Moderasi Beragama Dalam Keragaman

  • Bagikan

Setidaknya ada beberapa gagasan yang dapat dilakukan demi terwujudnya kehidupan yang rukun dalam keragaman agama dan pendapat pada bangsa ini

Moderasi Beragama Dalam Keragaman. Belakangan istilah “intoleran, radikal, tidak moderat” kembali mencuat ke permukaan seiring dengan munculnya pemahaman dan tindakan keagamaan yang dianggap eksklusif.

Hal itu tampak pada beberapa kasus yang terjadi di masyarakat yang memang melibatkan agama sebagai dalil argumentasi untuk megklaim kebenaran satu kelompok atau komunitas tertentu.

Bahkan kasus yang terjadi diangkat sampai ke ranah hukum untuk saling menuntut keadilan, seperti kasus surat Al Maidah ayat 51, penyebutan kata kafir bagi non muslim, pengucapan selamat natal kepada umat Kristen dan lainnya.

Tentu persoalan di atas dilandasi oleh beberapa faktor. Setidaknya dua faktor utama. Pertamacara mempersepsi dan memahami doktrin dan ajaran agama yang diyakini, dan kedua mengukur kebenaran sesuatu dari kacamata atau persepsi diri sendiri.

Contohnya dalam ajaran Islam ada ajaran tentang jihad. Sayyid Qutb memahami ayat jihad sebagai perang dengan mengangkat senjata terhadap semua kebatilan. Sedangkan Sa’id Ramadhan Al Buthi melihat jihad sebagai suatu upaya sungguh-sungguh untuk berbuat baik dalam jalan Allah SWT, tidak serta merta berarti perang.

Untuk contoh faktor kedua pada penyebutan kata kafir untuk non muslim. Mereka yang tidak menerima hal ini disebabkan karena menggunakan standar ukur dari kitab dan ajaran agamanya dan pemahamannya. Inilah yang menyebabkan menimbulkan persoalan.

Perlu adanya upaya dari semua elemen dan unsur bangsa ini untuk merumuskan gagasan-gagasan mengembalikan kehidupan yang rukun dalam keragaman. Tidak hanya kerukunan agama, tetapi juga kerukunan dalam pendapat, pandangan, dan pemahaman.

Pandangan Islam

Islam sebagai agama rahmatan lil alamin adalah agama yang mengajarkan perdamaian yang mendorong manusia untuk menciptakan hidup proporsional, damai, penuh kebaikan, keseimbangan, toleransi, sabar, dan menahan marah. Artinya Islam, sesuai makna kata “Islam” itu sendiri adalah keselamatan.

Adapun rahmatan yang dimaksud mencakup perbedaan baik agama maupun pandangan. Salah satu kisah yang sangat fenomenal tentang bagaimana sikap Rasulullah SAW terhadap perbedaan termasuk berbeda keyakinan adalah tentang seorang pengemis Yahudi buta di sudut kota Madinah.

Agama tidak menjadi penghalang Rasulullah SAW untuk menebar kasih sayang, perdamaian, dan toleransi. Tentu saja ini menunjukkan bahwa risalah Islam menghargai perbedaan dan tidak menjadikan perbedaan sebagai penghalang untuk menebar kebaikan.

Dalam hal pendapat, Islam juga menghargainya. Dikisahkan, dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah SAW berkata kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab, ‘Janganlah salah seorang kamu salat Ashar kecuali di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka (sahabat) memasuki salat Ashar di tengah perjalanan. Sebagian mereka berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Ashar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian mereka berkata, ‘Kami melaksanakan salat Ashar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah SAW. Beliau Saw tidak menyalahkan satu pun dari mereka” (HR. Al-Bukhari).

Dari riwayat ini bisa disimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW menerima perbedaan pendapat para sahabat yang denganya tidak terjadi konflik antar sahabat sendiri. 

Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi, seorang ulama mazhab Syafii, menegaskan dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat bagi umat.

Sebab mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.

Dengan demikian, jelaslah bagaimana Islam memandang perbedaan baik itu perbedaan agama dan pendapat. Bahkan mereka yang tidak menerima Islam sebagai akidahnya tidak boleh dipaksa apalagi diperangi dan dimusuhi.

Gagasan Teoritis

Pandangan Islam tentang perbedaan mengindikasikan bahwa Islam pada hakikatnya menghendaki perdamaian, toleransi dan kerukunan. Adapun ayat-ayat yang berhubungan dengan peperangan adalah sebagai pertahanan karena umat Islam diserang pada waktu itu, bukan sebagai penyerangan.

Maka kehidupan yang harmonis dan rukun dalam keragaman baik itu agama dan pendapat merupakan cita-cita daripada Islam itu sendiri yang harus diwujudkan.

Untuk itu perlu upaya lebih lanjut tentang kerukunan dimaksud. Setidaknya ada beberapa gagasan yang dapat dilakukan demi terwujudnya kehidupan yang rukun dalam keragaman agama dan pendapat pada bangsa ini.

Berpikir Inklusif. Inklusif di sini adalah tentang standar suatu kebenaran. Dalam hal agama maka kebenarannya ada pada masing-masing dogma. Dalam hal ini, kebenaran suatu agama tidak bisa dipaksakan pada agama lain.

Dengan kata lain, seseorang yang meyakini dan mengakui kebenaran agamanya harus dihargai tanpa harus dipaksa untuk mengakui kebenaran agama orang lain. Kemudian, istilah-istilah yang berkaitan dengan agama tertentu tidak bisa pula dipaksakan kepada pemeluk lain.

Demikian pula dengan perbedaan pendapat dan pemikiran tertentu. Seseorang atau satu golongan tertentu tidak bisa memaksakan kebenaran dari suatu pemikiran yang diyakininya, baik itu pandangan tentang gagasan dan konsep tertentu, atau pandangan terhadap penafsiran agama tertentu.

Dengan demikian, maka clash agama dan pemahaman akan terhindarkan. Perbedaan yang ada akan menjadi satu entitas tersendiri yang menjadi bagian dari keragaman budaya bangsa Indonesia.

Dialog Tokoh Agama

Poin pertama di atas sejatinya adalah mindset sebagai modal dasar bagi kehidupan kerukunan. Karena berawal dari mind set lah (pola pikir) sebuah sikap dan perbuatan akan muncul. Selanjutnya, adalah intenstas dan kualitas dialog antar tokoh lintas agama.

Dialog yang intens akan memberikan dampak psikologis bagi para tokoh yang kemudian memberikan penerangan kepada umat masing-masing.

Dialog yang dibangun bukan mengusung isu-isu normatif agama, sebab ini justeru akan memunculkan konflik yang berkepanjangan. Namun, harus lebih fokus pada isu-isu pengembangan dan pemberdayaan sosial yang bisa berbentuk kegiatan berikut;

Umat beragama yang dimotori para tokoh agama bahu membahu mengentaskan kemiskinan yang susungguhnya masih menjadi masalah krusial bangsa; Bahu membahu dalam penanggulangan bencana yang memang akhir-akhir ini sering terjadi;  

Dialog tokoh membuat program pengembangan pada aspek pendidikan terutama untuk anak-anak Indonesia yang putus sekolah;

Progam pengembangan dan pemberdayaan umat beragama dalam menangkal setiap paham yang ingin menghancurkan NKRI; Program pemberdayaan lingkungan seperti penghijauan lahan gundul, pemanfaatan sumber daya alam sebagai peluang ekonomi kreatif khususnya bagi umat beragama dari kalangan ekonomi lemah.

Dengan berbagai program pengembangan dan pemberdayaan sosial ini, maka konflik dengan sendirinya akan terhindar, karena masing-masing agama akan berperan dalam tema yang sama yaitu kemanusiaan.

Namun, ketika masing-masing agama, dalam konteks nasional, lebih mengedepankan fungsi normatifitasnya, maka akan rentan dan memicu konflik baik regional, nasional, dan bahkan internasional.

Penutup

Kehidupan harmonis, rukun, dan damai dalam keragaman baik agama dan pendapat merupakan hal yang niscaya. Indonesia adalah bangsa sangat kaya keragaman baik agama dan pendapat. 

Hal tersebut harus dikelola dengan baik oleh seluruh anak bangsa terutama pemerintah sebagai kekuatan tertinggi dalam suatu negara.

Untuk mewujudkan kehidupan yang harmonis dan rukun dalam keragaman tersebut, ada beberapa hal yang dapat dilakukan antara lain yaitu berpikir inklusif, dan menempatkan peran agama lebih pada fungsi sosialnya bukan normatifnya.

Semua itu tentu berawal dari cara pandang yang proporsional terhadap agama, gagasan, dan konsep kemanusiaan. Dengan demikian, cita-cita kehidupan yang damai, toleran, dan rukun akan terwujud dengan baik. Allahu A’lam.

Penulis adalah Kepala Sekolah Pesantren Al Barokah, Dosen & Penulis Buku.

  • Bagikan