Peluang Baru Anti KKN Bagi Jokowi

  • Bagikan

Semua laporan ke KPK itu seyogyanyalah mendorong Jokowi mengerahkan semua kemampuannya untuk menyelamatkan Indonesia dari korupsi. Ini peluang baru anti KKN

Seorang dosen Indonesia melaporkan kedua putera Joko Widodo ke KPK (https://news.detik.com/berita/d-5899729/laporkan-kaesang-gibran-ke-kpk-ubedillah-dapat-ancaman-dan-teror). Sebelumnya Anis, Ahok dan Ganjar Pranowo juga diklaporkan (https://depok.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-093419133/anies-ahok-ganjar-kompak-dilaporkan-ke-kpk-refly-harun-bagus-juga-untuk-tes-mereka-bersih-atau-tidak).

Sebelumnya lagi Luhut Binsar Panjaitan dan Eric Tohir (https://nasional.tempo.co/read/1524713/luhut-dan-erick-thohir-dilaporkan-ke-kpk).

Tulisan ini tidak membahas semua laporan itu melainkan berusaha memposisikannya sebagai motivasi bagi Presiden RI Joko Widodo mengevaluasi kinerja pemberantasan korupsi.

Diketahui delik korupsi terdapat dalam KUHP yang diberlakukan sejak 1 Januari 1918.

Kodifikasi dan unifikasi hukum warisan Belanda ini diundangkan (Staatblad 1915 Nomor 752) berdasarkan KB 15 Oktober 1915. Rujukan yang disadur dari Wetboek van Strafrecht Nederland 1881 inilah yang banyak diadopsi oleh pembuat regulasi pemberantasan korupsi di Indonesia (http://akperrsdustira.ac.id/wp-content/uploads/2017/07/Buku-Pendidikan-Anti-Korupsi-untuk-Perguruan-Tinggi-2017-bagian-3.pdf).

Karena itu sebetulnya tradisi besar korupsi Indonesia sudah bersejarah panjang. Upaya melawannya menunjukkan banyak hal yang cukup menggelikan. Apalagi jika ditilik dari banyaknya regulasi tanpa hasil. Seolah mentalitas Indonesia begitu mempercayai “macan kertas” (UU tanpa motivasi sungguh-sungguh dalam pelaksanaan).

Kaya Regulasi, Hasil Tak Seberapa

Untuk sekadar menggambarkan kisah Indonesia dan tradisi besar korupsi ini, eloklah dilakukan telaah pintas atas politik hukumnya. Mungkin tidak lengkap, namun sekadar menujukkan berbagai regulasi yang pernah dipercaya menyelamatkan Indonesia dari bahaya tradisi besar korupsi ini, diharapkan cukup memadai.

Soekarno bergerak akhir 1950-an dengan UU Keadaan Bahaya yang ditindaklanjuti dengan pembentukan Panitia Retooling Apartur Negara (Paran) yang personalnya hanya terdiri dari satu ketua dan dua anggota.

Ringkih, dan memang segera sirna. Mungkin setelah kesadaran nasional muncul. Bahwa pemberantasan korupsi yang langsung dikendalikan oleh Presiden itu dianggap bertentangan dengan kewenangannya sendiri. Terutama karena dipandang sangat masuk akal jika kewenangan itu akan dikapitalisasi memenjarakan musuh-musuh politik.

Tahun 1963 Soekarno menerbitkan Kepres No. 275 dan lahirlah Operasi Budhi (OB). OB berusaha menjerat perusahaan dan lembaga negara yang melakukan korupsi dan berhasil menyelamatkan uang negara Rp 11 milyar pada awal masa kerjanya. Tetapi kemudian dibubarkan.

Konon ketika akan menjerat Direktur Pertamina. OB pun digantikan oleh Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (Kontrar). Tidak ada audit yang jelas ketika kemudian Kontrar dibubarkan seiring jatuhnya Soekarno.

Dengan mengeritik keras kegagalan Soekarno, Soeharto, tanggal 16 Agustus 1967, membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). TPK yang diketuai oleh Jaksa Agung ini gagal. Lalu digelarlah Operasi Tertib (Opstib) pemberantasan korupsi. Lagi-lagi gagal.

Dari sejumlah tuduhan yang efektif mengkonsolidasikan perlawanan terhadap Soeharto pada pertengahan 1998 adalah tuntutan pembebasan Indonesia dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Isu ini berhasil menjadikan Soeharto semacam common enemy.

TAP MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terbit sebagai jawabannya. Ini disusul dengan TAP MPR VIII/2001 tentang arah kebijakan pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Merujuk pada kedua TAP MPR di atas, Presiden BJ Habibie menerbitkan UU No. 28 Tahun 1999. UU tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN ini diikuti pembentukan lembaga anti korupsi Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan Ombudsman.

Rakyat bebas menilai setelah sekian lama, apakah lembaga-lembaga itu sudah menunjukan kinerja eliminasi korupsi. Masih harus dinanti apakah akan hanya menjadi asesoris anti korupsi dalam alam demokrasi yang semangatnya jelas tak berkehendak anti korupsi.

Tahun 2000 Gus Dur menerbitkan PP No. 19 Tahun 2000 untuk pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tetapi segera dibubarkan dengan alasan bertentangan dengan UU yang sudah ada.

Pada pasal 43 ayat (1) UU No 31 Tahun 1999 disebut “dalam waktu paling lambat dua tahun sejak UU ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” Setelah mengubah UU No 31 Tahun 1999 dengan UU No 20 Tahun 2001, dengan merujuk pasal 43 UU No 31 Tahun 1999, Presiden Megawati menerbitkan UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK dan melebur KPKPN ke dalamnya.

Presiden SBY menerbitkan UU 6/2007 untuk memenuhi United Nations Convention Against Corruption (UN CAC) yang diratifikasi tahun 2003. Sebetulnya ada kecanggungan serius. Pendefinisian korupsi oleh UN CAC jauh lebih luas daripada ketentuan pada UU 31/1999 jo 20/2001. UN CAC memasukkan korupsi pihak swasta, namun, kalau tak salah, tidak ada peraturan di bawah UU yang mengatur pelaksanaan UN CAC di Indonesia.

Era Jokowi

Tahun 2019 Indonesia berpro-kontra sekaitan revisi UU KPK. Waktu itu KPK menegaskan tak kurang dari 26 materi yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (24/9/2019).

Dengan memperbandingkan sejumlah kewenangan sesuai revisi (UU Nomor 30 Tahun 2002), dari Juru Bicara KPK diperoleh rincian materi pelemahan (https://nasional.kompas.com/read/2019/09/25/10382471/ini-26-poin-dari-uu-kpk-hasil-revisi-yang-berisiko-melemahkan-kpk?page=all) di antaranya tentang kadar Independensi, KPK kini berubah menjadi lembaga negara pada rumpun eksekutif.

Posisi Pimpinan KPK sebagai penanggungjawab tertinggi dihapus. Pimpinan KPK bukan lagi Penyidik dan Penuntut Umum. Ini beresiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas Penindakan. Penyelidik tidak lagi dapat mengajukan pelarangan ke luar negeri yang beresiko untuk kejahatan korupsi lintas negara.

Penyadapan tidak lagi dapat dilakukan pada tahap penuntutan. Ada pasal beresiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT selain risiko kriminalisasi terkait penyadapan. Ketentuan pemusnahan seketika penyadapan yang tidak terkait perkara tidak jelas indikatornya.

Ada risiko Penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN. Berkurangnya kewenangan penuntutan karena harus berkoordinasi dengan pihak terkait, tapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.

Jangka waktu SP3 selama 2 tahun akan menyulitkan penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara. Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan. Sanksi tegas terhadap Penyelenggara negara yang tidak melaporkan LHKPN tetap tidak diatur. Kewenangan KPK melakukan Supervisi dikurangi.

Pantauan Dunia

Selama pemerintahan Jokowi (2015-2020) indeks persepsi korupsi Indonesia belum pernah beroleh catatan mengagumkan. Pada 2019 skor 40 menjadi yang tertinggi selama kurun itu. Berdasarkan laporan tahunan ini, teman sekelas Indonesia dalam tradisi besar kekorupsian ini terus berganti di antara negara-negara yang umumnya masih dikategorikan sebagai negara kurang berkembang.

Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2015-2020

NO

Tahun

Skor

Urutan

Negara dengan skor dan posisi yang sama dengan Indonesia

1

2015

36

88/168

Suriname, Maroko, Peru, Albania, Algeria, Mesir.

2

2016

37

90/176

Maroko, Kolombia, Kaledonia Utara, Liberia,

3

2017

37

96/180

Kolombia, Panama, Thailand, Peru, Brazil, Zambia.

4

2018

38

89/180

Sri Lanka, Bosnia Herzegovina, Eswatini.

5

2019

40

85/180

Burkino Faso, Lesotho, Trinidad and Tobago, Kuwait, Guyana.

6

2020

37

102/180

Gambia.

Sumber: https://www.transparency.org/en/end-corruption

Negara-negara terkategori doyan dan terus menjadikan korupsi sebagai tradisi besar pemerintahan teman sekelas Indonesia itu ialah Suriname, Maroko, Peru, Albania, Algeria, Mesir (2015). Maroko, Kolombia, Kaledonia Utara, Liberia (2016). Kolombia, Panama, Thailand, Peru, Brazil, Zambia (2017). Sri Lanka, Bosnia Herzegovina, Eswatini (2018). Burkino Faso, Lesotho, Trinidad and Tobago, Kuwait, Guyana (2019), dan Gambia (2020).

Transparancy International terus membangun pengakuan moral, legitimasi hukum dan kapasitas teknis untuk terus memintai pertanggungjawaban atas terjadinya korupsi. Lembaga internasional ini antara lain mengekspos sistem dan jaringan yang memungkinkan korupsi itu terjadi dalam lingkup lokal dan global, membangun dunia yang bebas korupsi sebagai perjuangan untuk keadilan sosial dan ekonomi, hak asasi manusia, perdamaian dan keamanan.

Penutup

To end corruption, kata Tranparancy International, we promote transparency, accountability and integrity at all levels and across all sectors of society. Semua orang tahu korupsi tak baik. Bejat.

Karena itu sebetulnya terlalu naif menyerahkan urusan ini kepada dinamika politik hukum dan pendekatan kelembagaan yang menunjukkan kemubazziran yang tanpa intergitas, akuntabilitas dan transparansi.

Lembaga ini memiliki 90 lebih Pusat Advokasi dan Kepanasihatan Hukum (ALAC) di 60 negara. Mereka mendorong dan mendukung orang untuk melaporkan korupsi dengan aman, mengakses informasi publik dan menuntut lembaga pemerintah agar terus melakukan perbaikan agar lebih transparan, responsif, dan akuntabel.

Menurut Delia Ferreira Rubio, pemimpin Transparansi Internasional, ketidakpedulian masyarakat adalah tempat terbaik berkembang biaknya korupsi. Hanya dengan bekerjasama dimungkinkan berharap untuk mengakhiri impunitas korupsi dan koruptor.

Semua laporan ke KPK itu seyogyanyalah mendorong Jokowi mengerahkan semua kemampuannya untuk menyelamatkan Indonesia dari korupsi. Ini peluang baru anti KKN. WASPADA

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).

  • Bagikan