Oleh Zulkarnain Lubis
Mereka yang memiliki attitude rendah tapi punya nafsu berkuasa tinggi ada di mana-mana dan tidak ada tempat yang steril dari mereka. Para pemimpin tersebut berselera, maju, dan berhasil menyalurkan hasratnya untuk menjadi pemimpin meskipun mereka adalah orang yang tidak mengukur diri
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Masalah attitude adalah persoalan vital yang bisa menjadikan seseorang, sebuah keluarga, sebuah komunitas, sebuah kampung, sebuah daerah, atau mungkin sebuah negara tersandera berkepanjangan akibat attitude buruk seseorang warga masyarakat, apalagi sebagai pemimpin sebuah komunitas, pemimpin sebuah institusi, pemimpin sebuah wilayah, dan tentu saja pemimpin sebuah negeri.
Attitude yang baik merupakan syarat mutlak dan lebih penting dari sekedar cerdas dan pintar serta lebih penting dari sekedar pengetahuan dan keterampilan. Kecerdasan, kepintaran, keluasan ilmu, dan banyaknya pengalaman yang dimiliki seseorang bisa saja mengantarkannya kepada kesuksesan, tapi mungkin saja sukses yang diraihnya merugikan, mencelakakan, menjatuhkan, atau bahkan menghancurkan pihak lain.
Untuk itu, ada kisah bagus yang bisa memberikan inspirasi kepada kita tentang attitude tersebut, yaitu cerita tentang seorang mahasiswa pendatang yang cukup pintar dan kreatif yang berasal dari sebuah negara dan sedang mengambil studi lanjut untuk subjek komputer di suatu negara maju di Eropah. Dia selalu bepergian menggunakan kereta listrik termasuk pulang dan pergi ke kampus yang tentu naik dan turunnya dari kereta tersebut sudah menggunakan teknologi digital. Dia penasaran dan berpikir apa mungkin sistemnya bisa “dimasukin” dan “diakali” sehingga dia bisa naik dan turun dengan gratis dan lolos dari pemantauan.
Dengan bekal ilmu dan keterampilan yang dia miliki, mulailah dia kutak-katik dan akhirnya berhasil. Jadilah dia selama masa pendidikannya gratis menggunakan jasa transportasi tersebut sampai akhirnya selesai perkuliahannya. Diapun berpikir untuk bekerja di negara tersebut dan dengan percaya diri tinggi atas kemampuannya, dia lalu mengajukan lamaran ke beberapa tempat dan memastikan akan dapat bekerja dengan mudah, namun tak satupun perusahaan yang dilamarnya menerimanya.
Dia lantas bertanya-tanya dalam hati dan menganggap negara itu rasis. Dia mencoba menanyakannya ke HRD salah satu perusahaan yang ditujunya sambil menuduhkan mereka rasis dan diskriminatif. Namun dia terkejut dengan jawaban sang kepala HRD yang mengatakan dia tak mungkin diterima karena persoalan attitute yang terlihat dari rekam digitalnya, dia berlaku curang dengan berulang kali menggunakan fasilitas tanpa melakukan pembayaran dengan “mengganggu” sistem pengaturan pass masuk dan keluar.
Ketika dia protes dengan mengatakan kenapa perkara kecil begini menjadi masalah besar, sambil berargumen kenapa justru kompentensi dan keahliannya tertutupi oleh perkara kecil tersebut serta mengatakan bahwa dia tidak bodoh dan kesalahan yang dilakukan bukanlah kesalahan mematikan. Sambil berusaha meyakinkan kepala HRD tersebut bahwa dia dapat dan sanggup berubah. Tapi kepala HRD tersebut menanggapi dengan mengatakan bahwa anak muda tersebut tidak bodoh tapi persoalannya yang paling mendasar adalah dia tidak mau ikut peraturan, dia tidak taat terhadap peraturan, dan dia pintar mencari kelemahan dalam peraturan, serta pandai memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya. Kepaĺa HRD tersebut menimpali bahwa orang tersebut adalah sosok yang tidak dapat dipercaya dan ini adalah hal yang sangat berbahaya serta sangat mengerikan.
Terlepas apakah cerita di atas merupakan fakta atau bukan, namun substansi ceritanya memang perlu menginspirasi kita baik dalam kehidupan bernegara, kehidupan di tempat bekerja, kehidupan di tengah-tengah masyarakat, maupun dalam menjalani kehidupan di tengah-tengah keluarga. Apa yang menjadi sikap, prinsip, dan kebiasaan yang berlaku di negara tersebut perlu menjadi perhatian kita yaitu “attitute“ merupakan syarat mutlak serta jauh lebih penting dari sekedar cerdas, terampil, dan pintar.
Sebagaimana disinggung di atas, mungkin saja kepintaran, keterampilan, dan kecerdasan seseorang bisa menjadikannya mencapai kesuksesan, tapi dengan attitude yang buruk, sukses yang diraihnya sangat mungkin dengan cara mengorbankan orang lain yang membuat orang lain merasa dirugikan, tersakiti, terzolimi, teraniaya, celaka, dan hancur hidupnya. Karena itu, attitude harus menjadi pertimbangan utama dalam menilai seseorang untuk pengangkatan atau rekrutmen karyawan, menentukan seseorang menjadi pimpinan, memilih seseorang menjadi partner atau bawahan, termasuk memilih seseorang sebagai teman hidup.
Demikian juga untuk sebuah negara, attitude warga masyarakat dan pimpinannya menjadi penentu utama untuk majunya sebuah negara. Attitude warga yang baik akan membuat negara menjadi maju dan beradab. Baiknya attitude masyarakat sangat ditentukan oleh baiknya attitude para pimpinannya, namun terpilihnya pimpinan yang memiliki attitude baik juga tergantung bagaimana warga masyarakat menentukan pilihannya.
Attitude yang baik antara lain ditunjukkan adanya rasa saling percaya antar warganya dan antara warga dengan para pemimpinnya, rasa saling percaya tersebut akan tumbuh jika warga dan pemimpinnya mampu menunjukkan sikap, sifat, dan perilaku yang layak dipercaya. Sikap untuk layak dipercaya ini tentu berkaitan dengan dominannya orang-orang yang berintegritas, jujur, dan bermoral di tengah-tengah masyarakatnya.
Dominasi orang-orang yang berintegritas, jujur, dan beretika akan terwujud, jika para pemimpinnya adalah juga orang yang memiliki integritas, kejujuran, dan moral. Karena itu, mestinya orang-orang yang dicalonkan, dipilih, dan diperjuangkan untuk menjadi pemimpin dan pejabat adalah orang-orang yang punya integritas, kejujuran dan moral, selain tentunya mereka juga harus memiliki kompetensi, kapasitas, dan kapabilitas.
Jadi, mereka bukan dipilih dan diperjuangkan hanya karena kawan sekampung, kawan sekampus, kawan semarga, sama etniknya, sama agamanya, serta hanya karena kedekatan emosional semata atau bahkan hanya karena kegemaran calon pemimpin membagi-bagi uang dan materi yang nanti modal yang dihambur-hamburkannya akan diusahakannya cepat kembali ketika menjadi penguasa.
Namun untuk negara kita, harapan itu kelihatannya akan sia-sia, pejabat yang diangkat mulai dari bawah sampai atas serta calon yang ditawarkan ke rakyat untuk dipilih, banyak yang lemah kompetensinya, rendah kapabilitasnya, kecil kapasitasnya, buruk tabiatnya, miskin moralnya, minus kelakuannya, tekor kejujurannya, tidak tahu diri dan tidak mengukur diri pula terhadap kemampuannya.
Mereka nekat maju sebagian besar hanya karena mengandalkan bangunan dinasti politik yang dibangun orang tua atau kerabat mereka, lobi-lobi dan jaringan yang dibangun melalui persekongkolan jahat untuk bagi-bagi kuasa dan jual beli suara, serta kesiapan dana untuk merekayasa segala aspek yang memberi jalan bagi mereka untuk bisa berkuasa. Mereka berusaha menaikkan citra diri sekaligus mejatuhkan citra kompetitornya, mulai dengan membentuk tim buzzer, melengkapi fasilitas dan sarana, memanfatkan berbagai jenis media, dan menunjuk para operator lapangan yang menggunakan segala cara untuk memenangkan juragannya.
Fakta rendahnya kemampuan dan buruknya attitude para calon saat diusung terlihat dari kualitas komunikasi yang buruk, kosongnya ide dan gagasan, serta lemahnya kemampuan mengontrol diri mereka saat debat kandidat yang disiarkan oleh berbagai media serta ditayangkan ulang melalui berbagai jenis media sosial. Ada calon yang diam tak mau menjawab pertanyaan lawan debatnya dan ada pula diam tidak mau bertanya saat diminta bertanya, padahal pada saat itulah mestinya mereka menunjukkan “isi kepala“ mereka.
Ada yang cara berbicaranya ‘belepotan“ tak jelas tata bahasa dan tak jelas pula apa yang disampaikannya, ada menjawab berbeda dengan yang ditanyakan, ada lagi yang menyampaikan hal-hal yang tidak substansial, ada pula yang mudah terpancing emosinya sehingga bertindak dan berlaku tidak etis yang menyulut ricuh antar pendukung.
Kesemuanya menunjukkan betapa lemahnya kapabilitas dan buruknya attitude dari calon yang diusung para partai politik yang menunjukkan pula bahwa para pengambil keputusan di partai politik juga banyak diisi oleh yang buruk “attitude“-nya atau setidaknya di-“remote“ oleh mereka yang buruh “attitude“-nya.
Sebetulnya naiknya pemimpin yang tidak mengukur diri dan lupa berkaca ini tidak hanya mampu berkuasa di pemerintahan dan dunia politik. Mereka ada di mana-mana, mereka bisa eksis di dunia usaha, muncul di dunia kerja, bisa pula berperan di organisasi pemuda, di organisasi sosial, dan di organisasi agama. Mereka juga ada yang berkuasa dan menjadi penentu di sekolah dan kampus.
Ringkasnya, mereka yang memiliki attitude rendah tapi punya nafsu berkuasa tinggi ini ada di mana-mana dan tidak ada tempat yang steril dari mereka. Para pemimpin tersebut berselera, maju, dan berhasil menyalurkan hasratnya untuk menjadi pemimpin meskipun mereka adalah orang yang tidak mengukur diri, tidak punya kompetensi, tidak punya integritas, dan tidak punya etika tapi pandai memoles diri dan merekayasa sehingga mereka sanggup membuat yang busuk menjadi harum semerbak bak bunga, bisa menjadikan yang buruk terlihat indah bak panorama, membuat yang salah terlihat seperti benar tindakannya, serta membuat yang jahat dan bengkok hati bisa terlihat seperti orang baik dan bagus perangainya. Jadi, karena ”attitude” penting, cari dan pilihlah pemimpin yang baik “attitude”nya.
Penulis adalah Ketua Program Studi Doktor Ilmu Pertanian, Program Studi Magister Agribisnis, dan Ketua Dewan Guru Besar UMA.