Scroll Untuk Membaca

Opini

Politik Kekuasaan Dan Keserakahan

Politik Kekuasaan Dan Keserakahan

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Diskusi utama dalam kajian filsafat politik adalah, seringkali berkisar tujuan dan ciri-ciri pemerintahan ideal. Ini melibatkan kepada konsep dasar dalam bidang ini seperti “kekuasaan”, “kebajikan umum”, “kebebasan individu”, “keadilan”, “kesamaan hak”, “hak azasi” dan “masyarakat adil”.  Berlandaskan kepada konsep ini dapat dilihat aspek kesejagatan atau globalisasi dan relevansi permasalahan pokok dalam konteks perkembangan pemikiran serta praktik politik, kehidupan poitik dan pembinaan masyarakat yang berlaku dari dari zaman dahulu hingga kini. Hal ini berlaku pada berbagai negara demokrasi, baik secara nasional dan lokal di negara ini, maupun dalam konteks internasional.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Politik Kekuasaan Dan Keserakahan

IKLAN

Sebagaimana yang populer memiliki asumsi kekuasaan yang dinyatakan Machiavelli (1989) bahwa, untuk mengukuhkan kekuasaan demi menjaga keamanan dan kestabilan, tidak perlu mementingkan nilai moral dan etika. Sebagai contoh, seorang penguasa tidak perlu menunaikan janji yang disampaikannya kepada rakyat, berlaku adil dalam pemerintahannya dan tidak perlu menghormati hubungan kekeluargaan dan persahabatan. Demikian juga pemerintah boleh bersikap tidak jujur, tidak mematuhi undang-undang dan lain sebagainya yang bertentangan dengan nilai-nilai murni. Inilah gambaran  ungkapan filsafat yang selalu dikaitkan dengannya, yaitu “tujuan menghalalkan cara”. Demi untuk mewujudkan keamanan dan kestabilan, cara yang bertentangan dengan nilai-nilai dan moral-pun dibenarkan oleh Machiavelli dalam praktik politik dan kekuasaan. Hal ini terlihat dari hajat dan keinginan politik yang bertentangan dengan nilai moral dan etika, meskipun keinginan serta hajat, ambisi yang diinginkan untuk mencapainya itu murni.

Yang menjadi rujukan dari Machiavelli adalah menggunakan landasan kebijakan yang dibuat Cesare Borgia (Machiavelli, 1989), yang dianggapnya wajar dalam menjustifikasi falsafahnya. Misalnya, berusaha mendapatkan dukungan dari kelompok aristokrat dengan memberikan mereka jabatan dan keistimewaan. Demikian pula sebaliknya orang yang tidak setuju akan dibunuh dengan tentaranya yang dibentuk oleh Borgia yang melantik Remirro de Orco, sebagai seorang tentara yang handal tetapi zhalim, dengan kekuasaan penuh untuk mengendalikan keamanan. Setelah kondisi keamanan stabil dan pulih sebagai usaha Remirro, maka Borgia membunuh pula Remirro. Hal yang dilakukan oleh Borgia mendapatkan sanjungan rakyat karena berhasil menghilangkan kezhaliman Remirro. Sehingga Borgia dianggap sebagai pahlawan pelindung yang berhasil mewujudkan keamanan dan kestabilan.

Ilustrasi yang digambarkan di atas, Machiavelli menyanjung Borgia sebagai seorang yang sukses menggunakan kekerasan dan penipuan untuk menjadikan dirinya ditakuti, dikasihani dan disanjung oleh rakyatnya. Gambaran Machiavelli dan Borgia merupakan contoh bagi siapa saja yang ingin menghilangkan musuhnya dan memperoleh kekuasaan dengan kekerasan dan memanipulasi keadaan. Secara jelas bahwa, ide politik tersebut memisahkan nilai etika dan agama. Sehingga berbeda dengan pemikiran serta pendirian Al-Ghazali yang mendukung ajaran agama sebagai landasan pemikirannya. Dalam kajian pemikiran politik pendekatannya adalah berdasarkan realitas dan bukannya sesuatu yang ideal.

Dalam pandangan pikiran Al-Ghazali (Al-Mustafa min ‘ilm al-Usul, 1947), mendukung dan mentaati seseorang sultan yang zhalim dan jahil adalah, karena baginda sumber pengabsahan seorang khalifah. Pemikiran dan pendiriannya ini bahwa, sultan itu ditaati dikarenakan melaksanakan undang-undang syari’ah dalam pemerintahannya. Hal ini berarti terhadap seorang sultan itu melaksanakan undang-undang Islam dalam manajemen pemerintahannya, sultan mestilah ditaati, meskipun dia seorang yang zhalim dan jahil pada saat memegang tampuk kekuasaan. Selanjutnya pandangan politik Al-Ghazali yang berlandaskan kepada agama merupakan wadah kebenaran yang sebenarnya, yakni kebahagiaan di akhirat. Kedua wadah tersebut adalah, kestabilan dan undang-undang Islam. Ini dapat tercapai jika kedua hal tersebut diwujudkan, artinya rakyat akan dapat melaksanakan  segala aktivitas serta ibadah yang benar dan dapat menuntut ilmu semakin mengenal Tuhan (Allah) dengan harmonis, damai, tenteram, adil dan sejahtera.

Demikian pula sebaliknya bila tidak adanya kestabilan dan kekuasaan undang-undang (law enforcement), ini bermakna rakyat hidup dalam keandaan yang tidak stabil dan kacau-balau. Sehingga bermakna rakyat tidak dapat melaksanakan berbagai aktivitas dan beribadah juga menuntut ilmu, sehingga kebahagiaan dunia dan akhirat dapat tercapai kelak. Ini menjadi landasan untuk mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sesungguhnya. Karena itu, kestabilan dan kekuasaan undang-undang adalah sesuatu keniscayaan yang wajib diwujudkan dalam kehidupan masyarakat. Pandangan politik tersebut mengarahkan bahwa seorang pemimpin yang zhalim dan jahil mesti ditaati, karena menjatuhkan serta menggulingkan pemimpin akan menjadikan kehidupan yang tidak stabil serta kacau-balau serta berlakunya konflik yang menjadikan kondisi kehidupan rakyat dalam keadaan yang tidak mendapatkan kebahagiaan serta kesejahteraan dalam kehidupan kemasyarakatan. Dapat saja berlaku hal ini, apabila para pemimpin berkenaan tidak mau turun, ingin tetap berkuasa serta terus mempertahankan tahta kekuasaannya meskipun rakyat tidak mendapatkan kebahagiaan, kemakmuran serta kesejahteraan, karena seluruh harta kekayaan dikuasai oleh pemimpin dengan cara yang tidak benar serta secara serakah menguasai seluruh sumber ekonomi dan pembagian jabatan terhadap orang dan kelompoknya saja.

Dengan usaha yang sistematis tetap mempertahankan kekuasaan dan menguasai berbagai kekuasaan hukum, ekonomi dan politik sertainfrastruktu kekuasaan negara  sebagai upaya tetap berkuasa dengan tidak menghargai hak dasar serta mendasar yang harus diperoleh oleh rakyat, dalam konteks kebahagiaan dan kesejahteraan. Sehingga zhalim serta jahil dengan melanggar nilai-nilai akhlaq, etika-moral dan melanggar undang-undang agar tetap memperoleh kekuasaan, rakyat mesti menerima kehidupan sosial-budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya sebagaimana diatur sesuai dengan keinginan pemimpin yang berkuasa. Apabila tidak menuruti dan mengikutinya, maka pemimpin memanfaatkan potensi konflik dalam kehidupan rakyat juga menciptakan kekacauan sebagai alasan mempertahankan kestabilan menempuh jalur keamanan agar dapat meredam kacau-balau dalam kehidupan rakyat.

Dalam konteks kontemporer praktik politik menciptakan ketidakstabilan ini sering dilaksanakan untuk tetap memepertahankan kekuasaan. Ini dilakukan dengan menciptakan berbagai isu dan memanfaatkan potensi konflik yang ada di tengah rakyat. Dengan demikian, undang-undang ataupun hukum yang berlaku sesuai dengan aturan hukum yang diterapkan oleh pemimpin, dengan demikian membuat aturan serta kondisi kekuasaan hukum sesuai dengan keinginan pemegang kekuasaan, jika tidak mematuhinya atau berani bertentangan maka akan dihabiskan atau dibunuh sebagaimana dasar pemikiran dari Machiavelli, dengan alasan menjaga keamanan dan kestabilan. Ini juga dimanfaatkan dengan mendapatkan dukungan aristokrat, ilmuan dan agamawan (ulama) pendukung serta orang atau kelompok diberikan peluang untuk mendapatkan keuntungan dan kekayaan agar tetap mendukung kekuasaan yang dipertahankan dengan prinsip menguasai segalanya dengan keserakahan kekuasaan, jabatan dan ekonomi. Sehingga konsep keadilan, kebahagiaan, kebajikan umum, kesamaan hak, hak azasi, kebebasan individu sebagai usaha menuju kesejahteraan masyarakat sebagai “civic virtue” atau kebajikan umum bagi rakyat tidak pernah terwujud.

Penggunaan justifikasi keamanan, kestabilan dan mempertahakann kekuasaan dengan dukungan aristokrat, ilmuan, ulama dan kelompok kepentingan yang berfikir pragmatis memberikan jabatan dan keistimewaan yang ikut mengakui keberadaan kekuasaan yang dimiliki, ini dilakukan dalam rangka ikut serta menguasai kekuasaan politik dan ekonomi agar sebagai kebahagiaan di dunia. Sehingga timbullah ide “ril-politik” untuk menjadikan rakyat menerima kehadiran pemimpin yang zhalim, tetap ingin berkuasa dan serakah. Al-Ghazali berpandangan kebahagiaan sebenarnya adalah di akhirat, bertentangan dengan pendekatan Machiavelli yang tidak meletakkan nilai moral dan agama sebagai landasan pemikirannya.

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE