Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM
Keputusan majelis hakim yang menjatuhkan vonis 6,5 tahun penjara kepada Harvey Moeis dalam kasus megakorupsi dengan kerugian negara mencapai Rp300 triliun menjadi sorotan publik. Putusan ini memunculkan kekecewaan luas, mengingat angka kerugian negara yang begitu besar tidak sebanding dengan hukuman yang dijatuhkan. Dalam perspektif hukum dan keadilan, keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan mendasar, baik terkait efektivitas penegakan hukum maupun upaya mewujudkan keadilan sosial.
Ketidakseimbangan Hukuman Dalam Perspektif Hukum
Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur ancaman hukuman maksimal berupa pidana seumur hidup atau hukuman mati bagi pelaku korupsi yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah signifikan. Namun, vonis 6,5 tahun penjara untuk Harvey Moeis menunjukkan adanya kesenjangan antara beratnya kejahatan yang dilakukan dan hukuman yang dijatuhkan.
Kerugian negara sebesar Rp300 triliun jelas masuk dalam kategori kerugian luar biasa. Idealnya, hakim mempertimbangkan asas “deterrence effect” atau efek jera dalam menjatuhkan hukuman kepada pelaku. Hukuman yang ringan seperti ini berpotensi menciptakan preseden buruk dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Rasa Keadilan Yang Terluka
Keadilan tidak hanya dinilai dari sisi hukum formal, tetapi juga berdasarkan persepsi publik. Ketika masyarakat melihat hukuman ringan dijatuhkan kepada pelaku korupsi berskala besar, rasa keadilan mereka terluka. Bandingkan dengan kasus pencurian kecil oleh masyarakat miskin, yang kerap mendapatkan hukuman lebih berat. Ketimpangan ini mencerminkan adanya disparitas yang signifikan dalam penerapan hukum.
Seorang petani miskin yang mencuri hasil kebun untuk memenuhi kebutuhan hidup bisa dihukum hingga 3 tahun penjara. Namun, seorang koruptor yang menguras kekayaan negara hingga ratusan triliun rupiah hanya dijatuhi hukuman 6,5 tahun. Fakta ini memunculkan pertanyaan: Apakah keadilan telah kehilangan makna substantifnya?
Harapan Pada Upaya Banding
Jaksa yang mengajukan upaya banding memiliki tanggung jawab besar untuk memperjuangkan hukuman yang lebih berat dan proporsional. Putusan di tingkat banding harus menjadi momentum untuk menunjukkan bahwa hukum di Indonesia masih memiliki integritas dalam menangani kasus-kasus korupsi besar.
Vonis yang lebih berat akan memberikan pesan tegas bahwa kejahatan korupsi tidak bisa ditoleransi. Selain itu, keputusan yang proporsional juga akan memulihkan rasa keadilan masyarakat yang telah lama tercederai.
Rekomendasi untuk Penegakan Hukum Yang Lebih Baik
1. Hukuman Maksimal bagi Koruptor Besar. Kasus-kasus dengan kerugian negara luar biasa harus direspons dengan hukuman maksimal, termasuk penyitaan seluruh aset pelaku untuk mengembalikan kerugian negara.
2. Reformasi Sistem Peradilan:
Penguatan independensi hakim dan pengawasan terhadap integritas peradilan menjadi kunci untuk memastikan putusan yang obyektif dan adil.
3. Pendidikan Hukum bagi Masyarakat: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya keadilan dalam sistem hukum untuk memperkuat pengawasan publik terhadap proses peradilan.
Sebagai masyarakat, kita harus terus mengawal proses hukum dalam kasus ini. Upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan semua pihak, termasuk peran aktif masyarakat dalam memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap tahapan proses hukum.
Penulis adalah Advokat sekaligus Akademisi
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.