mesti dilakukan dengan cara perlawanan terhadap ketagangan yang tiada henti, agar legitimasi tersebut mesti mendapatkan tekanan balik, karena proses demokrasi telah menuntut kesejahteraan sosial, partisipasi rakyat dan kesetaraan hak azasi manusia. Sehingga dapat saja berlaku dan berkembang menjadi revolusi, hal ini merupakan akibat dari ketidakseimbangan dalam sistem politik, yang disebabkan perubahan-perubahan ekonomi, sosial budaya dan pemerintahan yang otoriter sebagai respon ketidakseimbanag serta ketidakselarasan. Maka revolusi politik tidak haram dan tabu dilakukan, suatu kemestian  melibatkan aksi massa di luar hukum yang menghasilkan perubahan fundamental politik itu sendiri yang meruntuhkan sistem “trias spolitica”, perubahan aturan ataupun kebijakan elite kekuasaan pemerintahan yang semakin otoritarian, revolusi rakyat antitesis pemimpin otoriter.           

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE