Daripada para Kades sibuk menyuarakan penambahan masa jabatan, lebih baik mereka memikirkan program yang benar-benar membangun desa dan menyejahterakan rakyat dengan bantuan yang diberikan pemerintah pusat
Pertengahan Januari 2023 ribuan Kepala Desa (Kades) yang menjadi massa aksi damai berunjuk rasa (menyampaikan aspirasi) di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia DPR RI). Mereka menyampaikan wacana yang menjadi sebuah tuntutan besar kepada pembuat Undang-Undang (UU), yakni merevisi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya kita sebut: UU Desa).
Pada pasal tersebut mengatur terkait masa jabatan Kades. Berdasarkan UU tersebut, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa masa jabatan Kades selama 6 (enam) tahun dan dapat menjabat kembali selama tiga periode baik secara berturut-turut atau tidak secara berturut-turut (lebih lanjut baca: Pasal 39 UU Dessa). Artinya Kades dapat menjabat selama 18 tahun.
Nah, dalam kesempatan demonstrasi itu, mereka (massa aksi) mewacanakan agar masa jabatan ditambah menjadi 9 (sembilan) tahun di kali tiga kali masa jabatan. Artinya berdasarkan wacana “aneh” itu para Kades dapat menjabat selama 27 tahun lamanya. Sungguh ini wacana yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi konstitusional, yang mana salah satu poinnya adalah perlunya pembatasan masa jabatan yang tidak terlalu lama.
Wacana itu perlu untuk dievaluasi. Para Kades yang pro terhadap wacana tersebut saya pikir perlu untuk dicerahkan bahwa dalam negara demokrasi saat ini, kekuasaan yang terlalu lama tidaklah diperkenankan. Menurut saya itu adalah “penyakit”, karena pada dasarnya kekuasaan atau memegang masa jabatan terlalu lama sering disalah-gunakan (sewenang-wenang).
Perkataan ini bukan sebuah asumsi, akan tetapi sejarah ketatanegaraan di berbagai negara, termasuk di Indonesia telah membuktikannya. Lihat bagaiamana Soekarno dan Soeharto saat berkuasa lama di Indonesia. Lord Acton dalam adagiumnya: “power tends to corrupt, and absulote power corrupt absolutely (kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut). Maka untuk itu masa jabatan harus dibatasi, pembatasan masa jabatan itu sangat dibutuhkan, dan masa jabatan tidak boleh terlalu lama.
Bivitri Susanti berpendapat bahwa, pembatasan masa jabatan dibutuhkan setidaknya untuk dua hal. Pertama, kekuasaan tidak boleh dibuat terlalu nyaman dan dipegang terlalu lama karena bisa merusak sistem dan orang, baik pemegang kekuasaan maupun warga yang memberi kekuasaan. Kedua, organisasi dari desa sampai negara, membutuhkan rotasi kekuasaan. Kekuasaan yang berganti akan menumbuhkan generasi baru pemimpin. Jika wacana tersebut dikabulkan dalam rencana perubahan UU Desa, maka hal itu dapat merusak sistem dan regenerasi pemimpin.
Menurut saya, enam tahun dikali tiga kali menjabat itu sudah termasuk sangat lama, konon lagi terjadi sembilan tahun dikali tiga kali menjabat. Sebenarnya apakah masa jabatan itu yang menjadi urgensi perubahan UU Desa? Tentunya itu bukanlah hal yang urgen, yang urgen adalah bagaimana mengefektifkan aturan-aturan tersebut, jika pun hendak dirubah, yang perlu dijawab adalah permasalahan pengelolaan desa saat ini, baik secara peran dan atau relasi kelembagaan desa serta pengelolaan dana desa yang begitu sangat banyak.
Persoalan yang seharusnya menjadi wacana penting adalah bagaimana para Kades bersih dari praktik korupsi. Mesti dicatat, berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa ada 676 Kades terseret kasus korupsi selama periode 2015-2020. Permasalahan yang lain lagi adalah terjadinya praktik politik uang (money politics) saat pemilihan Kades. Ini sudah menjadi rahasia umum yang kita biarkan.
Wacana menjadi Sembilan tahun dikali 3 (tiga) merupakan subjektivitas politik yang tidak memiliki dasar filosofis terhadap pembangunan desa. Hal itu dapat kita simak bahwa ada Kades yang mengatakan bahwa; “Karena memang enam tahun ini sangat kurang. Ketika enam tahun, maka kami tetap persaingan politik. Jadi tidak cukup dengan enam tahun. Karena selama 6 tahun itu kami tetap ada persaingan politik,” ujar Robi Darwis, seorang Kades dari salah satu desa di Provinsi Nusa Tenggara Barat (Kompas.com-17/01/2023).
Bahkan tidak sedikit saat memegang masa jabatan Kades, maka pada saat itulah ia menambah sumber kekayaannya, dengan cara bermain proyek dan ada yang melakukan tindak korupsi. Seharusnya ini yang perlu dievaluasi dan diseriusi oleh pemerintah. Kita melihat para Kades itu abai dengan fakta sejarah semakin lama seseorang memegang jabatan, maka semakin tinggi peluang penyelewengan yang bisa terjadi.
Nah, jika pun ada tawaran kedua Kades menjabat sembilan tahun kemudian hanya boleh menjabat satu periode lagi (artinya menjabat 18 tahun), ini juga menjadi problem. Masa jabatan Sembilan tahun ini membuat penantian evaluasi yang sangat lama bagi masyarakat desa. Dalam mayoritas negara-negara demokrasi modern, masa jabatan itu empat sampai lima tahun. Untuk apa demikian, tentunya supaya ketika habis empat sampai lima tahun maka ia akan dievaluasi apakah masih layak untuk menjadi seorang pemimpin pada periode berikutnya. Tetapi jika masa jabatannya selama sembilan tahun, itu sudah tidak memiliki rasionalisasi yang jelas. Masa jabatan presiden dan kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota) saja hanya lima tahun, desa yang hanya mengelola daerah kecil mengapa harus begitu lama? Ini menurut saya sebuah bentuk kesesatan berpikir dan terlalu mengedepankan hasrat berkuasa lebih lama.
Menurut Achmad Hariri (Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya) dalam UU Desa sebenarnya ada norma yang bertentangan dengan konstitusi, yaitu pada Pasal 39 terkait masa jabatan Kades. Dalam pasal tersebut masa jabatan kepala desa relatif lebih lama dibandingkan dengan jabatan eksekutif di pemerintahan supra desa, yaitu enam tahun dan dapat dipilih lagi sampai tiga periode. Artinya kepala desa dapat menduduki sebagai orang nomor satu di desa sampai dengan 18 tahun (Republika.com).
Akan lebih etis dan baik kiranya partisipasi masyarakat desa terhadap perencanaan pembangunan desa lebih dikuatkan direncana revisi UU Desa. Bukan hanya partisipasi tersebut, tetapi masyarakat juga harus diperkuat secara hukum dalam hal keterlibatan untuk mengawasi pengelolaan uang pembangunan desa yang diberikan oleh negara. Selain itu, para kades harus benar-benar dilatih (mendapat pendidikan) dalam hal mengelola keuangan dan bagaimana memperkuat pendapat desa.
Maksudnya, pemerintah desa jangan terlalu bergantungan pada dana yang diberikan pusat. Menurut saya hari ini desa (melalui program dana desa) menjadi beban negara. Padahal desa bisa mandiri dengan segala penghasilan alam yang dimilikinya. Seharusnya negara tidak perlu mengirimkan bantuan dalam bentuk uang, akan tetapi bentuk alat atau bahan-bahan yang dibutuhkan untuk pembangunan desa sesuai perencanaan dan perancangan. Sebab sumber masalah terbesar dalam pemerintahan desa saat ini adalah soal uang yang ditunggu-tunggu turun dari pusat. Bahkan hal itu menjadi sebuah motivasi menjadi Kades.
Daripada para Kades sibuk menyuarakan penambahan masa jabatan, lebih baik mereka memikirkan program yang benar-benar membangun desa dan menyejahterakan rakyat dengan bantuan yang diberikan pemerintah pusat. Kades sebagai seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat desa haruslah mendahulukan kepentingan rakyatnya ketimbang syahwat kekuasaannya.
Penutup pembicaraan ini, menurut saya pengawasan dan penegakan hukum terhadap yang melakukan praktik korupsi terhadap dana desa harus diperkuat. Kades jangan juga dijadikan mesin ATM berjalan, dan dana desa jangan dijadikan objek proyek yang dibagi-bagi sehingga membuat terhambatnya pembangunan desa. Kita berharap generasi-generasi pemimpin bangsa yang bersih dan berintegritas ke depannya lahir pemimpin desa.
Penulis adalah Peneliti Muda Laboratorium Hukum Fakultas Hukum UISU Medan.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.