Oleh Marataon Nasution
Agar bahasa yang damai dapat dipraktikkan ketika bersosialisasi, kita harus memahami konteks kebahasaan. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, konteks berbahasa, termasuk konteks bahwa kita sedang berpuasa
Bulan suci Ramadhan tahun ini sangat menggembirakan. Kita bebas beribadah tanpa ada pembatasan interaksi sosial karena Covid-19 seperti tahun- tahun yang lalu. Kita pun sangat senang bisa melaksanakan puasa dan beribadah bersama keluarga dan saudara. Ini suatu konteks bahwa saatnya kita bisa beribadah maksimal sesuai dengan keistimewaan bulan suci Ramadhan.
Sejalan dengan itu, pada bulan suci ini kita harus menjaga ucapan kita sehingga tidak menyakiti orang lain. Ucapan yang baik dengan makna yang menimbulkan kedamaian sangat penting diperhatikan. Bulan suci ini merupakan bulan yang mulia bagi penutur bahasa bahwa bulan suci suatu konteks yang membimbing kita menggunakan bahasa dengan penuh kedamaian.
Agar bahasa yang damai dapat dipraktikkan ketika bersosialisasi, kita harus memahami konteks kebahasaan. Ada dua hal yang menjadi pertimbangan. Pertama, konteks berbahasa, termasuk konteks bahwa kita sedang berpuasa. Sejalan dengan itu, Dardjowidjojo (1985) menyatakan bahwa ada dua lingkungan konteks dalam penggunaan bahasa, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
Dalam wujudnya, konteks linguistik berupa unsur bahasa, seperti kata, frasa, kalimat, atau untaian kalimat. Sementara konteks ekstralinguistik adalah alam di luar bahasa yang menimbulkan makna dalam ujaran. Dengan istilah lain, konteks ekstralinguistik dapat diartikan sebagai semua faktor dalam proses komunikasi, atau lingkungan nonverbal dalam penggunaan bahasa. Konteks itulah yang juga disebut konteks situasi. Konteks linguistik merupakan konteks kebahasaan yang mencakup (a) penyebutan depan, (b) sifat kata kerja, (c) kata kerja bantu, dan (d) proposisi positif. Sedangkan konteks ekstralinguistik adalah konteks nonbahasa, yang mencakup (a) praanggapan, (b) partisipan, (c) topik dan kerangka topik, (d) latar, (e) salutan, dan (f) kode.
Kedua, tindak tutur berbahasa. Tindak tutur (speech acts) adalah gejala individual, bersifat psikologis dan keberlangsunganya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Tindak tutur mencakup situasi psikologis (misalnya, berterima kasih, memohon maaf) dan tindak sosial itu seperti mempengaruhi perilaku orang lain (misalnya, mengingatkan, memerintah) atau membuat kontrak (misalnya, berjanji, menamai) (Ibrahim, 1993).
Tindak tutur adalah bagian dari pragmatik. Tindak tutur merupakan pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengaran. Tindak tutur merupakan bagian dari peristiwa tutur, dan peristiwa tutur merupakan bagian dari situasi tutur. Setiap peristiwa tutur terbatas pada kegiatan, atau aspek-aspek kegiatan yang secara langsung diatur oleh kaidah atau norma bagi penutur (Sumarsono dan Partama, 2010).
Tindak tutur merupakan tuturan yang di dalamnya terdapat tindakan. Dengan mengucapkan sesuatu, penutur juga melakukan sesuatu. Dengan menuturkan sebuah ujaran, penutur memiliki tujuan yang ingin dicapai dari mitra tuturnya. Teori tindak tutur adalah teori yang lebih cenderung meneliti struktur kalimat. Apabila seseorang ingin mengemukakan sesuatu kepada orang lain, maka apa yang dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat. Namun, untuk menyampaikan makna atau maksud itu, orang tersebut harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur (Austin, 1962).
Menurut Rahardi (2005) dan Rusminto (2012), terdapat beberapa jenis tindak tutur, yaitu sebagai berikut: pertama, Tindak Tutur Lokusi. Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Makna tuturan yang disampaikan biasanya adalah sebuah fakta atau keadaan yang sebenarnya. Dalam tindak tutur lokusi, informasi yang disampaikan adalah yang sebenarnya. Tindak tutur ini tidak mengandung makna tersembunyi dibalik tuturanya dan tidak menghendaki adanya suatu tindakan atau efek tertentu dari mitra tuturnya.
Tindak lokusi adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan kalimat yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak lokusi terlihat ketika seseorang menuturkan sebuah tuturan atau pernyataan. Tindak tutur lokusi menyatakan sesuatu dalam arti berkata atau tindak tutur yang dalam bentuk kalimat yang bermakna dan dapat dipahami. Oleh karena itu, yang diutamakan dalam tindak tutur lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur.
Contoh tindak tutur lokusi misalnya: “Ikan paus adalah binatang menyusui”. Tuturan tersebut diujarkan semata-mata untuk mengatakan sesuatu (lokusi), tanpa maksud untuk melakukan sesuatu (ilokusi), apalagi mempengaruhi mitra tuturnya (perlokusi). Informasi yang dituturkan pada contoh tersebut berupa penyampaian sebuah fakta, bahwa Ikan Paus tergolong dalam jenis binatang mamalia.
Kedua, tindak tutur ilokusi. Tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung makna tersembunyi atau makna lain yang dikehendaki oleh penutur terhadap mitra tutur. Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu. Ketika penutur mengucapkan suatu tuturan, sebenarnya dia juga melakukan tindakan, yaitu menyampaikan maksud atau keinginannya melalui tuturan tersebut.Tindak ilokusi adalah tindak tindak tutur yang mengandung maksud dan fungsi daya ujar. Tindak tersebut diidentifikasikan sebagai tindak tutur yang bersifat untuk menginformasikan sesuatu dan melakukan sesuatu, serta mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa penutur, kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya.
Ketiga, tindak tutur perlokusi. Tindak tutur perlokusi adalah tindak menumbuhkan pengaruh atau efek kepada mitra tutur. Tindak perlokusi mengandung daya untuk melakukan sesuatu tindakan dengan mengatakan sesuatu. Tindak perlokusi lebih mementingkan hasil, sebab tindak ini dikatakan berhasil jika mitra tutur melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tuturan penutur. Tindakan-tindakan tersebut diatur oleh aturan atau norma penggunaan bahasa dalam situasi tuturan antar dua pihak.
Tindak perlokusi adalah tindak tutur yang berkenaan dengan adanya ucapan orang lain sehubungan dengan sikap dan perilaku non linguistik dari orang lain. Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya.
Contoh tindak tutur perlokusi misalnya: “Rumahnya jauh”. Tuturan tersebut diujarkan oleh penutur kepada ketua perkumpulan. Makna ilokusinya adalah penutur bermaksud menyampaikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya, adapun efek perlokusi yang diharapkan oleh penutur adalah agar ketua perkumpulan tidak terlalu banyak memberikan tugas kepada orang yang dibicarakan tersebut.
Jadi dengan memahami dua aspek di atas, kita memiliki kemampuan berbahasa pada konteks bulan suci ini yang sangat mengutamakan kedamaian berkomunikasi. Di mana pun, kita harus mengutamakan kedamaian berbahasa. Sehingga terwujudnya kenyamanan dan kualitas tindakan komunikasi dalam berbahasa. Amin.
Penulis adalah Guru Ahli Madya di SMA Negeri 1 Panyabungan, Mandailingnatal.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.