Politisi, Oligarki, Dan Demokrasi

  • Bagikan
<strong>Politisi, Oligarki, </strong><strong>D</strong><strong>an Demokrasi</strong><strong></strong>

Di partai-partai politik yang merupakan perahu untuk meraih jabatan elit, oligarki berperan atas kehendaknya melalui partai politik tersebut. Akhirnya keberadaan civil society berangsur melemah dan menghalangi terwujudnya kedaulatan rakyat

Berbicara tentang negara, tentu yang akan tergambar di pikiran kita adalah kesejahteraan masyarakatnya. Akan tetapi menjadi catatan penting, untuk menciptakan kesejahteraan suatu negara, tidak mudah, hanya bermodal Sumber Daya Alam (SDA). Tanpa memperhatikan Skill Sumber Daya Manusia (SDM). Berbagia macam tantangan yang akan di hadapi sebagai bentuk proses meningkatkan kesejahteraan masyarakat bangsa dan negara.

Terkhusus pemerintah, saat menjalankan mandat dari rakyat (sebagai pemimpin) membuat suatu kebijakan, banyak menuai kritikan-keritikan dari berbagai macam kalangan. Baik dari oposisi, politisi non koalisi, pengamat dan lain-lain. Tulisan ini, mungkin bisa berkontribusi untuk para politisi di negara ini. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bangsa, ditentukan oleh seberapa besar ilmu pengetahuan dan teknologi.

Untuk meningktakan kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi di negeri ini, ada beberapa yang harus diperhatikan dan dibangun, yaitu, dengan membangun suasana bernegara. Membangun suasana bernegara melalui politisi. Sederhanannya, politisi memberikan contoh kepada masyarakat bagaimana bernegara itu dengan baik. Belakangan ini, banyak contoh kasus yang membuat kualitas bernegara kita sangat rendah, dari mulai pembunuhan, begal, maraknya Narkoba, penipuan berkedok investasi, prostitusi online, tawuran pelajar, caos karena ketidak puasan hasil pilpres, pilkada, perebutan lahan pertanian dan tambang-tambang ilegal yang merugikan masyarakat.

Peran politisi dibutuhkan untuk menyelesaikan persolan ketidaknyamanan masyarakat dalam bernegara. Suasana bernegara sudah tidak lagi “nyaman”. Bagaimana mungkin kaum milenial mampu berpikir dan berkembang? Ditambah lagi para petinggi negara saja tidak becus menghadapi persoalan yang pelik di negara ini. Padahal, para politisi difasilitasi undang-undang sebagai alat ketegasan, keseriusan, dan keikhlasan untuk menjalankannya.

Selain membangun suasana bernegara, politisi juga harus membangun tesa-antitesa berargumennya. Terkadang, antitesa berargumen yang digunakan politisi sebagai sintesa, membuat masyarakat bingung. Kebingugan masayarakat melihat tingkah para politisi, akhirnya sudah terjawab sendiri dari literasi digital, yaitu dari lahir para politisi yang sama sekali belum teruji secara argumentasi, baik ilmiah maupun konsep yang matang.

Simpelnya, ketika ingin menjadi anggota legislatif, seorang milenial, contohnya hanya bermodalkan daddy’s money power untuk mendapatkan kursi. Ketika kursi didapat,  mereka tidak mampu berargumentasi memberi solusi. Dan masalah ini akan membuat tingkat kepercayaan publik terus berangsur menurun, sehingga membuat para generasi sulit untuk memperbaiki sistem yang sudah dibangun.

Hasil dari daddy’s money power sebagai transaksi kursi, maka tidak heran lagi, mendadak negara ini menjadi negara hukum tanpa mempertimbangkan uji kelayakan; Banyak aturan yang membelenggu atau autan yang tidak jelas manfaatnya. Sehingga, jatuhnya merugikan masyarakat. Penulis berpendapat, aturan-aturan yang tidak jelas di negara ini, terlahir dari titipan oligarki. Baik oligarki dunia, maupun oligarki lokal.

Lezatnya cuan dari praktik oligarki, mampu mempengaruhi akal sehat manusia. Bahkan, di Indonesia, praktik oligarki sudah di dominasi kaum milenial. Hebatnya kaum milenial yang menjadi oligarki, mampu “menyandera” lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Keadilan, jujur, menyejahterakan masyarakat, hanya sebatas dicatat dan didengar saja, sedangkan penampung keluhan itu lidah petinggi negeri ini, kelu. Ini membuktikan bahwa kedaulatan kita tersandera oleh kelompok oligarki yang menjadi benalu di instansi-instansi. Begitu juga di partai-partai politik yang merupakan perahu untuk meraih jabatan elit, oligarki berperan atas kehendaknya melalui partai politik tersebut. Akhirnya keberadaan civil society berangsur melemah dan menghalangi terwujudnya kedaulatan rakyat.

Cukup banyak orang yang pintar di negara ini, namun kepintarannya itu tidak digunakan untuk kepentingan bernegara, melaikan kepentingan keluarga, kolega dan organisasinya. Negara itu sudah tidak lagi membutuhkan kepintaran dari wakil rakyat dan pemerintah, yang rakyat butuhkan adalah kejujuran. Dengan prinsip jujur adil dan terbuka, masalah-masalah di negara akan teratasi. Ilmu didapat melalui masalah, jika masalah mampu di selesaikan, maka lahirlah ilmu dan orang-orang yang jujur secara langsung akan menjadapatkan ilmu pengetahuan dari permasalahan yang ia dapati.

Demokrasi Dan Pemilu

Tidak terasa, waktu terus berjalan dan periode kepemimpinan akan terseleksi melalui jalur Pemilu yang konon menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, seperti asas Pemilu pada undang-undang nomor 7 tahun 2017, tercatat bahwa Pemilu menjunjung tinggi asas pemilu; langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Keadilan adalah sistem instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan yang bebas, adil, dan jujur.

Sistem keadilan pemilihan dikembangkan untuk mencegah serta mengidentifikasi ketidakbecusnya pada Pemilihan sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakbecusan tersebut dan memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran. Kita mulai dari sekarang, atau tahun 2023 yang akan datang, bagaimana sistem demokrasi benar-benar terbagun dengan baik.

Yaitu dengan adanya pemilu. Karena, untuk mengukur kualitas demokrasi, biasanya dilihat dari sistem pemilunya. Apakah penyelenggara pemilu, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menekan angka konflik dan kecurangan saat Pemilu?

Jika dibuka lagi sejarah Pilpres tahun 2014, suhu konflik antar sesama sangat kuat. PascaPemilu tahun 2014, pemeran konflik dianggap berasal dari politik identitas. Lebih parahnya lagi, sampai berefek ke Pilkada DKI Jakarta 2017, lalu masuk krisis konfliknya saat Pemilu di tahun 2019. Efek konflik Pemilu pada tahun 2019 banyak merenggut nyawa, bahkan, antar pendukung calon saling beri gelar yang tidak baik. Gelar itu sampai sekarang masih bertebaran di dunia maya.

Selain konflik antar pendukung, korban meninggal anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) sebanyak 440 jiwa ditambah lagi banyaknya jumlah sengketa Pemilu pada tahun 2014. Namun pada Pemilu tahun 2019 angka sengketa Pemilu menurun dua kali lipat, prestasi penurunan angka sengketa Pemilu, harus ditingkatkan kembali, jangan pula Pemilu 2019 menurun dari tahun 2014, masuk Pemilu 2024 melebihi dari tahun 2014. Besarnya angka sengketa Pemilu memberikan dampak negatif terhadap nilai-nilai demokrasi. Negatifnya itu menyangkut tingkat kejujuran demokrasi mulai merosot.

Jika sistem bernegara mulai tidak baik, tentu akan berpengaruh dan mengganggu kinerja sistem lainnya. Contohnya sistem ekonomi. Prediksi resesi yang menghantui roda ekonomi global, yang sering disebut “ketidak pastian ekonomi global”, menjadi ancaman bagi negara ini. Meskipun banyak pengamat yang mengatakan bahwa krisis energi dan pangan yang melanda Eropa tidak berpengaruh ke Indonesia, kita tidak bisa anggap remeh.

Berkaca dari krisis 2008 yang melanda negeri Paman Sam, perekonomian Indonesia terkontraksi dikarenakan kinerja ekspor ke amerika terganggu. Bahkan harga CPO anjlok dan membuat petani merana. Syukurnya pada saat itu, suhu konflik politik tidak begitu besar, sehingga pemerintah mampu bekerja untuk mengatasi kontrasi dari krisis Amerika.

Berbeda pada periode Pemilu yang akan datang, di saat Pemilu yang harusnya menjadi pesta rakyat, malah rakyat dibayangi beban kegelapan ekonomi. Ini menjadi tantangan bagi kita semua, untuk saling bersinergi membangun negeri, tolak oligarki dengan tidak menerima politik uang, hentikan saling menyudutkan, bersaing dengan keilmuan. Semoga bermanfaat.

Penulis adalah Dosen Fakultas Agama Islam UMSU.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>Politisi, Oligarki, </strong><strong>D</strong><strong>an Demokrasi</strong><strong></strong>

<strong>Politisi, Oligarki, </strong><strong>D</strong><strong>an Demokrasi</strong><strong></strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *