Milad Dan Muktamar PUI

  • Bagikan
Milad Dan Muktamar PUI

Oleh Shohibul Anshor Siregar

…momentum untuk merekonstruksi peran umat Islam sebagai subjek, bukan objek, sejarah. Dengan menolak rezim pengetahuan kolonial, menguatkan ekonomi syariah, dan membangun solidaritas global, PUI dapat menjadi mercusuar peradaban yang berdaulat.

Milad ke-107 dan Muktamar ke-15 Persatuan Ummat Islam (PUI) yang akan diselenggarakan di Medan pada bulan depan, diharapkan tak mengabaikan pentingnya merumuskan sikap dan kebijakan organisasi terkait “dekolonisasi ummah dan exit plan dari bayang neokolonialisme dan neoliberalisme global”.

Artikel ini menganalisis peran PUI dalam konteks tantangan Islamofobia, neokolonialisme, dan neoliberalisme di Indonesia. Dengan merujuk pada beberapa data lapangan (khususnya tahun 2014–2020), kajian kritis terhadap kebijakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan literatur global tentang keamanan dan kolonialisme, artikel ini mengekspos bagaimana rezim sekuritisasi Indonesia, yang didikte oleh agenda Global War on Terror (GWOT) AS, telah melemahkan kemandirian umat Islam melalui stigmatisasi dan represi.

Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) menjadi salah satu studi kasus yang menunjukkan kontinuitas kekerasan negara dari era Orde Baru hingga kini. Artikel ini menyerukan dekolonisasi sistem pengetahuan, ekonomi, dan hukum, serta merekomendasikan model perlawanan berbasis nilai Qur’ani dan solidaritas global.

Dari Kolonialisme Ke Neokolonialisme
Milad ke-107 dan Muktamar ke-15 PUI terjadi dalam konteks yang di dalamnya kebijakan sekuritisasi Indonesia, seperti UU Terorisme No. 5/2018, telah dibentuk oleh tekanan AS melalui program Countering Violent Extremism (CVE) dan dampaknya terus berlanjut.

Data riset lapangan (2014–2020) menunjukkan bahwa BNPT, dengan anggaran Rp854 miliar (2019), lebih fokus pada stigmatisasi gerakan Islam daripada penanganan ancaman nyata seperti kemiskinan (14,9%, 2018) atau kematian akibat rokok (290.000 jiwa/tahun). Padahal, Surah Ali Imran (3:104) menegaskan peran umat Islam sebagai penyeru keadilan (amar ma’ruf nahi munkar), bukan objek represi negara.

Warisan Kolonial

Studi Dave McRae (2020) dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (BKI) mengungkap bahwa pembubaran FPI mencerminkan pola kekerasan negara (state violence). Seperti UU Subversif era Soeharto, UU Terorisme No. 5/2018 menggunakan definisi ambigu “radikalisme” untuk membungkam kritik. Laporan Setara Institute (2020) menunjukkan bahwa 67% kasus “radikalisme” ditujukan pada aktivis yang menolak kebijakan neoliberal, seperti privatisasi sumber daya alam.

Keterlibatan AS bukanlah sesuatu hal baru. Jess Melvin (2017) membuktikan keterlibatan CIA dalam genosida 1965, misalnya dokumen telegram AS (diungkap The New York Times, 2020) menunjukkan pola intervensi yang berlanjut dalam GWOT. Program CVE yang diadopsi BNPT, misalnya, mengabaikan akar masalah terorisme, seperti ketimpangan sosial, dan fokus pada deradikalisasi ideologis yang bertujuan stigmatisasi.

Neoliberalisme & Penghisapan Ekonomi

David Harvey (2005) dalam A Brief History of Neoliberalism menjelaskan bagaimana neoliberalisme mengonsentrasikan kekayaan pada korporasi global. Di Indonesia, liberalisasi sektor keuangan (misalnya, UU Minerba 2020) telah menggusur 2,4 juta UMKM (Kemenkop, 2021). Studi Siddiqi (2012) tentang ekonomi syariah menawarkan alternatif berbasis keadilan, tetapi kebijakan BNPT justru mengalokasikan 60% anggaran untuk operasi intelijen daripada pemberdayaan ekonomi umat.

Pembubaran FPI

Pembubaran FPI pada 2020 adalah salah satu puncak monumental dari kebijakan sekuritisasi yang didikte AS. Menurut McRae (2020), pembubaran ini tidak hanya melanggar Pasal 28E UUD 1945 (kebebasan berserikat), tetapi juga menghancurkan 154 pesantren dan 23 klinik kesehatan milik FPI yang melayani masyarakat marginal. Global Terrorism Database (2019) menunjukkan bahwa ancaman terorisme di Indonesia hanya menyebabkan 0,1% kematian dibandingkan kecelakaan lalu lintas (31.000 jiwa/tahun) atau AIDS (640.000 kasus aktif).

Kebijakan ini adalah bentuk neocolonial governance (Duffield, 2007), yang di dalamnya keterjeratan negara bekas jajahan mengadopsi agenda keamanan Barat untuk mendapatkan legitimasi politik. Contohnya, BNPT menerima pelatihan dari FBI dan CIA (Allard & Kapoor, 2016), sedangkan program deradikalisasi mereka meniru model AS yang gagal di Irak dan Afghanistan. Studi Koehler (2017) membuktikan bahwa pendekatan represif justru meningkatkan radikalisasi sebesar 22%.

Islamofobia & Rasisme Struktural

Islamofobia di Indonesia termanifestasi dalam kebijakan yang mengkriminalisasi simbol-simbol Islam seperti cadar atau ceramah keagamaan. Laporan Wahid Institute (2019) mencatat 123 kasus diskriminasi terhadap perempuan bercadar di sektor publik. Kebijakan ini berakar pada orientalisme (Said, 1978) yang memandang Islam sebagai ancaman, sebagaimana terlihat dalam doktrin GWOT AS yang menyamakan “Islam radikal” dengan terorisme (Montague, 2020).

Rekomendasi: Menuju Dekolonisasi Ummah

Berdasarkan uraian di atas, beberapa rekomendasi penting perlu dikemukakan. Pertama, Tuntutan Reparasi: Keadilan Historis bagi Indonesia dalam Kerangka Dekolonial. Kolonialisme Belanda di Indonesia selama 350 tahun, misalnya, meninggalkan warisan eksploitasi sistemik, mulai dari Cultuurstelsel (1830–1870) yang memicu kelaparan massal hingga kekerasan militer pasca-kemerdekaan seperti pembantaian 40.000 orang di Sulawesi Selatan (1946–1947) (Van Zanden, 2013; LIPI, 2020).

Namun, Belanda hingga kini enggan mengakui tanggung jawab penuh, meski preseden global seperti kompensasi €1,1 miliar Jerman kepada Namibia atas genosida Herero dan Nama (1904–1908) menunjukkan bahwa reparasi bukan utopis (DW, 2021). Komisi Reparasi CARICOM, yang menuntut pertanggungjawaban negara Eropa atas perdagangan budak transatlantik, memperkuat argumen bahwa reparasi adalah hak hukum dan moral bangsa terjajah (Beckles, 2013).

Secara ekonomi, studi Thomas Piketty (2019) membuktikan 70% kekayaan Belanda abad ke-19 berasal dari eksploitasi kolonial, sementara Indonesia terjebak dalam ketergantungan pasca-kemerdekaan. Padahal, Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Reparasi (2005) menjamin restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi korban pelanggaran HAM berat. Kasus Mau Mau di Kenya, korban penyiksaan kolonial Inggris menerima kompensasi £19,9 juta pada 2013, menjadi preseden hukum yang relevan (The Guardian, 2013).

Advokasi reparasi adalah bagian integral dari misi amar ma’ruf nahi munkar. PUI dapat memprakarsai koalisi untuk: (1) mendorong pengakuan resmi Belanda atas kejahatan kolonial, (2) mengajukan gugatan melalui mekanisme Universal Jurisdiction, dan (3) mengalokasikan dana reparasi untuk pembangunan wilayah terdampak seperti Papua, yang infrastrukturnya 43% lebih buruk daripada Jawa (BPS, 2023). Reparasi bukan sekadar materi, tetapi pengakuan bahwa kolonialisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan—sesuai semangat Surah An-Nisa (4:148) tentang hak korban untuk menuntut keadilan.

Tuntutan reparasi adalah pilar tak terpisahkan dari perjuangan dekolonisasi. Sebagai bangsa yang kekayaannya dijarah untuk membiayai Revolusi Industri Eropa, Indonesia berhak menuntut pertanggungjawaban ekonomi dan moral.

Kedua, Reformasi Sistem Pendidikan. PUI harus memelopori kurikulum dekolonial yang menggabungkan maqasid syariah dengan kajian kritis terhadap neoliberalisme. Pesantren di Pati, Jawa Tengah, telah mengintegrasikan pertanian organik dan ekonomi syariah, mengurangi ketergantungan pada pasar global sebesar 40% (Riset PPIM, 2019).

Pendidikan adalah arena pertarungan epistemologis antara hegemoni Barat dan pengetahuan lokal. PUI perlu memelopori kurikulum yang mengintegrasikan maqasid syariah (perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) dengan kajian kritis terhadap neoliberalisme, sebagaimana diusulkan Abdullahi An-Na’im (2008) dalam Islam and the Secular State. Contoh konkret terdapat di Pesantren Al-Falah, Pati, yang menggabungkan pertanian organik, ekonomi syariah, dan kajian dekolonial, mengurangi ketergantungan pada pasar global hingga 40% (Riset PPIM, 2019).

Pendekatan ini selaras dengan kritik Edward Said (1978) terhadap Orientalism, karena sistem pendidikan kolonial meminggirkan epistemologi Islam. Studi Foucault (2007) tentang governmentality juga mengungkap bagaimana neoliberalisme menyusup melalui kurikulum yang menormalisasi logika pasar. Karena itu, harus dirancang modul pembelajaran yang mengekspos akar kolonial dalam kebijakan pendidikan nasional, seperti standardisasi kurikulum berbasis OECD yang mengabaikan kearifan lokal (Merry, 2016).

Ketiga, Ekonomi Syariah sebagai Perlawanan. Koperasi syariah bersama NU dan Muhammadiyah dapat menjadi alternatif. Di Malaysia, model ini berhasil meningkatkan pendapatan 2,3 juta UMKM (Data Bank Negara Malaysia, 2020). Perlu dibangun “kampung halal” berbasis komunitas, seperti di Sukabumi yang mengurangi kemiskinan dari 15% menjadi 7% dalam 3 tahun.

Ekonomi syariah bukan sekadar alternatif, tetapi bentuk perlawanan terhadap sistem kapitalis yang mengekstraksi sumber daya umat. Siddiqi (2012) dalam Islamic Banking and Finance menegaskan bahwa prinsip bagi hasil (profit-sharing) dan larangan riba adalah instrumen untuk memutus rantai ketergantungan pada sistem finansial global.

Di Malaysia, koperasi syariah seperti Bank Rakyat berhasil meningkatkan pendapatan 2,3 juta UMKM melalui pembiayaan mikro tanpa agunan (Data Bank Negara Malaysia, 2020). Namun, tantangan utama adalah kebijakan pemerintah yang lebih memprioritaskan investasi asing, seperti UU Cipta Kerja yang mengizinkan kepemilikan lahan oleh korporasi multinasional (Hadiz, 2016). Umat perlu bersinergi untuk membangun jaringan koperasi antar-pesantren, sekaligus mengadvokasi revisi UU yang pro-korporasi.

Keempat, Advokasi Hukum dan HAM. Kasus FPI harus diusut ulang dengan melibatkan mekanisme HAM internasional, sebagaimana dilakukan korban genosida 1965 (Melvin, 2018). UU Terorisme No. 5/2018 adalah produk legal colonialism yang mengadopsi agenda AS dalam Global War on Terror (GWOT). McRae (2020) dalam analisisnya di BKI menunjukkan bagaimana definisi “terorisme” dalam UU ini ambigu dan rentan disalahgunakan untuk mengkriminalisasi gerakan Islam.

Kelima, Solidaritas Global Anti-Imperialis. Bersama organisasi yang memiliki integritas dan reputasi yang diakui, PUI perlu membentuk aliansi untuk menuntut pertanggungjawaban AS atas kejahatan perang di Afghanistan dan Palestina. Kampanye boikot produk Israel, seperti yang dilakukan civil society di berbagai negara, dapat direplikasi untuk digencarkan.

Solidaritas global umat Islam harus melampaui retorika, menjadi gerakan politik konkret. Motadel (2014) dalam Islam and the European Empires menunjukkan bagaimana kolonialisme Eropa abad ke-19 memecah-belah umat Islam melalui kebijakan divide et impera. Kini, neoliberalisme dan GWOT menjadi alat neoimperialisme yang sama.

PUI perlu membangun aliansi strategis untuk menuntut pertanggungjawaban AS atas kejahatan perang di Afghanistan, dengan 47.245 warga sipil tewas (2001–2021) menurut Brown University Cost of War Project. Studi Kundnani (2014) dalam The Muslims are Coming! juga mengingatkan bahwa deradikalisasi ala Barat hanya alat kontrol politik, bukan solusi. Seperti dikatakan Frantz Fanon dalam The Wretched of the Earth, “dekolonisasi adalah proses mengganti ‘dunia kolonial’ dengan ‘dunia manusia baru’”.

Kesimpulan: PUI Sebagai Gerakan Dekolonial

Milad ke-107 dan Muktamar ke-15 PUI adalah momentum untuk merekonstruksi peran umat Islam sebagai subjek, bukan objek, sejarah. Dengan menolak rezim pengetahuan kolonial, menguatkan ekonomi syariah, dan membangun solidaritas global, PUI dapat menjadi mercusuar peradaban yang berdaulat.

Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Fath (48:29), umat Islam harus “keras terhadap kekafiran, tetapi berbelas kasih antar sesama”, prinsip yang menuntut perlawanan terhadap ketidakadilan, tanpa mengorbankan kemanusiaan.

Penulis adalah Dosen Fisip UMSU, Ketua Lembaga Hikmah Dan Kebijakan Publik PW Muhammadiyah Sumut, Ketua Lembaga Ukhuwah Umat Islam MUI Sumut.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Milad Dan Muktamar PUI

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *