Moderasi Beragama, Merajut Kerukunan Dalam Bingkai Keragaman

  • Bagikan

BELAKANGAN istilah “intoleran, radikal, tidak moderat” kembali mencuat ke permukaan seiring dengan munculnya pemahaman dan tindakan keagamaan yang dianggap eksklusif. 

Hal itu tampak pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang memang melibatkan agama sebagai dalil argumentasi untuk megklaim kebenaran satu kelompok atau komunitas tertentu. 

Bahkan kasus yang terjadi diangkat sampai ke ranah hukum untuk saling menuntut keadilan, seperti kasus surat Al Maidah ayat 51, penyebutan kata kafir bagi non muslim, pengucapan selamat natal kepada umat Kristen dan lainnya.

Adapun dampak dari kasus-kasus ini yang paling terasa adalah terjadinya kehidupan yang tidak harmonis tidak hanya antar umat beragama tetapi juga sesama pemeluk agama. 

Tentu saja, kehidupan yang tidak harmonis ini bukan tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara, karena justeru dapat menghambat laju pertumbuhan dan kemajuan Indonesia. 

Sebab, perhatian dan kerja pemerintah yang seharusnya lebih fokus pada peningkatan kekuatan ekonomi, tersita untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di atas. 

Tentu persoalan di atas dilandasi oleh beberapa faktor. Setidaknya dua faktor utama pemicu. 

Pertama yaitu cara mempersepsi dan memahami doktrin dan ajaran agama yang diyakini, dan kedua mengukur kebenaran sesuatu dari kacamata atau persepsi diri sendiri. 

Untuk faktor pertama, sebagai contoh, dalam ajaran Islam ada ajaran tentang jihad. 

Adapun mengenai jihad ini sendiri ulama terjadi perbedaan dalam memahami ayat-ayat tentang jihad. Sayyid Qutb misalnya, memahami ayat jihad sebagai perang dengan mengangkat senjata terhadap semua kebatilan.

Sedangkan Sa’id Ramadhan Al Buthi melihat jihad sebagai suatu upaya sungguh-sungguh untuk berbuat baik dalam jalan Allah SWT, tidak serta merta berarti perang.

Untuk contoh faktor kedua pada penyebutan kata kafir untuk non Muslim. Mereka yang tidak menerima hal ini disebabkan karena menggunakan standar ukur dari kitab dan ajaran agamanya dan pemahamannya.

Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya clash, sehingga menimbulkan persoalan di masyarakat. 

Bagaimanapun juga, hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Karena tidak menutup kemungkinan jika inharmoni yang terjadi hari ini masih berada pada tataran argumentasi, tidak menutup kemungkinan menjadi physical war atau perang secara fisik. Tentu saja, ini akan merugikan kita semua sebagai anak bangsa. 

Dengan demikian, perlu adanya upaya serius dari semua elemen dan unsur bangsa ini untuk saling menahan diri dan merumuskan gagasan-gagasan mengembalikan kehidupan yang rukun dalam keragaman. Tidak hanya kerukunan agama, tetapi juga kerukunan dalam pendapat, pandangan, dan pemahaman. 

Pandangan Islam Tentang Keragaman Agama  

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin adalah agama yang mengajarkan perdamaian yang mendorong manusia untuk menciptakan hidup proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah.

Artinya bahwa Islam, sesuai dengan makna kata “Islam” itu sendiri adalah keselamatan. Di mana keselamatan itu bisa diraih salah satunya adalah dengan harmoni dan kerukunan. 

Adapun rahmatan yang dimaksud mencakup pada hal perbedaan baik agama maupun pandangan. Salah satu kisah yang sangat fenomenal tentang bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadap perbedaan termasuk berbeda keyakinan adalah tentang seorang pengemis Yahudi buta di sudut kota Madinah. 

Agama tidak menjadi penghalang Rasulullah Saw untuk menebar kasih sayang, perdamaian, dan toleransi. Tentu saja ini menunjukkan bahwa risalah Islam menghargai perbedaan dan tidak menjadikan perbedaan sebagai penghalang untuk menebar kebaikan.

Selain itu, cerminan toleransi Islam terhadap orang yang berbeda agama juga dapat dilihat dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari; 

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah bercerita kepada kami Jarīr, dari al-A‟masy, dari Ibrahīm, dari al-Aswad, dari Aisyah ra, ia berkata : Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi (Abu Syahm) dan menggadaikan baju perangnya kepada Yahudi tersebut”.(H.R. Bukhari).

Dapat dicermati dari hardis di atas bahwa Rasulullah melakukan interaksi dagang dengan non muslim.

Di sini, tidak ada larangan atau pemahaman bahwa tidak boleh melakukan jual beli dengan non muslim. Ini artinya bahwa Islam adalah agama yang toleran dan dapat bekerjasama dengan siapa saja, termasuk non muslim dalam hal sosial kemasyarakatan. 

Salah satu poin penting dalam ajaran Islam tentang perbedaan agama adalah bahwa tidak ada paksaan dalam memeluk Islam. Ini sebagaimana tertuang dalam Alquran surat Al Baqarah ayat 256;

Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus… (QS. al-Baqarah: 25)

Quraish Shihab dalam hal ini menjelaskan dalam tafsirnya, yang dimaksud dengan kalimat tidak ada paksaan dalam menganut agama adalah menganut akidahnya. Hal ini berarti jika seseorang telah memilih satu akidah, maka yang bersangkutan terikat dengan tuntutan-tuntutan di dalamnya. 

Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Beliau menjelaskan, agama Islam dinamai Islam yang berarti damai. Kedamaian tidak dapat diraih jika jiwa tidak damai. 

Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak boleh ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.

Adapun dalam hal pendapat, Islam juga menghargainya. Salah satu buktinya adalah hadis Nabi berikut; 

Dikisahkan, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah Saw berkata kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kamu salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka (sahabat) memasuki salat Ashar di tengah perjalanan. 

Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Ashar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka berkata, ‘Kami melaksanakan salat Ashar sebelum sampai di Bani Quraizhah’.

Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah SAW. Beliau Saw tidak menyalahkan satu pun dari mereka”. (HR. Al-Bukhari).

Dari riwayat ini bisa disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW menerima perbedaan pendapat para sahabat yang dengannya tidak terjadi konflik antarsahabat sendiri. 

Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, seorang ulama mazhab Syafii, menegaskan dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat.

Sebab,mmereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.

Dengan demikian, jelaslah bagaimana Islam memandang perbedaan baik itu perbedaan agama dan pendapat. Bahkan mereka yang tidak menerima Islam sebagai akidahnya tidak boleh dipaksa, apalagi diperangi dan dimusuhi. 

Gagasan Teoritis 

Pandangan Islam tentang perbedaan mengindikasikan bahwa Islam pada hakikatnya menghendaki perdamaian, toleransi dan kerukunan.

Adapun ayat-ayat yang berhubungan dengan peperangan adalah sebagai pertahanan karena umat Islam diserang pada waktu itu, bukan sebagai penyerangan. 

Oleh karenanya, maka kehidupan yang harmonis dan rukun dalam keragaman baik itu agama dan pendapat merupakan cita-cita daripada Islam itu sendiri yang harus diwujudkan.

Untuk itu perlu upaya lebih lanjut tentang kerukunan dimaksud. Setidaknya ada beberapa gagasan yang dapat dilakukan demi terwujudnya kehidupan yang rukun dalam keragaman agama dan pendapat pada bangsa ini.

Berpikir Inklusif

Inklusif di sini adalah tentang standar suatu kebenaran. Dalam hal agama maka kebenarannya ada pada masing-masing dogma. 

Dalam hal ini, kebenaran suatu agama tidak bisa dipaksakan pada agama lain. Dengan kata lain, seseorang yang meyakini dan mengakui kebenaran agamanya harus dihargai tanpa harus dipaksa untuk mengakui kebenaran agama orang lain. Kemudian, istilah-istilah yang berkaitan dengan agama tertentu tidak bisa pula dipaksakan kepada pemeluk lain. 

Demikian pula dengan perbedaan pendapat dan pemikiran tertentu. Seseorang atau satu golongan tertentu tidak bisa memaksakan kebenaran dari suatu pemikiran yang diyakininya, baik itu pandangan tentang gagasan dan konsep tertentu, atau pandangan terhadap penafsiran agama tertentu. 

Dengan demikian, maka clash agama dan pemahaman akan terhindarkan. Perbedaan yang ada akan menjadi satu entitas tersendiri yang menjadi bagian dari keragaman budaya bangsa Indonesia.

Dialog Tokoh Agama

Poin pertama di atas sejatinya adalah mind set sebagai modal dasar bagi kehidupan kerukunan. Karena berawal dari mind set lah (pola pikir) sebuah sikap dan perbuatan akan muncul. 

Selanjutnya, hal yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kerukunan dalam keragaman adalah intenstas dan kualitas dialog antar tokoh lintas agama.

Dialog yang intens akan memberikan dampak psikologis bagi para tokoh yang kemudian memberikan penerangan kepada ummat masing-masing. 

Adapun dialog yang dibangun bukan mengusung isu-isu normatif agama, sebab ini justeru akan memunculkan konflik yang berkepanjangan. 

Namun, harus lebih fokus pada isu-isu pengembangan dan pemberdayaan sosial yang bisa berbentuk kegiatan berikut; 

a. Ummat beragama yang dimotori oleh para tokoh agama di Indonesia saling bahu membahu membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan yang susungguhnya masih menjadi masalah krusial pada bangsa ini. 

b. Bahu membahu dalam rangka penanggulangan bencana yang memang akhir-akhir ini sering terjadi.

c. Dialog tokoh membuat program pengembangan pada aspek pendidikan terutama untuk anak-anak Indonesia yang putus sekolah. 

d. Progam pengembangan dan pemberdayaan ummat beragama dalam menangkal setiap paham yang ingin menghancurkan NKRI 

e. Program pemberdayaan lingkungan seperti penghijauan lahan gundul, pemanfaatan sumber daya alam sebagai peluang ekonomi kreatif khususnya bagi ummat beragama dari kalangan ekonomi lemah. 

Dengan berbagai program pengembangan dan pemberdayaan sosial ini, maka konflik dengan sendirinya akan terhindar, karena masing-masing agama akan berperan dalam tema yang sama yaitu kemanusiaan. 

Namun, ketika masing-masing agama, dalam konteks nasional, lebih mengedepankan fungsi normatifitasnya, maka akan rentan dan memicu konflik baik regional, nasional, dan bahkan internasional. 

Penutup

Kehidupan yang harmonis, rukun, dan damai dalam keragaman baik agama dan pendapat merupakan hal yang niscaya. Sebab, konflik akan mengganggu stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Fakta bahwa Indonesia adalah bangsa yang sangat kaya akan keragaman baik agama dan pendapat. 

Tentu, jika ini dipandang sebagai suatu ancaman, maka ini bisa menjadi pemicu disintergasi sosial dan nasional. Namun, hal tersebut harus dikelola dengan baik oleh seluruh anak bangsa, terutama pemerintah sebagai kekuatan tertinggi dalam suatu Negara.

Untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan rukun dalam keragaman tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain yaitu berpikir inklusif, dan menempatkan peran agama lebih pada fungsi sosialnya bukan normatifnya.

Semua itu tentu berawal dari cara pandang yang proporsional terhadap agama, gagasan, dan konsep-konsep kemanusiaan. Dengan demikian, cita-cita kehidupan yang damai, toleran, dan rukun akan terwujud dengan baik. Allahu A’lam. (Kepala Sekolah Pesantren Al Barokah, Dosen & Penulis Buku)


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Moderasi Beragama, Merajut Kerukunan Dalam Bingkai Keragaman

Moderasi Beragama, Merajut Kerukunan Dalam Bingkai Keragaman

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *