POLITIK identitas merupakan istilah yang acapkali terdengar saat dan atau menjelang Pemilihan Umum (Pemilu).
Politik identitas pun dikaitkan dengan aktivitas dan gerakan sosial-politik, baik dilakukan secara individu ataupun kelompok agar mendapat pengakuan dari publik.
Politik identitas itu sendiri, menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Prof Dr M Arskal Salim GP dikutip dari laman UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta mengatakan politik identitas dalam bidang Ilmu Sosial dan Humaniora dimaknai sebagai kendaraan yang membawa aspirasi, tuntutan kepentingan politik dan ideologi politik.
Dimana, politik identitas digunakan untuk meraih tujuan politik dari setiap kelompok yang melakukannya.
Jadi, mereka bisa mengkapitalisasi ras, suku bangsa, bahasa, adat, gender maupun agama.
Umumnya, politik identitas dimanfaatkan oleh kelompok minoritas maupun marjinal dalam upaya melawan ketidakadilan atau ketimpangan sistem.
Politik identitas kerap dikaitkan dengan agenda, aksi dan aktivitas politik oleh anggota kelompok berbasis identitas.
Mereka mengorganisasi dan memobilisasi diri untuk melawan ketidakadilan karena struktur, sistem, atau praktik hegemoni yang dialami kelompoknya.
Praktik politik identitas lahir di Amerika Serikat (AS) pada 1974 dengan misi melawan ketidakadilan berbasis ras, kelas, gender, etnisitas dan kelompok minoritas sosial lainnya.
Contohnya adalah perjuangan perempuan kulit hitam di AS yang saat itu menjadi warga kelas dua.
Saat itu, yang diperjuangkan adalah kesetaraan untuk semuanya tanpa mengabaikan kepentingan bersama.
Begitupun, para intelektual di bidang politik berpendapat bahwa politik identitas dalam masyarakat demokratis modern dan konteks elektoral zaman sekarang ini nuansanya sangat berbeda.
Dulunya, politik identitas merupakan alat perjuangan dan sekarang sudah bergeser menjadi alat perebutan kekuasaan yang dilakukan para elit politik.
Hal itu dilakukan untuk meraih suara dalam pemilu, yakni dengan cara menciptakan rasa takut dan benci masyarakat terhadap lawan politiknya.
Masyarakat Indonesia, khususnya warga ibu kota Jakarta dan sekitarnya, tentu masih ingat panasnya suasana politik dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta (Pilgub) 2017.
Sejumlah riset menunjukkan bahwa Pilgub DKI menjadi satu kontes politik yang sangat kental dengan nuansa politik identitas.
Nuansa itu bahkan terus berlanjut hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Isu agama pun bersimelir pada Pilgub 2017 dan Pilpres 2019.
Itu terlihat jelas mulai dari kasus penistaan agama Islam yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama atau yang sering dikenal dengan Ahok saata Pilgub.
Strategi mendulang suara pemilih muslim dengan memanfaatkan Aksi 212 oleh kandidat calon gubernur Anies Baswedan, dukungan oleh ijtima’ ulama Gerakan Nasional Penjaga Fatwa (GNPF) MUI untuk kandidat calon presiden Prabowo Subianto, hingga langkah petahana Presiden Joko “Jokowi” Widodo meminang Ma’ruf Amin – petinggi Nadhlatul Ulama – sebagai calon wakil presiden.
Kini, jelang Pemilu 2024, pertanyaan seputar apakah politik identitas akan kembali dieksploitasi oleh para elit politik mulai bergulir.
The Conversation Indonesia mengadakan diskusi dengan para pakar di bidangnya mengenai isu ini. Para pakar tersebut sepakat bahwa politik identitas kemungkinan besar tidak akan laku lagi untuk digunakan sebagai alat menarik suara pemilih.
Ini secara tidak langsung menunjukkan masyarakat Indonesia, terutama pemilih muda dari kalangan milenial dan generasi Z, sudah makin kritis.
Di sini terlihat jelas politik identitas secara garis besar dilakukan untuk mencapai tujuan mereka. Semoga pada Pemilu 2024 nantinya, bisa berjalan aman, lancar dan kondusif. (Penulis Alumni Fakultas Teknik Informatika, UISU)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.