Oleh Taufiq Abdul Rahim
Prinsip dasar kehidupan manusia adalah, kemerdekaan adalah segala bangsa, karena itu penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan, ini menjadi landasan inspirasi dalam pembuka undang-undang dasar. Kemudian pada dasarnya sebuah negara memiliki rakyatnya, sehingga konsep kemerdekaan sebuah negara adalah, rakyatnya terbebas dari cengkeraman kekuasaan pihak lainnya, negara lain serta kelompok yang berkuasa terhadap suatu negara.
Karena itu, konsep kenegaraan merdeka yaitu terbebas, terlepas, tidak terbelenggu dari kekuasaan, perintah, dominasi serta kekuasaan diluar kekuasaan dan kedaulatan yang dimiliki oleh rakyatnya sendiri, dalam menentukan masa depan serta berbagai kebijakan politiknya. Sehingga dalam pembukaan undang-undang dasar negara dan menjadi jargon kemerdekaan universal negara di seluruh dunia adalah, “kemerdekaan adalah hak segala bangsa, karena itu penjajahan di atas muka bumi harus dihapuskan”.
Berdasarkan kepada kata merdeka, yaitu kehidupan seseorang, sekelompok orang atau masyarakat/rakyat yang terbebas dari donimasi, tekanan, penjajahan dari pihak lainnya. Dengan demikian, konsep kemerdekaan di seluruh muka bumi sangat ditentukan oleh keinginan individu, kelompok serta rakyat yang mendiami tanah tempatanya, yang didudukinya serta yang didiaminya. Sehingga aktivitas kehidupannya berkembang sesuai dengan tahapan, kapasitas serta kemampuan secara holistic yang dimiliki, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Demikian juga, segala sesuatu yang berkaitan dengan mengatur kehidupan, menentukan masa depan yang berkenaan dengan berbagai kebijakan kehidupan kemasyarakatan menjadi tanggung jawab Bersama. Bahkan mesti mendapatkan pengakuan secara politis dari pihak lainnya. Maka itu konsep kemerdekaan negara, ini memiliki struktur kepemimpinan yang diatur seleras dengan ketentuan undang-undang, aturan serta ketentuan yang dibuat, disahkan serta dilaksanakan secara bersama pada suatu negara.
Selanjutnya negara merdeka memiliki prinsip yaitu, kekuasaan dan kedaulatannya secara modern dan dermokratis diatas seluruh pundak rakyatnya, sehingga rakyat berhak menentukan pemimpinnya sesuaia dengan kesepakatan serta kesepahaman rakyatnya. Dalam hal ini, pendapat Aristoteles (Schmandt, 2002), negara adalah komunitas keluarga dan kumpulan keluarga yang sejahtera demi kehidupan yang sempurna dan berkecukupan. Demikian juga Jean Bodin (1530–1596), negara sebagai pemerintahan yang tertata dengan baik dari beberapa keluarga serta kepentingan bersama mereka oleh kekuasaan berdaulat. Kemudian Riger Soltau, (1951), negara adalah alat atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama masyarakat. Dalam hal ini pula, Robert M. Mac Iver (1926), negara adalah asosiasa yang menyelenggarakan penertiban dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum diselenggarakan oleh pemerintah diberi kekuasaan memaksa. Sehingga negara memiliki irisan yang sangat kuat antara kekuasaan dan kedaulatan dalam pengelolaan, mengurus berdasarkan aturan hukum dan undang-undang terhadap usaha mengurus rakyatnya.
Dengan demikian negara adalah, dalam epistimoli Bahasa Latin menyebut kedaulatan suprenus, Inggris menyebutnya sovereignty, Perancis menyebutnya “soiuverainete”; Belanda menyebutnya “souvereyn”; dan orang Italia menyebutnya “sperenus”, yang artinya unggul. DEmikian juga dalam istilah kedaulatan berasal dari bahasa arab, ‘dal’, ‘ya ul’, ‘a lat n’, atau dalam bentuk jamak uw l’, yang aslinya berarti mengubah atau memodifikasi. Karena itu, menjadi berdaulat berarti memiliki kekuasaan. Maka, salah satu cara untuk melihat kedaulatan linguistik adalah sebagai kekuatan suatu entitas politik tunggal dalam mengelola negara. Sehingga adanya pengertian kekuasaan mutlak dalam suatu negara dikenal dengan kedaulatan. Thomas Hobbes (1651), seorang filsuf politik terkenal yang hidup pada abad ke-17, mengembangkan teori kedaulatan negara dalam karyanya yang terkenal, “Leviathan”. Selanjutnya menurut Hobbes, manusia hidup dalam kondisi alamiah yang keras, brutal, dan konflik karena persaingan sumber daya dan kekuasaan, untuk mengatasi kekacauan ini, manusia membentuk pemerintahan dan mendirikan negara. Maka menyatakan bahwa individu-individu bersedia menyerahkan sebagian besar kebebasan mereka kepada pemerintah (negara) melalui suatu kontrak sosial.
Dalam pemahaman analisis politik bahwa kontrak ini, secara rasional individu-individu yang setuju untuk mematuhi aturan dan hukum negara agar mendapatkan perlindungan dan keamanan. Dengan demikian, pemerintah sebagai pengelola negara memiliki kedaulatan yang mutlak untuk menjaga ketertiban dan melindungi warga-negara dari ancaman internal dan eksternal secara bertanggung jawab. Sehingga kedaulatan negara sesungguhnya adalah, hasil dari kesepakatan sukarela antara individu untuk dan masyarakat terhadap usaha menciptakan pemerintahan yang kuat, juga dapat mengendalikan konflik dan menjaga ketertiban sosial, stabilitas, damai serta harmonis menuju kesejahteraan yang lebih baik. Dengan kata lain, negara memiliki kekuasaan tertinggi (kedaulatan) karena diberikan oleh rakyat melalui kontrak sosial untuk menjaga perdamaian dan keadilan di masyarakat lebih baik makmur dan sejahtera. Apabila dalam praktik berlaku absolutisme negara lahir dari pandangan ini, dan teori kontrak negara melayani untuk memperkuatnya, maka secara konsiten dengan pemimpin elite politik yang tidak berasosiasi dengan kelompok kepentingan yang menjadi pressure of power bekerjasama dengan oligarki, mafia dan yang melakukan praktik abused of power.
Penulis adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.