Oleh Shohibul Anshor Siregar
Tidak semua gerakan keagamaan yang didorong oleh millennialisme memiliki aspirasi politik. Beberapa gerakan mungkin lebih fokus pada dimensi spiritual dan transformasi pribadi daripada mencoba mengubah struktur politik…
Modernity, Millennialism, and Religious Movement adalah salah satu sub-topik Seminar Islamic History and Heritage: Remembering the Past, Remaking the Future yang akan diselenggarakan dalam momentum 4th International Conference on Islamic Civilization (ICONIC) dan 9th International Conference On Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), oleh Universitas Islam Arraniry Banda Aceh, bekerjasama dengan para pihak, tanggal 23-24 Agustus 2023 mendatang.
Artikel ini bertolak dari pemikiran bahwa modernitas memang telah mempengaruhi perkembangan dan sekaligus memberikan sarana baru bagi penyebaran keyakinan millennialisme. Tak pelak, millennialisme sering menjadi elemen sentral dalam gerakan keagamaan, baik dalam bentuk aspirasi politik maupun fokus pada transformasi pribadi. Tidak sedikit studi kasus gerakan keagamaan menunjukkan bagaimana millennialisme dan aspirasi politik dapat saling terkait dalam konteks modernitas.
Gerakan keagamaan berfokus pada praktik, keyakinan, dan nilai-nilai keagamaan yang beroleh perhatian besar di antara para ahli meliputi berbagai bidang studi seperti sosiologi agama, antropologi agama, studi agama, dan studi gerakan sosial (Berger, 1990; Geertz, 1973; Robbins & Palmer (Eds.), 2017). Peran agama dalam masyarakat, menurut Weber, memang dapat mempengaruhi tindakan kolektif dan pembentukan gerakan keagamaan (The Sociology of Religion, 1993).
Milenialisme adalah sebuah konsep yang berakar kuat pada keyakinan agama dan budaya, yang memainkan peran penting dalam membentuk masyarakat sepanjang sejarah. Sifat milenialismenya memiliki banyak sisi, visi apokaliptik, misi keagamaan, dan aspirasi politiknya (Landes, 2011; Cohn, 1993; Barkun, 2003). Hans-Lukas Kieser, Francisco Nemenzo, dan Michael Adas, misalnya, secara umum menggambarkan manifestasi historis dan kontemporer dari milenialisme dan dampaknya pada berbagai masyarakat.
Visi apokaliptik adalah komponen utama dari gerakan milenialisme yang sering kali berkisar pada keyakinan akan kekhawatiran bencana besar yang akan segera terjadi yang akan membawa akhir dunia atau transformasi masyarakat yang signifikan. Karya Hans-Lukas Kieser (Nearest East: American Millenialism and Mission to the Middle East, 2010) tentang milenialisme pada akhir Kekaisaran Ottoman memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana keyakinan apokaliptik memicu gerakan politik dan sosial selama periode ini. Studi kasus seperti Turki Muda dan aspirasi mesianis mereka untuk tatanan baru, serta Genosida Armenia dan hubungannya dengan ideologi milenialis, dapat dikedepankan mewakili kasus serupa.
Misi keagamaan telah menjadi kekuatan pendorong di balik banyak gerakan milenialis. Penelitian Francisco Nemenzo (The Millenarian-Populist Aspects of Filipino Marxism, 1999) menyoroti bagaimana para pemimpin agama dan tokoh-tokoh karismatik telah memobilisasi para pengikutnya untuk misi-misi transformatif. Eksplorasi contoh-contoh seperti Revolusi Filipina yang dipimpin oleh Andres Bonifacio, yang dijiwai oleh semangat milenialisme, serta gerakan keagamaan kontemporer seperti Iglesia ni Cristo dan misi mereka untuk membangun masyarakat utopia, sangat menarik sebagai perbandingan.
Milenialisme sering kali bersinggungan dengan aspirasi politik, ketika individu dan kelompok berusaha mewujudkan perubahan sosial dan politik yang radikal. Karya Michael Adas (Prophets of Rebellion: Millenarian Protest Movements Against the European Colonial Order, 1989) memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana penduduk yang terjajah menggunakan ideologi milenialis untuk melawan dominasi kekaisaran. Studi kasus seperti Pemberontakan Boxer di Cina dan pemberontakan Mau Mau di Kenya, mengeksplorasi bagaimana keyakinan milenialis memicu gerakan anti-kolonial dan membentuk tujuan politik mereka, sangat berharga.
Kedua pemberontakan ini adalah contoh gerakan anti-kolonial yang melibatkan elemen keyakinan milenialis. Pemberontakan-pemberontakan ini dapat dilihat sebagai perjuangan politik yang dipicu oleh keyakinan akan perubahan signifikan di masa depan dan kembalinya kejayaan masyarakat mereka. Mereka percaya bahwa melalui kekerasan dan perjuangan bersenjata, mereka akan mengusir penjajah dan mendirikan sebuah negara yang bebas (Spence, 1991; Anderson, 2005).
Modernitas, dengan segala perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang dibawanya, serta-merta memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan millennialisme. Millennialisme sering kali muncul sebagai respons terhadap ketidakpuasan atas kondisi dunia modern yang kompleks dan tidak stabil. Keyakinan akan akhir zaman atau perubahan drastis menjadi semacam pelarian dari realitas yang sulit dipahami dan dikendalikan (Huntington, 1996; Jenkins, 2002; Berger, 1991).
Selain itu, modernitas juga telah memberikan sarana baru bagi penyebaran ide-ide millennialisme. Kemajuan teknologi komunikasi seperti internet dan media sosial telah memungkinkan penyebaran keyakinan millennialisme secara lebih luas dan cepat sebagaimana Castells (2010), Campbell (2012) dan Hjarvard (2008) meyakininya. Hal ini telah memperkuat dan memperluas jangkauan gerakan-gerakan millennialis, serta memberikan platform untuk mengorganisir aksi-aksi mereka.
Millennialisme sering kali menjadi elemen sentral dalam gerakan keagamaan. Keyakinan akan akhir zaman atau perubahan signifikan di masa depan sering kali menjadi motivasi utama bagi anggota gerakan keagamaan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu. Misalnya, beberapa gerakan keagamaan memiliki misi untuk menyebarkan agama mereka secara global sebagai persiapan untuk kedatangan akhir zaman (Berger, 2011; Festinger, Riecken & Schachter, 2016; Robbins & Palmer (Eds.), 2017).
Namun, tidak semua gerakan keagamaan yang didorong oleh millennialisme memiliki aspirasi politik. Beberapa gerakan mungkin lebih fokus pada dimensi spiritual dan transformasi pribadi daripada mencoba mengubah struktur politik, meski ada juga gerakan keagamaan yang memiliki aspirasi politik yang kuat dan berusaha untuk mempengaruhi kebijakan publik dan sistem politik (Stark & Bainbridge, 2016; Woodhead, Partridge & Kawanami (Eds.), 2016; Martin, 2017).
Menurut Stephen Gaukroger (Emergence of a Scientific Culture: Science and the Shaping of Modernity 1210-1685) ilmu pengetahuan dan budaya ilmiah yang berkembang sebagai komponen penting dalam transformasi sosial dan intelektual adalah kekuatan yang membentuk modernitas.
Institusi ilmiah berperan penting, ide dan praktik ilmiah berkembang seiring waktu yang mendorong pergeseran paradigma dan aspirasi pengetahuan (Peter Dear, 2001, Revolutionizing the Sciences: European Knowledge and Its Ambitions, 1500-1700, 2001). Karya David C. Lindberg (The Beginnings of Western Science: The European Scientific Tradition in Philosophical, Religious, and Institutional Context, Prehistory to A.D. 1450, 1992) menegaskan konteks historis dan budaya ilmiah yang lebih luas. Faktor sosial, politik, dan budaya dalam pandangan Steven Shapin (The Scientific Revolution, 1996) begitu besar pengaruhnya terhadap revolusi ilmiah dan pergeseran paradigma pada periode Masa Modern.
Tetapi modernisasi sebagai hasil yang dituju menggerakkan percepatan sosial dan dinamika kekuasaan yang terus semakin tinggi (Hartmut Rosa, William E. Scheuerman, 2009, High-Speed Society – Social Acceleration, Power and Modernity) dengan dampak yang menyasar berbagai aspek kehidupan, termasuk teknologi, ekonomi, budaya, dan politik. Sekaligus mengubah sedemikian rupa cara berinteraksi, bekerja, berkomunikasi, serta menjalani kehidupan sehari-hari. Kekuasaan dan struktur sosial terlibat, dan selalu terbuka untuk pertanyaan kritis tentang konsekuensi sosial dan psikologis dari kehidupan yang semakin berkecepatan tinggi itu, serta potensi resistensi dan pengabaian atas alternatif.
Dampak transformasi sosial dan ekonomi modern pada kerusakan karakter dan konsekuensi personal dalam lingkungan kerja yang berkecepatan tinggi (Zygmunt Bauman, 2000, Liquid Modernity) merusak hubungan antarpribadi. Identitas terus berubah cepat yang, di tangan Paul Virilio (Speed and Politics: An Essay on Dromology, 1977), tergambarkan dengan teori “dromology” yang menyelidiki hubungan antara kecepatan, teknologi, dan politik dalam konteks modernitas.
Meski Durkheim mungkin lebih dikenal karena The Division of Labor in Society (1893), The Elementary Forms of Religious Life (1912), dan Suicide: A Study in Sociology (1897), tetapi ia tak mungkin diabaikan ketika menelaah tantangan integrasi sosial akibat perubahan signifikan dalam struktur sosial, nilai-nilai, dan norma-norma yang mendorong pergeseran moralitas. Masyarakat modern tetap membutuhkan moralitas kuat untuk mempertahankan integrasi sosial yang didasarkan pada kesadaran kolektif (Putnam, 2000; Taylor, 1989).
Konsekuensi modernitas yang sangat luas, termasuk perubahan sosial, identitas, dan pengaruh teknologi dalam masyarakat modern (Anthony Giddens, 1990, The Consequences of Modernity) adalah keniscayaan yang di dalamnya termasuk upaya mencapai otonomi individu dan kebenaran subjektif (Charles Taylor, 1992, The Ethics of Authenticity) yang tampaknya dimestikan oleh determinan kesalingketergantungan, ironi, dan solidaritas (Richard Rorty, 1989, Contingency, Irony, and Solidarity).
Tetapi hal yang selalu gagal dilakukan tentu saja pengakuan terhadap keragaman pandangan dan nilai-nilai dalam mencapai solidaritas sosial itu sendiri. Sekaitan dengan itu Paul Heelas, David Martin, dan Paul Morris (Religion and Spirituality in the Modern World Religion, Modernity and Postmodernity – Religion and Spirituality in the Modern World, 1998) menawarkan peran agama dalam membentuk identitas individu dan kolektif, karena ia yakin hal itu dapat memberikan arti dan tujuan dalam masyarakat modern yang kompleks.
Mengapa begitu? Modernisasi sebagaimana diterangkan Walt Rostow (Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto, 1960) adalah pembangunan ekonomi bertahap (tradisional, pra-kondisi lepas landas, lepas landas, pertumbuhan, dan tahap kematangan), yang bagi Marx (Das Kapital, 1867) tak lebih dari ajang konflik kelas (pemilik modal vs pekerja).
Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Koordinator Umum Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS).
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.