Mulutmu Harimaumu

  • Bagikan
<strong>Mulutmu Harimaumu</strong>

Belakangan Beliau melarang ibu-ibu untuk pengajian, seolah pengajian adalah hal negatif yang harus dihindari. Padahal dalam Islam ada beberapa fadilah dan keutamaan majlis ilmu antara lain mendapatkan ketenangan, rahmat dan dimuliakan para malaikat, amalnya tercatat di ‘Illiyyin, dicatat sebagai orang yang shalat hingga kembali ke rumah masing–masing, termasuk jihad fi sabilillah, dan dimudahkan jalannya menuju Surga

            Kita pernah terkaget-kaget dengan tingkah laku seorang pejabat daerah yang belakangan menjadi seorang anggota kabinet di pemerintahan sekarang ini. Betapa tidak, setiap ke daerah Beliau sering marah-marah dengan siapa saja yang menyanggah, mengajukan pertanyaan, yang sekedar memberikan komentar kepadanya, ataupun pejabat daerah yang dianggapnya tidak memuaskannya. Kadang-kadang komentar yang dibahas sesungguhnya tidak substansial, tapi bisa berakhir dengan adu mulut yang menjadi tontonan dan viral ke seluruh pelosok negeri.

Sosok ini sering juga spontan bersujud sebagai respons dari apa yang didengar atau dilihatnya. Sikap sujud ini kadang terlihat “lebay” atau berlebihan, tidak pada tempatnya, dan terkesan dibuat-buat untuk sekedar pencitraan. Baru-baru ini, kita melihat beliau bersujud kepada seorang guru tunanetra di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB). Kita tidak tahu apa substansinya sujud tersebut dan apa tujuannya ditengah-tengah adu argumen dengan pihak sekolah, beliau bersujud namun sesudahnya marah-marah Kembali. Pantas saja sang guru tersebut mengatakan bahwa sujud yang dilakukan hanya sekedar pencitraan.

            Aksi bersujud kepada manusia ini bukan hanya pertama kali dilakukan, tahun 2018 juga pernah dilakukan saat ucapannya menyinggung perasaan salah seorang takmir masjid, yang mengatakan bahwa profesi takmir masjid adalah suatu kesalahan. Sang tokoh saat itu langsung turun dari podium dan meminta maaf sembari terisak serta aksi sujud. Aksi sujud juga pernah dilakukan entah kepada siapa bersujudnya, tapi yang jelas beliau bersujud di depan anggota organisasi profesi dokter sebagai permintaan maafnya karena tak bisa memenuhi permintaan dokter dan saat itu para dokter protes karena banyaknya masyarakat di daerahnya yang tak mentaati protokol kesehatan.

Aksi sujud juga pernah dilakukan sang tokoh di depan sebuah perusahaan otomotif sebagai wujud terima kasih karena perusahaan tersebut bersedia membuka kesempatan kepada anak-anak putus sekolah untuk magang di perusahaan tersebut. Semua aksi sujud tersebut kesannya sama, yaitu tanpa makna, berlebihan, tidak tahu sujud kepada siapa, dan terkesan pencitraan. Pantas saja tokoh ini dikenal sebagai tokoh pencitraan disamping tokoh yang suka marah-marah dan sering beradu mulut jika berkunjung ke berbagai daerah.

            Aksi lain yang menimbulkan kesan pencitraan adalah gayanya yang langsung turun mengerjakan pekerjaan yang tidak semestinya dilakukan, seperti menyapu jalan, ikut memadamkan kebakaran, mengatur lalu lintas, memungut sampah, ikut memasak di dapur umum, menemui gelandangan dan pemulung, atau pekerjaan ringan lainnya yang sesungguhnya terlalu remeh untuk dilakukan seorang anggota kabinet atau penguasa daerah dan sudah ada petugas yang melakukannya. Lucunya lagi sang tokoh melakukannya disaksikan oleh bawahannya, bahkan ada yang dilakukan di tengah turunnya hujan, atau pada suasana yang memang tidak semestinya pekerjaan tersebut dilakukan.

            Lain lagi dengan polah bekas pemimpin kita yang sampai sekarang masih bertengger di puncak pimpinan partai. Entah karena faktor umur yang sudah sepuh, entah karena susah mengontrol ucapannya, entah karena masyarakat umum yang keliru menangkap pesan tersembunyi dari apa yang diucapkan, atau mungkin kita yang salah dalam memahaminya. Hanya saja, belakangan ini ibu kita ini semakin sering mengagetkan orang dengan “celetukannya” yang kadang bisa dianggap tidak etis, merendahkan orang secara fisik, menuding perbuatan yang sesungguhnya postif sebagai sesuatu yang negatif, serta sering menyampaikan pernyataan tanpa dasar serta sangat subjektif.

Belakangan Beliau melarang ibu-ibu untuk pengajian, seolah-olah pengajian adalah hal negatif yang harus dihindari, padahal dalam agama Islam ada beberapa fadilah dan keutamaan majlis ilmu antara lain adalah mendapatkan ketenangan, rahmat dan dimuliakan para malaikat, amalnya tercatat di ‘Illiyyin, dicatat sebagai orang yang salat hingga kembali ke rumah masing–masing, termasuk jihad fi sabilillah, dan dimudahkan jalannya menuju Surga. Jadi ucapan Beliau tersebut sangat tidak tepat, keliru, dan kontra produktif terhadap pembinaan umat, keluarga, dan rumah tangga. Seorang komentator malah menyarankan, beliau lebih baik menghimbau ibu-ibu yang “kurang kerjaan”, yang suka “gelayapan” dan kumpul-kumpul tapi tidak produktif seperti di tempat-tempat hiduran dan pusat keramaian, daripada melarang ibu-ibu datang ke pengajian.

          Belum lama ini juga, beliau pernah menyatakan bahwa beliau tidak ingin cucunya kawin dengan orang yang pendek dan orang yang jelek. Ucapan ini juga tidak semestinya keluar dari seorang pemimpin apalagi pimpinan sebuah lembaga ilmiah dan riset. Statement ini jauh dari nuansa cerdas yang menilai manusia dari fisiknya, padahal sangat jelas bahwa kualitas manusia dilihat dari prestasinya, gagasannya, kreasinya, inovasinya, pola pikirnya, kompetensinya, kapabilitasnya, integritasnya, moralnya, etikanya, kemampuannya berkomunikasi, kemampuannya memimpin, kecerdasannya, dan lain sebagainya yang lebih objektif dan substansial dalam menilai kualitas seseorang.

Dalam agama sendiri sebagaimana bunyi sebuah hadis bahwa Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kita, akan tetapi Allah melihat dari hati dan amalan kita. Beberapa tahun sebelumnya, betapa ibu ini pernah dengan nada merendahkan tukang bakso yang mengingatkan anak-anaknya agar tak menikah dengan sosok yang mirip dengan tukang bakso. Pernyataan yang lebih menonjolkan fisik ini juga beliau sebutkan tentang diri beliau bahwa beliau adalah perempuan cantik, kharismatik, sambil memuji diri sendiri sebagai pintar, pejuang, dan mengklaim anak presiden yang lahir di istana. Memang mungkin sebagian yang dikatakan tersebut ada benarnya, tapi dalam era modern ini, sebaiknya yang ditonjolkan adalah kualitas pribadi yang menyangkut kompetensi, kapabilitas, kapasitas, dan integritas sebagaimana disinggung sebelumnya.

Sebetulnya kelakar-kelakar Beliau terhadap presiden, meskipun dengan gaya bercanda tapi terkesan merendahkan presiden, seperti petugas partai padahal jika partainya tidak ada, entah bagaimana nasibnya, kasihan presiden sampai kurus. Ungkapan-ungkapan yang jauh dari cerdas tersebut tidak terkesan sebagai orang yang memiliki dua gelar professor dan sembilan doktor, apalagi beliau sangat membanggakan gelar tersebut dan mengatakan akan ada 5 gelar doktor lagi yang sedang ditunggu. Terlepas dari proses mendapatkan gelar dan wajar tidaknya gelar tersebut, rasanya gelar yang dimiliki berkorelasi positif dengan cara bicara dan apa yang dibicarakan.

            Ada lagi sosok pemimpin yang juga mengedepankan fisik, yang menyebutkan bahwa ciri-ciri pemimpin yang memikirkan rakyat dilihat dari warna rambutnya yang putih dan kerut di mukanya. Tentu pernyataan ini juga sangat bertentangan dengan akal sehat, bahwa ciri-ciri pemimpin bukan pada bentuk fisiknya tapi terletak pada karakter kepemimpinan yang kuat sebagai pemimpin, punya visi dan misi yang jelas, mampu menggiring tanpa paksaan, efektif dan efisien dalam berkomunikasi, sukses membangun kerjasama, dan mampu melestarikan kesuksesan.

            Ada lagi yang potensi berisiko dari beliau yang beredar di media massa, yaitu yang meminta relawan harus berani jika diajak berantem, persisnya beliau berucap, “Tidak usah suka mencela, tidak usah suka menjelekkan orang lain, tapi kalau diajak berantem juga berani. Kalimat ini bisa dimaknai sebagai ajakan untuk adu fisik, mengajak kepada kekerasan, atau main hakim sendiri, sesuatu yang bertentangan dengan perilaku beradab dan bertentangan dengan hukum yang berlaku, kecuali tentunya yang dimaksud bukan berantem secara fisik.

            Namun tentu tidak semua memahaminya demikian, apalagi beliau sebelumnya juga pernah menyebutkan perkataan yang terkait dengan ungkapan kekerasan seperti ancaman “gebuk” dan “tabok” kepada yang menuduh beliau terkait organisasi terlarang yang pernah ada. Pernah juga suatu ketika beliau merendahkan politisi yang sering memberikan kritikan kepada beliau sebagai politisi “sontoloyo”, serta pernah juga menyebut para politisi yang tidak sebarisan dengan beliau sebagaipolitik “gendoruwo”.

            Lain lagi ceritanya dengan ucapan-ucapan kontroversial dari salah seorang anggota kabinet yang lain yang pernah seakan menganalogkan suara adzan dengan suara gonggongan anjing saat mengomentari toa masjid, sesuatu analogi yang sangat tidak patut. Beliau juga pernah menyebutkan pikirannya blank saat memberikan sambutan akibat mendengar seorang rektor yang terus-menerus melantunkan bacaan zikir. Beliau sendiri mengatakan bahwa zikir itu merusak konsentrasinya, tentu saja bisa disimpulkan bahwa lantunan zikir tersebut telah menganggunya, sesuatu yang lucu bagiseorang yang memimpin kementerian terkait dengan perilaku, moral, dan ketaatan terhadap Tuhan.

            Kontroversi sang tokoh tidak cukup sampai di sini, beliau juga pernah membuat pernyataan bahwa Baha’iyah merupakan sebuah agama tersendiri dan tidak terikat pada suatu agama apapun, atas dasar hal tersebutlah beliau menyampaikan ucapan Selamat Hari Raya untuk agama tersebut yang pada saat itu mendapatkan reaksi yang keras dari tokoh-tokoh agama, karena agama tersebut dianggap sebagai salah satu aliran sesat di Indonesia.

          Sang Menteri pernah melontarkan pernyataan yang bisa dianggap sebagai adu domba antar organisasi keagamaan yaitu Kementerian Agama adalah hadiah negara untuk organisasi keagamaan tertentu, bukan untuk umat Islam secara umum, sehingga beliau mengatakan wajar kalau sekarang organisasi dimana beliau bernaung memanfaatkan banyak peluang yang ada di Kementerian Agama karena merupakan hadiahnya kepada mereka. Padahal sesungguhnya Kementerian Agama ditujukan untuk semua agama, bukan organisasi tertentu, bukan pula untuk agama tertentu saja.

            Apa yang diungkap di atas mengenai pernyataan-pernyataan “nyeleneh” dan “kontroversial” menunjukkan betapa buruknyakomunikasi sejumlah pejabat publik dan elit kita, yang bisa saja menunjukkan apa sesungguhnya yang ada di benak dan hatinya, kemampuan komunikasi yang kurang, wawasan dan pengetahuan yang kurang, kurangnya kehati-hatian, gaya bicara yang tidak utuh dan tidak tuntas, atau mungkin karena ingin menunjukkan kebolehannya, namun justru yang nampak adalah kekurangannya.

            Namun yang pasti, kita bisa katakan bahwa apa yang diucapkan adalah cerminan dari orang yang mengucapkannya. Jadi jika ingin menilai seseorang, dengar dan perhatikanlah apa yang dia ucapkan. Jika sering mengucapkan hal-hal yang “ngawur” dipastikan orangnya “ngawur”, jika yang sering diucapkan membuat “rusuh”, bisa dipastikan orangnya adalah pembuat “rusuh”, jika yang sering diucapkan sering keliru, maka yang mengucapkannya juga sering berbuat keliru, sebaliknya kalimat baiklah yang keluar dari mulut orang baik, kata-kata sejuklah yang keluar dari orang yang berpikir sejuk, kata-kata santunlah yang akan keluar dari orang-orang santun. Jadi para tokoh, para elit, para pemimpin, berhati-hatiah dalam berbicara dan membuat pernyataan. Ingat, mulutmu harimaumu!

Penulis adalah Rektor Institut Bisnis IT&B Dan Ketua Program Doktor Ilmu Pertanian UMA.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>Mulutmu Harimaumu</strong>

<strong>Mulutmu Harimaumu</strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *