Oleh Shohibul Anshor Siregar
Pada era pra-Islam, Kepulauan Melayu adalah sebuah mosaik yang hidup dalam pelukan animisme, pengaruh Hindu-Buddha dari India, dan sisa-sisa budaya perdagangan yang lebih tua…
Remapping Indonesia Spice Route History adalah topik ke-10 Seminar Islamic History and Heritage: Remembering the Past, Remaking the Future untuk 4th International Conference on Islamic Civilization (ICONIC) dan 9th International Conference On Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), Universitas Islam Negeri Arraniry Banda Aceh, 23-24 Agustus 2023 mendatang.
Sejarah Asia Tenggara seyogyanya tak menyepelekan faktor perdagangan dan etnisitas yang membentuk dinamika sosial-budaya kawasan ini. Andaya (2015) menyorotnya, fokus pada interaksi antara perdagangan dan identitas etnis di Selat Melaka. Juga Jaringan Rempah Indonesia (JRI) yang memfasilitasi pertukaran budaya dan integrasi etnis di koridor maritim yang strategis ini.
Manguin (2012, 2016) menggali bukti arkeologis kapal-kapal dan pelabuhan moderen awal Asia Tenggara pra-Islam dengan menggarisbawahi pentingnya JRI. Reid (1988) mengurai peran perdagangan periode 1450-1680 dan JRI dalam menghubungkan berbagai budaya. Sorotannya tertuju pada perdagangan rempah-rempah dan barang berharga lainnya yang menjadi motor utama pertukaran budaya dan ekonomi di Asia Tenggara pada masa itu. Dengan poin utama pada perubahan dan transisi selama berabad-abad, Ricklefs (1993) menyajikan sejarah sejak abad ke-14 dengan rincian perkembangan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.
Kesimpulannya JRI memainkan peran penting membentuk sejarah Asia Tenggara. Menghubungkan beragam budaya melalui perdagangan yang juga berfungsi sebagai saluran pertukaran, transaksi ekonomi, dan aliansi politik di antara beragam budaya. Bukan jalur tunggal dan linier, melainkan sebuah kompleks jalur laut dan pos-pos perdagangan membentang di kepulauan Indonesia yang sangat luas.
JRI menghubungkan pusat-pusat perdagangan utama di Sumatera, Jawa, dan Maluku dengan wilayah lain di Asia Tenggara, Tiongkok, India, dan Eropa (Andaya, 2015). Komoditas yang diperdagangkan beragam, tetapi rempah-rempah (pala dan cengkeh) adalah komoditi paling laris karena nilainya yang tinggi, baik untuk kuliner maupun pengobatan (Manguin, 2012).
JRI, yang juga dikenal sebagai Jalur Sutra Maritim memiliki sejarah yang kaya sejak prasejarah. Awalnya digunakan oleh para pelaut Austronesia yang berlayar dari Taiwan dan Cina Selatan ke kepulauan Indonesia sekitar tahun 2000 SM (Manguin, 2016). Penjelajah maritim awal ini mencari tanah baru untuk pemukiman dan perdagangan. Pelayaran mereka berujung pada penemuan pulau-pulau rempah-rempah Indonesia.
Perkembangan JRI didorong permintaan dari Eropa dan Asia dan rute ini menjadi jalur utama perdagangan penting cengkeh, pala, dan lain-lain dari Maluku (Manguin, 2012). Tingginya nilai rempah-rempah menjadikannya komoditas menguntungkan, menarik para pedagang dari seluruh dunia.
Berkembang dari waktu ke waktu, dengan berbagai kekaisaran dan kerajaan yang berlomba menguasai. Selama abad-abad awal Masehi, para pedagang India mendominasi jalur ini, membawa serta agama Hindu dan Budha (Ricklefs, 1991).
Para pemain kunci adalah pedagang lokal, India, Cina (selama dinasti Tang dan Song), dan pedagang Muslim yang memainkan peran penting dalam menyebarkan agama Islam di seluruh Asia Tenggara (Ricklefs, 1991 dan Chou, 2019).
Bencana ekspansionis Eropa juga memainkan peran penting. Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Rempah-rempah pada tahun 1512, diikuti oleh Spanyol, Belanda, dan Inggris. Mereka bersaing untuk menguasai perdagangan, yang kemudian menyebabkan konflik dan perubahan dinamika politik di wilayah tersebut (Reid, 1993).
Ketika para pedagang melintasi jalur ini, mereka membawa serta kepercayaan dan filosofi mereka, yang kemudian berakar di berbagai wilayah di sepanjang jalur tersebut. Salah satu gerakan keagamaan yang paling signifikan yang difasilitasi oleh JRI adalah penyebaran agama Islam.
Menurut Ricklefs (1991; 1993), kedatangan Islam di Asia Tenggara dapat ditelusuri ke aktivitas perdagangan di sepanjang JRI. Para pedagang Muslim dari Arab dan Persia mencari rempah-rempah, membawa serta ajaran Islam yang secara bertahap meresap ke dalam budaya lokal. Pembentukan komunitas perdagangan Muslim di kota-kota pelabuhan strategis semakin memudahkan penyebaran Islam. Menurut Andaya (2015), para pedagang India memainkan peran penting menyebarkan agama-agama ini ke seluruh Asia Tenggara. Adopsinya sering bersamaan dengan adopsi bahasa Sanskerta sebagai bahasa bergengsi dan keilmuan agama.
Chou (2019) mencatat pengaruh Tiongkok sangat terasa di dunia Melayu sejak abad ke-15 dan seterusnya. Keramik, sutra, dan barang-barang lainnya dari Tiongkok menjadi sangat dicari, mempengaruhi selera dan pola konsumsi lokal. Selain itu, perkawinan campur antara pedagang Cina dan wanita lokal menyebabkan munculnya budaya hibrida.
Menurut Manguin (2016), aksara India diadopsi untuk menulis bahasa lokal, gaya arsitektur India mempengaruhi desain monumen keagamaan. Epos-epos Ramayana dan Mahabharata diintegrasikan ke dalam cerita rakyat dan seni pertunjukan lokal.
Miksic (2004) menjelaskan Sumatera masa “Zaman Keemasan” untuk mengungkapkan pertukaran budaya yang luas dengan wilayah-wilayah lain di sepanjang JRI. Keramik Cina yang ditemukan di situs-situs arkeologi Sumatera membuktikan perdagangan aktif dengan Cina. Bukti artefak Islam menunjukkan interaksi dengan para pedagang Muslim.
Penelitian Manguin (2012) tentang Kepulauan Rempah sebelum Islam menyoroti pertukaran budaya yang berbeda. Kepulauan ini bagian dari JRI yang terhubung dengan Cina, India, dan Asia Tenggara. Bukti arkeologis menunjukkan pengaruh budaya dari wilayah-wilayah tersebut, termasuk elemen-elemen Hindu-Buddha. Suatu intensitas pertukaran yang meninggalkan jejak yang tak terhapuskan di sepanjang rute ini selama berabad-abad.
Kemunculan negara-negara kota yang kuat menyebabkan peningkatan stratifikasi sosial (Andaya, 2015). Para elit pengendali perdagangan menjadi sangat kaya. Pekerja di kebun rempah-rempah atau pekerja di kapal dagang hidup miskin (Chou, 2019). Kesenjangan ini berdampak jangka panjang pada struktur sosial ekonomi masyarakat Asia Tenggara.
Para pedagang dari berbagai belahan dunia tidak hanya bertukar barang, tetapi juga pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan kemajuan maritim dan bidang lain yang berdampak jangka panjang terhadap perekonomian negara-negara Asia Tenggara (Miksic, 2004).
Dampak budaya mungkin paling terlihat yang mengarah pada proses sinkretisme yang menjadi ciri khas Asia Tenggara saat ini (Ricklefs, 1991). Para pedagang memainkan peran penting dalam menyebarkan ajaran Islam pada banyak komunitas lokal (Ricklefs, 1993), dan hingga kini Islam adalah agama dominan di banyak bagian Asia Tenggara.
Implikasi signifikan terhadap politik dan hubungan regional menunjukkan akumulasi kekayaan yang dihasilkan perdagangan rempah-rempah. Perebutan kekuasaan di antara para penguasa lokal maupun antara penguasa lokal dengan asing kerap terjadi (Reid, 1993).
Hubungan diplomatik antara negara-negara Asia Tenggara dengan bagian lain di dunia telah terjadi ketika para pedagang melakukan perjalanan di sepanjang rute ini (Andaya, 2015). Bentuk-bentuk diplomasi awal ini telah membentuk hubungan politik saat ini antara negara-negara Asia Tenggara dan negara-negara lain.
Penyebaran Islam adalah babak penting sejarah Asia Tenggara, yang mencerminkan pengaruh besar perdagangan terhadap transformasi agama dan budaya. Periode ini, yang berlangsung dari abad ke-7 hingga abad ke-15, menandai masuknya Islam ke wilayah yang sebelumnya didominasi agama Hindu dan Budha (Ricklefs, 1991).
Pada era pra-Islam, Kepulauan Melayu adalah sebuah mosaik yang hidup dalam pelukan animisme, pengaruh Hindu-Buddha dari India, dan sisa-sisa budaya perdagangan yang lebih tua seperti yang dimiliki oleh orang Fenisia dan Yunani (Miksic, 2004). Kedatangan Islam yang dibawa para pedagang Arab memperkenalkan dimensi religius dan budaya baru pada lanskap yang beragam ini.
Orang kaya kota-kota pelabuhan sangat berpengaruh. Chou (2019) mencatatnya bukan hanya pedagang kaya, tetapi juga pemimpin masyarakat yang memiliki kekuatan membentuk norma dan nilai. Konversi ke Islam memiliki efek riak, yang secara bertahap terterima luas.
Daya tarik universal prinsip-prinsip egaliter Islam beresonansi terutama pada lapisan masyarakat bawah. Kesetaraan dan keadilan sosial Islam menjadi narasi tandingan kuat terhadap sistem kasta yang kaku (Reid, 1993) yang tak hanya mengubah lanskap keagamaan, tetapi juga membentuk kembali struktur politik, sistem ekonomi, dan praktik-praktik budaya.
Adopsi Islam oleh para penguasa lokal menghasilkan pendirian kesultanan yang menandai pergeseran dari model kerajaan Hindu-Buddha seperti yang terjadi di Sumatra dan Jawa. Kesultanan-kesultanan Islam muncul sebagai pemerintahan yang kuat (Ricklefs, 1993).
Prinsip Islam tentang zakat atau sedekah menumbuhkan tanggung jawab bersama dan kesejahteraan sosial yang juga memengaruhi praktik komersial, dengan para pedagang Muslim yang mematuhi hukum Islam tentang perdagangan yang adil dan perilaku bisnis yang etis (Andaya, 2015).
Penekanan Islam pada melek huruf dan pembelajaran membawa kemajuan pendidikan dan keilmuan. Aksara Arab diadaptasi ke dalam bahasa lokal, menghasilkan tradisi sastra baru beraksara Jawi dalam bahasa Melayu. Seni dan arsitektur Islam juga berkembang pesat, menorehkan jejak yang tak terhapuskan pada estetika Asia Tenggara (Manguin, 2016).
Pemetaan ulang sejarah JRI sangat penting untuk hak yang adil sejarah Asia Tenggara apalagi karena historiografi tradisional sering menampilkan Asia Tenggara sebagai penerima pasif pengaruh luar. Apresiasi atas perannya dalam pembentukan sejarah regional dan global penting dikedepankan (Reid, 1993).
Para pedagang Muslim dari Arab dan India adalah pengunjung rutin pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Seiring waktu, mereka membangun komunitas yang diikuti konversi bertahap penduduk ke Islam (Ricklefs, 1991; 1993).
Proses ini menjelaskan mengapa saat ini Indonesia menjadi rumah bagi populasi Muslim terbesar di dunia. Pertukaran budaya yang terjadi di sepanjang jalur ini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan pada bahasa, seni, agama, kuliner, dan struktur sosial masyarakat.
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.