Oleh: Dr. Bukhari, M.H., CM.
Keberadaan pagar laut sepanjang 30 kilometer di pesisir utara Kabupaten Tangerang telah menimbulkan kehebohan dan menuai berbagai kritik. Pagar yang terbuat dari bambu ini membatasi akses nelayan lokal, menghambat aktivitas mereka, dan diduga menyebabkan kerusakan lingkungan. Fenomena ini menjadi perhatian publik bukan hanya karena dampaknya, tetapi juga dari sisi hukum positif dan hukum Islam yang terkait.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Nelayan setempat melaporkan penurunan hasil tangkapan hingga 50 persen karena pagar tersebut menghalangi jalur perahu mereka. Selain itu, perahu sering mengalami kerusakan akibat menabrak bambu, terutama saat ombak besar.
Dampak ini menunjukkan bahwa pembangunan pagar tanpa perencanaan dan izin yang jelas tidak hanya merugikan komunitas lokal, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan.
Analisis Hukum Positif
Dari perspektif hukum positif, pemasangan pagar laut tanpa izin merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Beberapa pasal yang dilanggar adalah:
– Pasal 17 ayat (1): Setiap pemanfaatan ruang perairan pesisir wajib memiliki izin lokasi.
– Pasal 73 ayat (1): Setiap pemanfaatan sumber daya pesisir harus memiliki izin pemanfaatan.
Sanksi atas pelanggaran ini diatur dalam Pasal 75 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007:
– Ayat (1): Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang tanpa izin dikenakan sanksi administratif berupa penghentian kegiatan, pencabutan izin, dan denda administratif.
– Ayat (2): Pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara maksimal tiga tahun dan/atau denda hingga Rp 500 juta.
Kajian Menurut Hukum Islam
Dalam perspektif hukum Islam, tindakan pemasangan pagar laut yang merugikan masyarakat dan lingkungan melanggar prinsip dasar syariah yang mengedepankan kemaslahatan. Prinsip maqasid syariah (tujuan syariah) mengajarkan bahwa segala tindakan manusia harus diarahkan untuk melindungi lima hal utama: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Pemasangan pagar laut ini bertentangan dengan maqasid syariah, khususnya dalam hal:
1. Melindungi harta (hifzul maal): Nelayan mengalami kerugian ekonomi akibat penurunan hasil tangkapan dan kerusakan perahu mereka. Tindakan ini juga mengabaikan hak milik masyarakat terhadap akses ke sumber daya laut yang merupakan milik bersama (musya’).
2. Melindungi jiwa (hifzul nafs): Ancaman kerusakan lingkungan seperti banjir rob akibat pengurukan tambak dapat menimbulkan risiko lebih besar bagi masyarakat sekitar.
Dalam kaidah fiqhiyyah disebutkan:
“La dharara wa la dhirara” (Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain).
Kaidah ini menunjukkan bahwa tindakan yang menyebabkan kerugian bagi orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dilarang dalam Islam.
Selain itu, hukum Islam menekankan pentingnya keadilan (al-adl) dalam setiap aspek kehidupan. Pemasangan pagar laut yang dilakukan tanpa izin dan tanpa mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi terhadap masyarakat bertentangan dengan prinsip keadilan ini.
Rekomendasi dan Penegakan Hukum
Kasus ini menjadi ujian bagi pemerintah dalam menegakkan hukum positif sekaligus menjaga nilai-nilai keadilan yang sejalan dengan hukum Islam. Pemerintah daerah dan pusat harus segera bertindak:
1. Membongkar pagar laut jika terbukti tidak memiliki izin.
2. Menindak pihak yang bertanggung jawab, baik individu maupun korporasi.
3. Melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan wilayah pesisir untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Pemerintah juga harus mengedepankan pendekatan berbasis syariah dalam menyelesaikan konflik ini, dengan cara mendengarkan aspirasi masyarakat yang terdampak dan memastikan bahwa setiap tindakan membawa manfaat yang lebih besar bagi semua pihak.
Sebagai bangsa maritim dengan mayoritas penduduk Muslim, Indonesia harus mampu menyeimbangkan antara pembangunan dan perlindungan lingkungan dengan memperhatikan aspek hukum positif serta nilai-nilai syariah. Kasus pagar laut ini menjadi pengingat pentingnya sinergi antara supremasi hukum dan etika Islam dalam menjaga kemaslahatan bersama.
Penulis adalah Advokat sekaligus Akademisi IAIN Lhokseumawe
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.