Oleh : Pheby Mawaddah Situmorang
KRISIS moral dan krisis intelektual adalah dua kondisi yang hampir dialami oleh semua anggota organisasi termasuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Krisis moral tercermin dari perilaku disintegritas, pragmatisme, dan eksklusifitas yang tentu sangat kontradiktif dengan tujuan dan nilai-nilai di IMM.
Hari ini integritas tergadaikan dengan kepentingan pribadi bukan lagi kepentingan organisasi, gerakan yang dilakukan harus memiliki keuntungan secara materi serta mengikisnya prinsip-prinsip bermusyawarah setiap adanya periode musyawarah baik di tingkat komisariat, cabang, daerah, dan nasional.
Nafsu kekuasaan menjadikan kader ikatan menghalalkan segala cara untuk memperoleh kemenangan, kader-kader dijadikan oleh senior sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadi, mereka kehilangan independensi untuk menentukan pilihan dengan dalih-dalih senioritas.
Pendapat, perilaku, dan keputusan mereka dianggap satu-satunya kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat dan sebaliknya kader seringkali dipaksa untuk membenarkan semua perspektif senior.
Situasi ini turut membentuk kader-kader yang militan, namun bukan militan terhadap organisasi melainkan hanya patuh dan tunduk terhadap perintah senior saja. Lalu, bagaimana upaya yang bisa dilakukan untuk membentuk kader-kader militan itu ?
Adam Grant dalam bukunya berjudul Give and Take memberikan gambaran fenomena yang terjadi di tengah masyarakat. Grant menggambarkan 3 kelompok orang.
Yaitu, takers (egois dan hanya fokus dengan keuntungan apa yang mereka dapatkan dari orang lain, givers (orang yang didorong untuk memberi dan mencipatkan kesuksesan suatu kelompok) dan matchers (pertukaran antara takers dan givers).
Di dalam IMM, takers bisa dianalogikan sebagai seorang kader baru, givers adalah kader aktif dan senior, dan matchers adalah simbiolis antara keduanya.
Secara sederhana, ini bisa digambarkan bahwa organisasi membutuhkan kader untuk menjadi motor penggerak dan kader membutuhkan organisasi sebagai tempat untuk berkembang.
Sejatinya, prinsip awal militansi itu adalah saling membutuhkan dan saling mendukung. Apabila kader merasa tidak mendapat apapun dari hasil organisasi baik itu keilmuan, jaringan atau materi, maka mereka tidak akan pernah menjadi kader militan organisasi.
Sedangkan krisis intelektual ditandai dengan absennya ruang-ruang diskusi, budaya dialektika, gerakan literasi, serta forum-forum ilmiah dalam tubuh IMM.
Hal ini terjadi karena adanya disorientasi terhadap nilai-nilai dan arah tujuan IMM. Sebagai sebuah gerakan intelektual, IMM membutuhkan kader-kader yang militan sekaligus visioner untuk merekonstruksi kembali gerakan intelektual itu.
Gerakan-gerakan visioner itu bisa dicapai dengan cara mereinterpretasi kembali arah tujuan IMM dan Diaspora Kader IMM.
Membentuk akademisi Islam yang berakhlak mulia menjadi cita-cita masa depan IMM didirikan. Para akademisi ini akan melakukan diaspora ke berbagai lini yaitu ummat, bangsa, persyarikatan, dan kemanusiaan.
Proses diaspora ini membutuhkan persiapan yang matang sejak kader-kader masih di tingkat komisariat, mengakomodir kegiatan yang mampu mengembangkan kompetensi individu, dan memfasilitasi jaringan pertemanan organisasi. Proses-proses inilah yang akan membentuk cendekiawan IMM di masa depan.
Dua Fungsi
Menurut M.Quroish Shihab seorang cendekiawan memiliki dua fungsi, yaitu dzikir dan fikir. Dzikir sebagai salah medium untuk senantiasa mengingat Allah SWT dan fikir untuk mengupas dan mengetahui inti permasalahan serta memberikan solusi.
Keduanya saling terkoneksi dan terintegrasi, kecerdasan membuat kita cepat sampai pada tujuan dan keimanan menunjukkan arah kepada tujuan. Sedangkan Intelektual adalah orang yang cerdas, berakal dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan.
Secara definisi di atas terlihat jelas perbedaan antara cendekiawan dan intelektual. Konkritnya, seorang intelektual adalah orang-orang yang cerdas secara akademik-teoritis.
Sedangkan cendekiawan tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga aplikatif dan solutif dalam menghadapi persoalan-persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Jadi, semua orang yang duduk di dunia akademisi dengan disiplin ilmu yang dimiliki adalah seorang intelektual tetapi mereka tidak bisa disebut sebagai cendekiawan apabila intelektualitas mereka tidak mampu diaplikasikan dan dirasakan manfaatnya di tengah-tengah masyarakat.
Ali Syari’ati, seorang revolusioner Iran menggunakan istilah Rausyan Fikri untuk menyebut cendekiawan.
Menurutnya, Rausyan Fikri adalah individu-individu yang memiliki tanggung jawab dan misi sosial. Mereka sadar akan adanya persoalan kemanusiaan (human condition), mengajarkan kebenaran dan menentang kezaliman.
Tanggung jawab utama Rausyan Fikri adalah mengetahui sebab-sebab keterbelakangan, kemandekan dan kebobrokan rakyat atau pemerintah. Mereka harus mendidik dan mencerahkan masyarakat yang bodoh dan yang tertidur, sehingga kebutuhan rakyat dapat dipenuhi dan penderitaan mereka dapat didekonstruksi.
Selanjutnya, Rausyan Fikri harus memberikan keyakinan serta harapan kepada manusia untuk bergerak dinamis, menumbuhkan kesadaran diri sebagai manusia yang bebas dan kreatif, masyarakat yang terdidik dan tidak menjadi budak politik.
Julien Benda memiliki pemahaman yang sejalan dengan Ali Syari’ati, ia menegaskan seharusnya cendekiawan membawa manusia pada pemahaman yang dalam terhadap penderitaan masyarakat.
Ia juga menyebutkan bahwa pengkhianatan kaum cendekiawan apabila mereka terlibat dalam kancah politik dan mengabdikan diri pada politik praktis lalu melupakan tugasnya sebagai penjaga moral dan pelindung masyarakat.
Akar Sosial
Di Indonesia, kita mengenal sosok cendekiawan dan juga sastrawan Kuntowijoyo. Kuntowijoyo menyebut cendekiawan bukan sosok yang berjalan di atas mega, pemikirannya melangit, tinggal di menara gading tetapi pemikir yang tidak tercabut dari akar sosialnya.
Kuntowijoyo mengatakan “Sebagai hadiah Malaikat menanyakan apakah aku ingin berjalan di atas mega, tetapi karena kaki ku masih akan berada di bumi sampai kejahatan terakhir dimusnahkan dan sampai kaum mustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.
Kader IMM secara eksplisit menyebut dirinya sebagai cendekiawan berpribadi seperti yang tertuang dalam lirik mars-nya yakni “Kitalah cendekiawan berpribadi”.
Namun, sudahkah kader IMM menjadi seorang cendekiawan atau masih menjadi seorang intelektual ? Jika memang menjadi seorang cendekiawan, sudahkah kader-kader IMM menjadi problem solver di tengah penderitaan yang dialami masyarakat.
Jangan-jangan kader-kader IMM hanya menjadi trouble maker di IMM dan masyarakat. Sudahkah gerakan-gerakan IMM berorientasi kepada kepentingan masyarakat (mahasiswa dan masyarakat umum secara luas).
Atau selama ini program-program yang dijalankan hanya beriorientasi kepada materi, formalitas dan untuk sekedar memenuhi laporan pertanggungjawaban agar terlihat banyak dan menentukan suksesi kepemimpinan ?
Jika memang demikian, maka IMM tak ada bedanya dengan komunitas, perkumpulan atau club yang bergerak hanya untuk kepentingan anggota dan komunitas saja.
IMM bukan organisasi individualitas, melainkan sudah jelas dideklarasikan melalui Trilogi-nya yaitu keagamaan, kemahasiswaan dan kemasyarakatan.
Cendekiawan IMM harus menjadi subjek dalam ikatan, sadar akan perannya di tengah masyarakat, peduli terhadap penderitaan mahasiswa dan rakyat. Para cendekiawan dalam IMM tidak lagi memikirkan mendapatkan apa dari ikatan ini, tetapi mereka berpikir memberikan apa di ikatan ini.
Ahmad Fuad Fanani meminjam istilah Erich Fromm dalam Re-Imagining Muhammadiyah bahwa kita bisa memilih untuk menjadi to be (menjadi) IMM bukan to have (memiliki) IMM.
Orang yang menjadi (to be) IMM senantiasa tidak berpuas diri dan memberikan kontribusi ke organisasinya sekecil apapun usaha itu. Sedangkan orang yang merasa memiliki (to have) IMM biasanya akan berusaha menguasai, mencintai dan memonopoli.
Seorang cendekiawan IMM tentunya harus menjadi IMM bukan merasa memiliki IMM. Ketika seseorang merasa menjadi IMM maka ia akan memberikan segala yang dia miliki untuk kepentingan IMM.
Sedangkan orang yang merasa memiliki IMM senantiasa mengambil apa yang ada di IMM untuk dirinya sendiri.
Oleh karena itu, untuk memastikan regenerasi IMM ke depan semakin baik diperlukan kader-kader yang memiliki militansi yang kuat dan juga cara berfikir yang visioner.
Kader IMM harus mampu menganalisis kebutuhan kader hari ini dan membuka ruang-ruang yang dapat mengembangkan potensi diri mereka untuk berdiaspora.
Upaya ini diharapkan akan mampu secara perlahan mengikis fenomena-fenomena disintegritas dan pragmatisme yang hari ini menjangkiti kader-kader IMM hampir di semua level kepemimpinan. (Penulis Kabid Pendidikan Bahasa dan Potensi Akademik DPD IMM Sumut)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.