Peran Medsos Mengawal Penegakan Hukum

  • Bagikan
<strong>Peran Medsos Mengawal Penegakan Hukum</strong>

Medsos dan memanfaatkan perkembangan tekhnologi informasi dalam mengekpresikan pendapat, membuat aparat penegak hukum juga harus mampu mengimbangi dengan mengoptimalkan penanganan perkara sehingga tidak perlu ada istilah No Viral No Justice

Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, setiap lembaga penegak hukum memiliki aturan yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugas pokoknya, dengan Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai dasar menjalankan kewenangannya. Penegakan hukum di Indonesia belum memberikan kepuasan bagi masyarakat yang berurusan dengan hukum, mengakibatkan tingkat kepercayaan Aparat Penegak Hukum (APH) menjadi tugas utama untuk ditingkatkan. Masyarakat menganggap bahwa penegakan hukum, bukanlah menegakkan hukum yang berkepastian dan berkemanfaatan, untuk menciptakan keadilan, sehingga ada penilaian masyarakat bahwa penegakan hukum berdasarkan kekuasaan.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) periode Februari-Maret 2022, menyebutkan bahwa 31% menyatakan kondisi penegakan hukum nasional di Indonesia saat ini buruk. Akibatnya, masyarakat sering memviralkan dengan tujuan agar laporannya ditindaklanjuti, sebagaimana istilah “No Viral No Justice”. Di antaranya kasus pemerkosaan 3 anak di Luwu Utara, kasus bunuh diri mahasiswi NWR, anggota Polsek Pulogadung tak seriusi laporan. Jika saja di media sosial tidak diberitakan/diviralkan, bisa saja kasus tersebut sulit untuk dibongkar kejadian sebenarnya.   

Selain itu, adanya fenomena kasus yang dilaporkan kepada Hotman Paris sebagai “celebrity lawyer”. Ketika ada pengaduan yang diajukan kepadanya, lalu Hotman Paris berkoar-koar di media sosial (Medsos) dengan men-tag pejabat kepolisian terkait, untuk mendapatkan atensi dari penegak hukum yang menangani. Padahal, harusnya hukum dilaksanakan dan dijalankan sesuai dengan perintah hukum, bukan perintah dari pejabat yang memegang tampuk kekuasaan. Isu hukumnya adalah bagaimana peran media sosial dalam mengawal penegakan hukum di Indonesia?

Dalam merespons permasalahan tersebut, aparat penegak hukum seakan ingin melakukan penegakan hukum yang transparan dengan membuat konferensi pers pada setiap perkembangan penyidikan yang dilakukan, yang mengesampingkan asas “pro-justitia”–seharusnya diungkap di persidangan, menjadi “trial by the press” sebelum persidangan dimulai. Hal ini membangun konstruksi berpikir para hakim yang menyaksikan media sosial tentang penegakan hukum kasus yang sedang ditangani, ketika menggali fakta-fakta hukum di depan persidangan. Seharusnya, fakta-fakta hukum tersebut hanya didapatkan pada saat persidangan pembuktian berlangsung.

Dalam Kamus Hukum: Edisi Lengkap Bahasa: Belanda-Indonesia-Inggris, (hlm. 456), istilah “Pro-justitia” diartikan sebagai “demi hukum”, “untuk hukum”, atau “undang-undang”. Dalam praktiknya, istilah “pro-justitia” terdapat dalam dokumen atau surat resmi kepolisian dalam proses penyidikan tindak pidana, maupun dokumen hukum kejaksaan dalam proses penuntutan untuk kepentingan proses hukum. Makna “pro-justitia”, juga terdapat dalam penetapan atau putusan pengadilan, yang dituliskan: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Selain itu, terdapat asas praduga tak bersalah (presumption of innocent). Artinya, seseorang yang diduga, disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di sidang pengadilan wajib hukumnya dianggap tidak bersalah, sebelum adanya putusan pengadilan yang inkracht. Asas ini terdapat pada Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Penjelasan Umum KUHAP.

Dengan adanya Medsos, mengakibatkan kedua asas-asas hukum tersebut  seperti dikesampingkan. Proses penegakan hukum yang transparan tanpa batasan, dan asas praduga tak bersalah yang “dilanggar” oleh penegak hukum untuk merespons permintaan masyarakat terkait penanganan suatu perkara yang ‘notabene’ dibuat secara transparan. Dibutuhkan suatu kerangka hukum (legal framework) dalam mengakomodir berbagai kepentingan penggunaan media sosial dalam proses penegakan hukum.

Medsos Sebagai Alat Rekayasa Sosial

Medsos ternyata dapat dijadikan sebagai alat rekayasa sosial (social engineering) sebagaimana disampaikan Roscoe Pound (1922) bahwasanya “law as a tool of social engineering”. Artinya, hukum dapat memainkan peran dalam melakukan rekayasa sosial. Media sosial dapat berperan sebagai “social engineering” dalam penegakan hukum di Indonesia. Saat ini, masyarakat pencari keadilan memahami bahwa media sosial begitu besar pengaruhnya dalam memperjuangkan kepentingan hukumnya, terlepas dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan putusan peradilan yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum.

Menurut Alm. Artidjo Alkostar, Hakim Agung, menyatakan “pers sangat berperan dalam penegakan supremasi hukum, sebab kontrol sosial pers yang efektif akan mencegah timbulnya praktek-praktek ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum” (Makassar.Antaranews.com, URL, 25/01/2009).

Dalam konteks ini, media sosial terlepas dari pers, pers juga tidak terlepas dari adanya media sosial. Berita-berita yang diupload kepada media sosial, belum tentu dibuat seorang jurnalis, bisa jadi hanya masyarakat awam yang tidak tahu-menahu mengenai penegakan hukum. Seorang jurnalis media online yang membuat berita, harus menaati norma-norma dalam membuat pemberitaan, yang mengikat berdasarkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Penegakan Hukum Di Negara Maju

Di negara-negara maju, proses penegakan hukum tidak terlepas dari kebebasan pers dalam mendapatkan informasi. Contoh: Norwegia, sebagai negara yang menjamin kebebasan pers menempati urutan pertama, diikuti Finlandia sebagai peringkat kedua, Swedia peringkat ketiga, dan Belanda peringkat keempat. Indonesia menempati urutan 117 (World Press Freedom Index, 2022).

Medsos saat ini memiliki pengaruh besar dalam mengontrol proses penegakan hukum saat ini. Proses penegakan hukum secara substansial telah lengkap diatur, strukturnya secara organisasi pun telah memadai, namun budaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum yang belum optimal dalam menjalankan hukum acara yang telah dibuat. Penegakan hukum yang dilakukan, terkesan harus ‘ditekan’ dulu dari atasan, atau dari media sosial, barulah dapat berproses.

Perubahan kehidupan sosial di masyarakat yang menggunakan Medsos dan memanfaatkan perkembangan tekhnologi informasi dalam berinteraksi, berkomunikasi dan mengekpresikan pendapatnya, membuat aparat penegak hukum juga harus mampu mengimbangi dengan mengoptimalkan penanganan perkara-perkara sehingga tidak perlu ada istilah No Viral No Justice. 

Saat ini, merupakan momentum bagi seluruh aparat penegak hukum untuk berbenah ke arah lebih baik, memiliki integritas dalam melaksanakan kewenangannya masing-masing, sehingga penegakan hukum di Indonesia mendapatkan kepercayaan tinggi  dari masyarakat yang berurusan dengan penegak hukum dan yang memiliki persoalan hukum.

Penulis adalah Mahasiswa Prodi (S3) Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>Peran Medsos Mengawal Penegakan Hukum</strong>

<strong>Peran Medsos Mengawal Penegakan Hukum</strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *