Untuk melewati ujian seleksi kompetensi dasar dan keahlian yang dibutuhkan adalah kemampuan kognitif dari mulai logika, matematika dasar, wawasan kebangsaan dan tentu kemampuan pengetahuan hukum itu sendiri
Lagi-lagi, wajah peradilan yang agung itu tercoreng hitam. Betapa tidak, oknum garda terakhir pemutus keadilan di Mahkamah Agung (MA) melakukan perbuatan nista. Dua hakim agung di Mahkamah Agung (MA) menjadi tersangka dugaan kasus suap penangangan perkara. Keduanya telah mencoreng wajah penegakan hukum sekaligus arti kata “agung” itu sendiri (Republika/15/11).
Jika dirunut ke belakang, sungguh, hal ini ini tidaklah mengherankan, sebab kasus yang terakhir ini hanya melengkapi sederatan kasus “hakim-hakim agung” sebelumnya. Sebut saja beberapa hakim mahkamah konstritusi (MK) juga telah mengisi daftar hitam hakim yang terkena hukuman pidana beberapa tahun sebelumnya.
Data lain menunjukkan dugaan pelanggaran etik oleh hakim sebagai penegak hukum terus saja terjadi. Pada tahun 2021 misalnya, sebanyak 2.465 hakim dilaporkan ke Komisi Yudisial dengan laporan dugaan pelanggaran etik. 1.473 diantaranya dilaporkan langsung ke Komisi Yudisial (KY), sementara itu, 992 laporan merupakan tembusan kepada KY. Setelah melalui hasil pemeriksaan terbukti 97 hakim dijatuhi sanksi ringan, 71 hakim dijatuhi sanksi sedang, 18 hakim sanksi berat.
Fakta-fakta di atas seyogyanya tidak hanya dilihat sebagai puncak “gunung es” persoalan hakim di Indonesia, namun juga menunjukkan persoalan hakim yang bersifat sistemik. Mengapa sistemik? Sebab, persoalan ini terjadi dari hulu hingga hilir secara tersistem sehingga menghasilkan hakim-hakim yang koruptif.
Padahal, untuk mengantisipasi korupsi peradilan, MA telah melakukan berbagai upaya perbaikan sistem, dari mulai perekrutan hakim hingga sistem pengawasan eksternal dan internal di lingkungan peradilan. Secara eksternal, pengawasan peradilan dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY), bahkan KY yang melakukan proses perekrutan hakim agung.
Sedangkan diinternal pengawasan dilakukan oleh Badan Pengawas (Bawas) yang direkrut dari aparat peradilan dan hakim tinggi yang dilatih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak main-main, Bawas MA melakukan pengawasan peradilan bergerak secara rahasia dan menindaklanjuti setiap laporan yang masuk baik dari laporan manual maupun dari aplikasi sistem informasi pengawasan (Siwas).
Soal Rekrutmen Hakim
Di tengah gurita persoalan etika profesi hakim, proses pengangkatan hakim adalah satu diantara akar persoalan hakim di Indonesia. Proses rekrutmen hakim adalah titik awal yang harus diselesaikan lebih dahulu sebelum sistem lainnya seperti pengawasan dan penindakan dan seterusnya.
Sebagaimana diketahui bahwa proses perekrutan hakim tak ubahnya seperti proses rekrutmen Aparatur Sipi Negara (ASN) pada umumnya sebab hakim juga adalah ASN. Tanpa berpretensi hakim lebih mulia dari ASN pada umumnya, namun apakah dapat disamakan pengangkatan seorang “wakil tuhan” dengan pengangkatan seorang ASN di lingkungan lembaga lain yang mempunyai tugas yang berbeda?. Bukankah hakim adalah aktor utama penegakan hukum (law enforcement).
Dengan hanya bermodalkan lulus Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) dengan menggunakan Computer Assisted Test (CAT), diikuti dengan tes psikotes dan pengetahuan tentang hukum, mengikuti pendidikan hakim, seseorang langsung masuk menjadi calon hakim dan secara bertahap menjadi hakim. Sampai di sini, sistem rekrutmen hakim di Indonesia hanya mengandalkan kemampuan kognitif plus “nasib”.
Untuk melewati ujian seleksi kompetensi dasar dan keahlian yang dibutuhkan adalah kemampuan kognitif dari mulai logika, matematika dasar, wawasan kebangsaan dan tentu kemampuan pengetahuan hukum itu sendiri. Disebut berdasarkan “nasib”, sebab soal-soal SKD adalah pilihan berganda yang bisa dipelajari dengan cara mandiri atau juga kursus.
Maka tidaklah heran jika ada hakim yang sebenarnya adalah orang yang “biasa-biasa saja” namun lulus menjadi hakim. Padahal, tugas dan wewenang seorang hakim bukanlah sesuatu yang biasa. Selain beratnya menimbang neraca keadilan, tantangan berat seorang hakim sangat menantang dan selalu menghadang, baik godaan uang, jabatan dan juga berbagai ancaman yang sangat tidak mudah dan ringan.
Demikian juga dengan rekrutmen setingkat hakim agung. Selain persyaratan yang bersifat normatif seperti pendidikan dan usia, seorang calon hakim agung melewati fit and proper test di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang sungguh belum dijamin objektivitasnya.
Dalam pengangkatan hakim agung, selain kemampuan normatif tentang hukum dan lainnya, faktor koneksi dan aliansi politik sangat menentukan sebab nasibnya ditentukan oleh lembaga politik, DPR. Tidak ada sistem yang bisa menjamin bahwa proses politik di DPR murni dan dapat dipercaya. Justru yang sering terjadi sebaliknya, hubungan-hubungan yang terkait dengan kepentingan sangat terasa dan sulit terhindarkan.
Tak jauh berbeda dengan sistem pengangkatan hakim konstitusi, selain melewati persyaratan normatif, hakim konstitusi dipilih berdasarkan “bagi-bagi kapling” antara presiden sebagai representasi eksekutif, mahkamah agung sebagai representasi yudikatif dan DPR sebagai representasi legislatif dimana masing-masing lembaga memiliki kepentingannya masing-masing. Walhasil, seluruh proses rekrutmen hakim sulit untuk diukur objektivikasinya.
Dari ketiga sistem rekrutmen jenis hakim di atas, bagi penulis tak satupun meyakinkan akan menghasilkan hakim yang berintegritas apalagi agung dan pengawal konstitusi. Padahal, yang dibutuhkan dari hakim bukan hanya kepintaran dan penguasaan aspek hukum untuk memutuskan perkara. Lebih dari itu, yang sangat menentukan tegasknya hukum adalah integritas seorang hakim dalam memutuskan sengketa para pihak dengan bersikap jujur, imparsial dan tanpa kepentingan.
Rekrutmen Melalui Lembaga Pendidikan Khusus
Rekrutmen hakim sebagai orang yang memutuskan dan pengampu keadilan harus dilakukan secara komprehensif dan tentu profesional. Kriteria seorang hakim harus dilihat secara menyeluruh terutama aspek integritasnya. Bahkan, sspek integritas lebih penting daripada keilmuan di bidang hukum.
Integritas adalah pertaruhan kebenaran hakim. Sedangkan keilmuan dan keahlian dapat menyusul kemudian melalui pembekalan dengan pelatihan-pelatihan yang intensif dan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi.
Aspek track record yang jelas dan terukur adalah proses yang harus dilakukan. Seorang calon hakim harus ditelusuri integritasnya dari mulai hal-hal besar sampai hal sekecil-kecilnya. Dalam kajian prilaku hakim (judicial behaviour), William M. Landes and Richard A. Posner dalam Rational Judicial Behaviour A Statistical Study, mengatakan bahwa banyak hal yang harus diketahui dari prilaku hakim, dari hal-hal yang penting hingga hal yang tidak familiar “its vocabulary and empirical methodology are unfamiliar and in part because, demikian ungkap Postner.
Seorang calon hakim harus diketahui track rocordnya sejak dari masa kanak-kanak, remaja hingga ia memperoleh sarjana hukum. Tidak itu saja, rekaman prilaku, hubungan kekerabatan, kebiasaan harus terekam secara detail. Sisi lain yang harus ditekankan adalah lingkungan yang selama ini ia geluti, aliansi organisasi dan seluruh hal yang berkaitan dengan etika dalam rangka untuk memastikan integritas dan tentu juga skill.
Karena itu, untuk melakukan sistem perekrutan seperti itu harus dibentuk sistem pendidikan khusus hakim. Salah satu cara adalah dengan membuat sekolah khusus hakim Dari sekolah inilah hakim-hakim dilahirkan dan berkiprah di lembaga peradilan. Bahkan, pendidikan hukum tidak hanya khusus di tingkat perguruan tinggi, namun sejak dari mulai tingkat sekolah menengah dan atas.
Membentuk karakter hakim yang berintegritas akan lebih mudah dilakukan dengan membentuk sekolah khusus hakim. Pemantauan dan perekaman jejak seseorang akan lebih mudah dan lebih detail. Untuk masuk ke sekolah calon hakim itupun harus melalui sistem rekrutmen yang ketat bahkan super ketat.
Jika penting disiapkan inteligen khusus untuk mengetahui rekam jejaknya sejak kanak-kanak hingga saat ditetapkan menjadi hakim. Kriteria seorang hakim harusnya setengah dari kriteria malaikat, sebab hakim adalah wakil tuhan di muka bumi untuk menegakkan keadilan.
Penulis adalah Pengajar Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sumatera Utara.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.