Masyarakat Indonesia menghadapi berbagai masalah terkait ketidakadilan dalam memperoleh hak atas kepemilikan dan penggunaan sumber daya agraria. Ketidakadilan agraria ini seringkali dipicu oleh kebijakan politik yang berlaku di setiap periode pemerintahan.
Keberadaan hukum atas hak-hak masyarakat adat di Indonesia telah diakui dan dihormati sebagaimana dimuat dalam konstitusi negara Indonesia yaitu pada Pasal 18B ayat 2 Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, belum dibentuk nya undang- undang khusus yang mengatur tentang perlindungan dan pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, negara mengakui dan menghormati eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya, dengan syarat bahwa hukum adat tersebut masih berlaku, sesuai dengan perkembangan masyarakat, memiliki tradisi yang diwariskan secara turun-temurun, dan diatur dalam peraturan perundang- undangan.
Hak masyarakat hukum adat, termasuk kebudayaan adatnya, telah dihormati sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat 3 UUD Tahun 1945. Dengan adanya pengakuan hak masyarakat hukum adat yang tercantum dalam UUD Tahun 1945, negara memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk melindungi, memenuhi, serta menghormati hak-hak masyarakat hukum adat di Indonesia.
Pada kenyataannya, terdapat banyak terjadinya konflik agraria di Indonesia, bahkan beberapa di antaranya berpotensi melanggar HAM, terutama yang melibatkan masyarakat hukum adat.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang 2023, 241 kejadian konflik agraria meletus di 33 provinsi di Indonesia, mencakup lahan seluas 638.188 hektare, dengan jumlah kepala keluarga (KK) yang terdampak mencapai 135.608 di 346 desa.
Dalam laporan tahunannya, KPA mengulas dan menganalisis 10 provinsi tertinggi kejadian konflik agraria di Indonesia. Letusan konflik terbanyak, menurut KPA, terjadi di Sumatera Utara (Sumut) dengan 33 konflik dengan luas mencapai 34.090 hektare dan korban terdampak sebanyak
11.148 KK. Letusan konflik tersebut tersebar di 25 desa di berbagai kabupaten.
“Dari total konflik tersebut, sebagian besar terjadi di wilayah perkebunan sebanyak 20 letusan konflik agraria seluas 7.681 hektare dengan korban sebanyak 4.875 KK,” tulis KPA, dalam Laporan Tahunan Agraria 2023 yang dirilis Senin (15/1/2024).
Konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara khusus nya Kabupaten Tapanuli Selatan berkaitan dengan hak tanah masyarakat hukum adat, termasuk upaya penggusuran dan relokasi paksa.
Masyarakat hukum adat memiliki hak atas tanah adat mereka, yang diakui dalam peraturan perundang-undangan. sehingga upaya tersebut bertentangan dengan hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat.
Adapun konflik ini terjadi antara Perusahaan Swasta yang berkonflik dengan masyarakat hukum adat yang menempati wilayah kawasan Tapanuli Selatan.
Konflik agraria yang berlangsung di wilayah tersebut turut berimbas pada timbulnya pelanggaran HAM masyarakat hukum adat, yang mengalami penindasan, intimidasi dan diskriminasi serta perampasan tanah adat. Ratusan batang pohon karet dan tanaman produksi masyarakat adat setempat ditumbangkan dengan menggunakan alat berat.
Aksi brutal ini mendapat perlawanan dari Masyarakat Adat selaku pemilik lahan. Namun, perusahaan swasta tidak bergeming. Mereka terus merusak perkebunan Masyarakat Adat.
Dalam konteks HAM, terdapat salah satu asas HAM yaitu asas hak alamiah (natural rights) dan inherent yang berarti bahwa HAM ialah melekat secara kodrati dalam diri tiap-tiap orang, dan bukan merupakan pemberian dari negara.
Apabila melihat pada asas rule of law secara luas, HAM sebagai suatu unsur fundamental dikarenakan HAM memberi batasan bagi negara dengan warga negaranya, sehingga tindakan pemerintah dalam mengambil suatu keputusan tidak diperbolehkan melanggar HAM yang dimiliki warga negara.
Tiap-tiap manusia memiliki hak yang melekat secara kodrati tanpa dapat direnggut oleh siapapun juga termasuk negara, dan negara dibatasi oleh HAM dalam menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangannya dalam menyusun ataupun mengambil suatu keputusan yaitu wajib untuk memperhatikan dan menjunjung tinggi HAM.
Perlindungan dan pengakuan terhadap hak masyarakat hukum adat telah dimuat baik dalam peraturan nasional maupun internasional. Dalam hukum nasional di Indonesia, perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat telah dimuat dalam landasan konstitusional Negara Indonesia.
Yaitu Pasal 18B ayat (2) UUD Tahun 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.
Pasal tersebut mencerminkan adanya pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak yang dimilikinya. Pada amandemen kedua UUD Tahun 1945 memuat ketentuan mengenai penghormatan terhadap identitas budaya dan hak tradisional masyarakat hukum adat sebagaimana tertuang dalam Pasal 28I ayat (3) UUD Tahun 1945, yang menjelaskan bahwa identitas budaya dan hak tradisional dihormati sejalan dengan berkembangnya zaman.
Penegakan dan perlindungan terhadap hak masyarakat hukum adat dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU HAM yang menjelaskan bahwa hukum, masyarakat, dan pemerintah berkewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memperhatikan segala hak masyarakat hukum adat.
Serta melindungi identitas budaya masyarakat hukum adat yang mencakup segala hak yang melekat dan dipegang teguh oleh masyarakat hukum adat secara nyata, dan hak atas tanah ulayat.
Tanggung jawab negara dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi HAM khususnya masyarakat hukum adat telah diatur dalam UUD Tahun 1945, yaitu dimuat dalam Pasal 28I ayat (3), (4), dan (5) yang berbunyi “(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. (5) untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”.
Hal ini jika dikaitkan dengan konflik yang terjadi di Kab. Tapanuli Selatan maka masyarakat hukum adat Kab. Tapanuli Selatan berhak untuk memperoleh perlindungan dari negara atas hak-hak tradisionalnya yaitu berkenaan dengan hak atas tanah.
Selain itu, negara melalui pemerintah dibebankan kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak atas tanah yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat setempat.
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sebagai induk reforma agraria belum mampu menjawab atas berbagai permasalahan agraria yang terjadi di Indonesia.
Melihat fenomena yang terjadi saat ini bahwa masih banyak terjadi sengketa tanah baik antara pemerintah dengan masyarakat, masyarakat dengan pengusaha, maupun masyarakat dengan masyarakat. Sangat miris perampasan tanah masyarakat adat terus terjadi dan masih terus berlangsung sampai hari ini. (Penulis, Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara)