Scroll Untuk Membaca

Opini

Pemilu Curang Pemimpin Culas

Pemilu Curang Pemimpin Culas

Oleh: Taufiq Abdul Rahim

Dalam peristiwa politik yang baru lalu, yaitu pesta demokrasi politik 14 Februari 2024 kata curang dan culas demikian populer serta melekat pada setiap ucapan. Dimana praktik curang berkaitan dengan proses tahapan awal dilaksanakan pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu), sehingga dapat dipastikan bahwa, hasil dari pada pelaksanaan demokrasi politik melalui Pemilu akan mendapatkan pemimpin yang culas terhadap aktivitas serta perilakunya  dalam kekuasaan politik pemimpin. Sehingga padanan kata yang dikaitkan tersebut, yaitu kata curang menurut Daryanto (1997) berarti; tidak adil, tidak jujur, bohong, tidak dapat dipercaya. Hal ini selaras dengan Noresah dkk. (2002) yaitu; tidak jujur, tidak lurus  (tulus) hati, munafik, menipu, membohongi, dan mengakali. Sehingga curang merupakan ungkapan negatif dan tidak baik alam aktivitas kehidupan masyarakat, demikian juga dalam konteks aktivitas politik menjadi suatu kata yang sangat tidak terpuji dan tidak membanggakan sama sekali dan inteaksi kehidupan sosial kemasyarakatan yang menjunjun tinggi akhlaq serta etika-moral dalam hidup manusia yang beradab serta memiliki peradaban yang tinggi di era modern.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Pemilu Curang Pemimpin Culas

IKLAN

Selanjutnya berhubungan dengan kata culas, Daryanto (1997) mengartikan dengan yaitu; cuang, tidak jujur, suka bohong dan memutar balikkan kenyataan, malas, lamban dalam bekerja, dan tidak tangkas. Sementara itu Noresah dkk. (2002) mengartikan; malas, tidak cergas dalam bekerja, liar ibarat binatang, curang, dan tidak jujur. Dengan demikian bahwa padanan kata antara curang dan culas semakin memeperlengkap antara aktivitas negatif atau tidak baik, perilaku tidak bertanggung janwab serta terpuji, bukan merupakan perilaku manusia beradab dan tidak memiliki tanggung jawab selaku manusia yang beradab, berakhlaq mulia serta tidak selaras dengan etika-moral yang wajib dijunjung tinggi. Bahkan dengan tanpa malu-malu serta bangga dengan kebohongan demi kebohongan yang dilakukan dan memutarbalikkan, mengakali serta suka menipu. Karena itu, pemimpin culas tidak sungkan serta ragu berperilaku munafik sejauh tidak merugikan dirinya sendiri, kelompoknya, jika dalam dunia politik hanya untuk “conflict of interest” yang menguntunggkan partainya dan dengan seenaknya serta leluasa berinteraksi dengan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) bersama-sama demi kekuasaan politiknya dan koalisi partai politik. 

Dalam kehidupan politik nasional, bahwa kondisi hukum, praktik dan perilaku kenegaraan secara politik Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang lalu, demikian transparan serta terang benderang melalui penguasaan Institusi Hukum, Penyelenggara, Pengawas, Alat Kekuasaan dan Infrastruktur Negara serta para pejabatnya bahkan secara dinasti kekuasaan keluarga melakukan praktik politik curang, politik uang (money politics), politik gentong babi (pork barrel politics) tanpa malu dan penuh percaya diri untuk memenangkan Pemilu 2024. Semua didukung politik kekuasaan negara serta pejabat tinggi negara melakukan praktik curang dan sangat tidak beradab tidak mampu dikalahkan oleh kekuataan apapun, disamping didukung kekuatan dan kekuasaan hukum, juga dilindungi serta mendapatkan dukungan alat kekuasaan negara yang dapat melakukan apapun jika melawan terhadap kepentingan kemenangan politik curang pada saat proses, tahapan dan pelaksanaan Pemilu. Maka secara halus dan licik menanggung konsekwensi secara politik, ekonomi dan hukum yang mungkin saja tidak terbayangkan sebelumnya, karena berjalan sesuai dengan kekuasaan “abbused of power politics” yang dilakukan dengan oleh kekuasaan “autoritariansm politics”.

Karena itu, kekuasaan politik pada saat berkuasa akan tetap berusaha dipertahankan menurut Dahl (1974) yaitu, …any persisten of human relationship that involves, to signivicant extent, control, influence, power or authority (setiap hubungan antarmanusia yang terus-menerus yang melibatkan, hingga tingkat yang signifikan, kendali, pengaruh, kekuasaan atau otoritas), sehingga dengan menggunakan alasan apapun, bahkan sering menggunakan atas nama rakyat tetap berusaha untuk terus dipertahankan, baik secara otomatis maupunekayasa politik yang terus dibangun dalam kehidupan rakyat. Ini semua menjadikan kekuasaan semakin absolut, karena dorongan nafsu manusia untuk berkuasa, maka kemauan akan kekuasaan adalah kondisi alamiah manusia, sebagaimana ada pemikiran sebahagian pakar yang menyatakannya. Sehingga secara psikologis dan naluri kemanusiaan, karena diasumsikan sebagai kebutuhan dasar manusia harus dianggap penting dan dihormati. Karena itu secara prinsipil manusia selalu didorong oleh dan atau untuk memenuhi keinginannya menjadi manusia super dan kuat, bahkan jika tidak terkendali oleh akal, akhlak dan etika-moral. Sehingga terhadap konteks jabatan politik, mungkin keinginan alamiah manusia didukung keseaakahan dan kerakusan untuk berkuasa inilah yang mendorong seseorang untuk terus menerus mencari kekuasaan nafsu politik. Dengan demikian menurut Lord Acton (Greenberg dan Baron, 2000), kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup. Karenanya secara realitas kekuasaan politik nasional kontemporer sesungguhnya rakyat sudah mengetahui hal ini, terutama mereka yang menaruh perhatian pada praktik kekuasaan atau politik, baik di pemerintahan, korporasi, atau komunitas sebagai kajian analisis secara bebas.

Dengan terus tetap berkuasa, maka mesti melakukan berbagai asktivitas politik, rekayasa, kelicikan dan usaha segala cara untuk tujuan memenangkan komptetisi Pemilu dilakukan, sehingga kekuasaan politik tetap dibawah kendali yang mesti terus dipertahankan, hanya menggunakan pergantian pemimpin yang mesti tunduk atuh dibawah kooptasi kekuasaan politik. Sehingga hubungan keluarga, kekuasaan politik dinasti dipersiapkan dan disandingkan dengan pemimpin yang memahami koordinasi kekuasaan dengan tetap sentral kekuasaan yang mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan dan target politiknya. Dengan kekuasaan yang dimiliki akan menetapkan doktrin politik, ini sesuai dengan keinginan politik (political will) sebagai pemangku kekuasaan dan kelompoknya yang masih terus mempengaruhi berbagai kebijakannya sebagai upaya mengatasnamakan demokrasi politik kekuasaan. Maka menurut W. White adalah, the sum of political ideas or doctrines of a distinquishable class of group of people (kumpulan gagasan atau doktrin politik dari sekelompok orang yang dapat dibedakan). Sehingga secra transparan terlihat kepentingan kelompok kepentingan bersama para oligarki politik tetap ingin berkuasa menggunakan cara-cara yang culas. Dengan demikian keberlanjutan kemenangan kontestasi demokrasi politik melalui pemilu tidak disia-siakan, karena kemenangan yang semua orang, rakyat serta berbagai pakar yang konsen terhadap pemilu yang lalu sangat tahu praktik keurangan, ini sudah juga memperkirakan berbagai keputusan politik akan berlanjut bukan untuk kepentingan rakyat, perubahan kehidupan yang sesungguhnya untuk kesejahteraan umum, tetapi rakyat akan terus berhadapan dengan dengan berbagai kebijakan politik dan publik yang tidak berpihak serta menguntungkan dalam konteks sosial kemasyarakatan yang semakin sulit serta susah.

Kemudian impak dari kemenangan curang kemudian melakukan praktik culas secara mudah memutarbalikkan pernyataan serta janji politiknya, bahkan terus mencari cara, jalan dan menghindar dari pelaksanaan pogamseta poyek yang tidak menguntungkan individu, kelompok, partainya serta para oligarki pendukung kapitalisasi/modal politik. Sehingga berbagai usaha menghindar dari janji dengan cara menggunakan pernyataan yang tidak konsisten dengan janji sebelumnya terus bergulir. Karena yang dikehendaki dari dari nafsu kerakusan kuasa politk adalah kekuasaan, yang selanjutnya memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri, menguasaai sumber daya alam dan ekonomi. Juga berusaha untuk menguasai politik hukum dan kekuasaan terhadap kebijakan yang dapat menyebabkan terjebak dalam status hukum yang setiap saat dikendalikan agar seluruh infrastruktur hukum, kekuasaan dan politik, semua dibawah kendali kekuasaan pemimpin culas serta para pendukungnya. Dengan demikian bahwa, praktik curang kemenangan sebagai wahana kekuasaan, selanjutnya mempraktikan berbagai aktivitas, tindakan serta kebijakan politik culas, termasuk melakukan perubahan terhadap aturan hukum, undang-undang sebagai konstitusi untuk melindungi berbagai praktik culas atas nama kekuasaan politik tidak beretika-moral, rakyat hanya objek kekuasaan dibuat miskin struktural, ketergantungan dan terjajah oleh pemimpinnya.

Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PEARC-Aceh

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE