Sebagai magnet, Jakarta semacam terus memperoleh dorongan pihak penguasa
Scroll Untuk Lanjut Membaca
IKLAN
Sebagai magnit, Jakarta semacam terus memperoleh dorongan pihak penguasa. Mengapa ibu kota perlu dipindahkan?
Data Biro Pusat Statistik (BPS) tentang hasil-hasil pembangunan dan kemajuan serta situasi kondisi terkini negara dan bangsa Indonesia secara rutin dari waktu ke waktu menyikapi plus-minusnya berdasarkan angka-angka yang terekam dari lapangan. Di luar lembaga-lembaga pemerintahan, para peneliti, pengamat, pegiat masyarakat sipil dan tentu juga media pers mempunyai hak sekaligus kewajiban untuk melaporkan fenomena-fenomena dari lapangan yang dapat dihimpun, disusun, ditulis dan dipublikasikan.
Dari sektor kependudukan tercatat kenaikkan jumlah orang. Terbesar di Pulau Jawa (terakhir berjumlah lebih145 juta jiwa) dan dari sisi demografi di kota-kota besar dan sekitarnya di seluruh tanah air. Sebagai DKI, Jakarta tertinggi dengan jumlah 10,18 juta jiwa. Jauh di bawah Jakarta namun menggungguli kota-kota besar lainnya adalah Surabaya (lebih 2,7 juta jiwa) dan Bandung (2,39 juta jiwa), keduannya di Pulau Jawa.
Isu kepadatan penduduk Jakarta dapat dirinci dan dibagi menjadi isu-isu spesifik yang melengkapi situasi kongesti yang sedang menimpa DKI Jakarta. Istilah kongesti ini digunakan dalam kajian Visi Indonesia 2033 hasil tim peneliti diketua Andrinof A Chaniago (beredar tahun 2010) sebelum ketua tim menjadi menteri / kepala Bappenas masa awal kabinet jilid 1 Presiden Joko Widodo dan konon sempat mendapat apresiasi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Visi Indonesia 2033 mendukung pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.
Kongesti (dari kata Inggris, congestion) adalah situasi-kondisi yang menggambarkan kemacatan, kekusutan, kelumpuhan atau stagnasi, pemborosan dan last but not least kemorosotan di ruang publik. Sebagai contoh, berikut ini daftar isu terkait kepadatan kependudukan Jakarta:
Jumlah kendaraan umum, pribadi dan dinas cukup tinggi dan meningkat + kemacatan kronis lalu lintas berlanjut + peluasan angkutan umum masal berbiaya tinggi karena kebutuhan menambah jumlah dan frekuensi operasi angkutan darat, meluaskan sistem mass rapid transit di bawah ataupun atas tanah (seperti rencana sembilah proyek infrastruktur baru dari Bappenas yang disiapkan untuk Pemda DKI Jakarta senilai Rp571 triliun) + terus meningkatnya kerugian ekonomi dan pemborosan bahan bakar minyak akibat kemacatan dan padatnya lalu lintas (kerugian + pemborosan diperkirakan terus meningkat: tahun 2008 -2011 senilai Rp20 triliun/tahun sejak 2013) mencapai Rp43 triliun-Rp56 triliun/tahun, diperkirakan mencapai sekitar atau lebih Rp100 triliun mulai tahun 2019).
Tingkat polusi udara meraih kategori berbahaya /tidak sehat + Kali atau saluran pembuangan air dalam kota terus tercemar atau tidak berfungsi + Trasportasi udara makin padat + lalu lintas ke dan dari bandar udara dan pelabuhan padat + Gedung-gedung tinggi merambah pusat kota maupun daerah pinggiran + Makin banyak kawasan industri dan perumahan mengambil lahan pertanian + Menurunnya daya tanah akibat meningkatnya wilayah dan jumlah bangunan pencakar langit + Banjir terus berulang dan diprediksi Jakarta terancam tenggelam tahun 2050.
Menurunnya pasokan air bersih + Jumlah tanam kota makin terbatas + Penghijuan minim dan berkurang + Kurangnya perumahan terjangkau untuk masyarakat bawah dan menengah + Masalah pemukiman kumuh belum dituntaskan + Meningkatnya sampah perkotaan dan kompleks perumhaan + Biaya hidup semakin tinggi + Layanan publik pemerintah daerah menurun (Dikumpulkan dari sejumlah sumber).
Masing-masing isu secara terpisah menggambarkan situasi dan kondisi memprihatinkan. Sementara pertautan beberapa masalah kongesti di Jakarta sudah masuk klasifikasi kontradiksi. Misalnya, disatu pihak terjadi peningkatan kemacetan jalan yang merugikan, di lain pihak ada desakan untuk menambah skala dan biaya pembangunan jalan. Satu lagi, para pengembang seperti berlomba-lomba mendirikan bangunan pencakar langit sementara Jakarta diprediksi akan tenggelam. Pembangunan dan kemajuan di Jakarta dengan sendirinya bergerak proposional dengan posisinya sebagai pusat operasi politik dan ekonomi Indonesia. Di luar Jakarta dan luar Jawa, pertambangan perkebunan, dan pertanian padat karya digenjot.
Sepanjang 30 tahun lebih sejak akhir 1960-an Pj Presiden Soeharto memacu pembangunan ekonomi dengan asistensi tim ekonomi lulusan Amerika terdiri antara lain Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Sumarlin, Emil Salim (pengamat Amerika menjuluki mereka “Berkeley Mafia”, alumni beberapa universitas ternama Amerika, salah satunya University of California Berkeley). Semua sudah almarhum, kecuali Prof Emil Salim.
Simbol-simbol kemajuan di Jakarta sejak itu dan berlanjut di era reformasi pasca-Orde Baru antara lain adalah gedung-gedung pencakar langit sepanjang Jalan MH. Thamrin dan Jalan Sudirman. Menyusul Jalan Rasuna Said, Jalan Gatot Subroto, dan TB Simatupang. Belum termasuk kawasan industri Karawang, Cikarang, Tangerang, Karawaci dan lainnya.
Tidak ada kota di Pulau Jawa maupun di luar Jawa yang dapat menyaingi atau mengimbangi “hutan beton” (concrete jungle, kata orang-orang Amerika tentang di negeri mereka) yang menjulang di atas tiap lahan kosong di pelosok-pelosok strategis Jakarta dan sekitarnya. Dengan sendirinya tidak ada daerah maupun kota yang dapat menyaingi skala dan nilai investasi kapital dan manusia di Kota Jakarta dan sekitarnya.
Sebagai magnet, Jakarta semacam terus memperoleh dorongan pihak penguasa. Tetapi sesungguhnya posisi atau fungsi daya tarik telah berlangsung sejak era Batavia, era gubernur jenderal Hindia Belanda. Lantas apa yang betul-betul bisa dibanggakan dari masa Orde Baru hingga reformasi 10-20 tahun terakhir.
Memenangkan Indonesia Centris Vs. Perangkap Pasca-Kolonial
Beberapa waktu lalu menteri/kepala Bapenas menjelaskan kepada pers bahwa keputusan pemindahan ibu kota ke Kalimantan didasarkan pada enam alasan utama. Tiga alasan disebutnya teratas (1) Mengurangi beban Jakarta dan Jabodetabek, (2) Mendorong pemerataan pembangunan ke wilayah Indonesia bagian timur, (3) Mengubah mindset pembangunan dari Jawa Centris menjadi Indonesia Centris.
Urutan alasan-alasan ini perlu dikoreksi. Alasan ketiga lebih tepat dijadikan Nomor 1, sebab semestinya tidak boleh ada kebimbangan sekecil apapun bahwa Indonesia Centris adalah ideologi, haluan dan tujuan pembangunan Indonesia merdeka. Dengan demikian, keputusan mendirikan ibukota di Kalimantan Timur seyogianya dideklarasikan sebagai langkah strategis untuk memenangkan perjuangan pembangunan Indonesia Centris.
Tentang Jawa Centris, ada beberapa wujud dan penjelasan. Ia bisa merupakan aspirasi dan pemahaman sekelompok orang secara turun-temurun bersumber dari indentitas kedaerahan dan etnisitas Jawa. Disadari atau tidak ia juga bisa menjadi ideologi, panggilan tugas, kewajiban bagi kelompok tersebut. Sebaliknya ia bisa merupakan naluri orang-orang yang berupaya memenuhi kebutuhan hidup minimum kemudian meningkat dan menjalani prosesnya, terlepas atau bebas dari ideologi, politik, asal-usul daerah dan atau etnis serta budaya leluhur. Pulau Jawa adalah sekadar medan yang menjadi pilihan utama. Dan ini faktor motivasi yang memiliki legitimasi.
Dan ketiga, ia berwujud praktik penyelenggaraan negara kolonial Hindia Belanda sejak awal. Dapat dikatakan bahwa Jawa Centris adalah pola penjajahan Belanda di Nusantara, dan dengan demikian ia adalah peninggalan penjajah. Bila kemudian digiring menjadi Jawa-bukan Jawa itupun model konflik antar-suku dan antar-daerah, bahkan di beberapa tempat antara ayah dan anak peninggalan penjajah.
Ketika menulis teks Proklamasi, para pemimpin perjuangan tidak lupa menuliskan nama “Djakarta” di sebelah tanggal 17 Agustus 1945. Meski tanpa predikat ibu kota atau lainnya, jelas disinilah secarade fakto pusat pemerintahan Republik.
Sejak itu dalam benak sebagian kita kembali terbayang nama daerah rawa di Utara Belanda, Batavia (juga disebut Betuwe dan Batavi). Itulah nama kota yang dibangun dan dibesarkan oleh kaum penguras kekayaan Nusantara, pengadu-domba anak bangsa, penjajah ratusan tahun. Maka, seperti kata BK, Batavis adalah peninggalan penjajah. Apa makna dua kata “peninggalan penjajah” dari sang revolusioner tersebut?
Lebih dari sekadar kota bernama Batavia, Belanda telah menanamkan kultur, faham, semangat, menetapkan fungsi dan sejarah pusat jajahannya yang berawal di Pasar Ikan dan Kali Ciliwung. Bermula sebagai pangkalan kapal perangnya, kemudian tumbuh menjadi ibu kota negara kolonial Hindia Belanda (Nederlandsh Indie). Bekas jajahan Belanda seperti Indonesia seyogianya jangan sekali-kali melupakan vivi-misi Hindia Belanda di Nusantara–tujuan, kebijakan, setrategi, sistem, mekanisme kekuasaan, dan sebagainya.
Pihak kolonial Belanda, sebagaimana awal semua penjajahan oleh orang Eropa (di Asia, Afrika, Amerika Latin) membutuhkan tenaga kerja murah untuk jadi tukang sapu, tukang cuci, sampai dikerahkan ke pusat-pusat eksploitasi ekonomi di jajahannya sehingga perlu membuka migrasi penduduk dari pedesaan, pulau atau tempat lain, bahkan pekerja dari luar negeri. Bagian terbesar dari migran yang terpaksa dan atau dipaksa itu adalah penduduk miskin, bahkan termasuk penduduk miskin dari daratan Tiongkok (selain ke Indonesia, juga Malaysia).
Terutama sebagai bagian penting dalam memahami perjalanan bahkan keselamatan Republik, selain tidak dapat melupakan periode-periode dan episode-episode penjajahan berkelanjutan sepanjang tiga abad sebagai latar belakang, kita juga jangan menyambil-lalukan masa revolusi Indonesia dan perang kemerdekaan sebagai perjuangan menentang kembalinya penjajahan Belanda. Sangat perlu menjadi rujukan adalah perundingan-perundingan pasca-Proklamasi dengan pihak Belanda yang menunjukkan siasat (bahkan tipu muslihat) pejabat dan diplomat mereka untuk melemahkan Republik melalui diplomasi diselingi agresi militer. Operasi diplomasi dan militer Belanda, sebagaimana tercatat dalam proses negosiasi mulai lobi-lobi, Perundingan Linggarjati (11 Nov. 1946), Perundingan Renville, dua agresi militer, dan terakhir Konferensi Meja Bindar di Den Haag (2-Agustus-2 November 1949), semata-mata adalah diplomasi adu-domba, pecah belah, ofensif militer yang diangsur kemudian habis-habisan dengan menawan para pemimpin Republik.
Skenario penjajah ternyata adalah apabila Hindia Belanda tidak dapat dipulihkan status quoante (kembali semula), maka jalur proyek Belanda membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) dipakai. Dan meski tidak bisa Hindia Belanda seutuhnya dan cuma simbolik, boleh juga ratu kerajaan ‘bertahta’ di pucuk pimpinan RIS.
Meski semua skenario kolonial berantakan, fase perjuangan Republik antara 1945-1949 mengisyaratkan bahwa Belanda berharap dapat memulihkan dan melanjutkan Hindia Belanda dalam bentuk lain, tetapi berbagai “peninggalan penjajah” ingin dihidupkan (misalnya, pengendalian politik dan hukum melalui perjanjian bilateral dan internasional, pembentukan negara-negara boneka, pemulihan kerajaan-kerajaan tertentu, pemulihan kekuasaan ekonomi pertambangan, perkebunan, perdagangan).
Studi-studi pasca-kolonial mengajarkan bahwa di satu pihak bekas penjajah berharap dapat membentuk rezim neo-kolonial untuk membangun hubungan kekuasaan (power relationship) terhadap bekas jajahannya yang sedang melaksanakan proses dekolonisasi. Di lain pihak, meski mengenyampingkan hubungan kekuasaan politik, sementara negara-negara bekas jajahan bersedia memasok tenaga murah dan hasil-hasil bumi murah.
Dapat dimaklumi, sejumlah peneliti atau pemikir pembangunan pasca-kolonial di negara-negara bekas jajahan menawarkan atau mengajarkan gagasan-gagasan dekolonisasi untuk menyingkirkan perangkap pembangunan pasca-penjajahan (post-colonial development trap).
Terlepas dari kajian-kajian akdemik yang beredar, kebijakan dan strategis kolonial sebelumnya yang meninggalkan kontradiksi politik-ekonomi dan atau sosial-ekonomi, bagaimana pun memang harus secepatnya dihilangkan. Satu contoh di Indonesia adalah fakta konsentrasi investasi kapital dan manusia di Jakarta vis a vis keseluruhan Indonesia, yang mungkin bisa diatasi dalam jangka menengah melalui keputusan memindahkan ibukota ke Kalimantan.
Penulis adalah Wartawan Waspada
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.