Oleh: Taufiq Abdul Rahim
Dinamika politik modern nasional semakin memperlihatkan berbagai gejala yang semakin irrasional, bahkan ada usaha untuk mempertegas bahwa, cara menjilat yang paling efektif adalah menyanjung berlebihan serta menjunjung tinggi posisi atasan, agar semakin tinggi dan melambung jauh. Bahkan akhir-akhir ini selama adanya usaha beredar istilah baru yaitu, “Raja Jawa”, meskipun latar belakang darah serta silsilah keturunannya, tidak jelas, absurd bahkan sangat buram jauh dari darah keturunan keningratan yang dianut oleh masyarakat Jawa sejak dahulu kala.
Maka istilah ini mesti diklarifikasi, karena ambisi buta seseorang yang berasumsi bahwa kekuasaan politiknya bisa diolah sedemikian rupa. Meskipun sesungguhnya baik secara aturan hukum, undang-undang, adat-istiadat, sosial budaya serta marwah kerajaan yang mesti dijunjung tinggi oleh semua orang, pihak, individu dan berbagai kelompok masyarakat, partai politik dan semua pihak, termasuk Pemerintah Indonesia, sehingga tidak terkesan berolok-olok, menjilat, mencari peluang dan kesempatan. Sesungguhnya kerajaan di negara ini merupakan salah satu aset yang tidak mudah dipermainkan, diombang ambing oleh kepentingan politik, meskipiun saat ini negara menganut sistem demokrasi politik modern, jangan menghina perlembagaan kerajaan, juga tidak terkesan ingin mengembangkan sistem kehidupan feodal yang “acakadut”.
Demikian juga, yang diasumsikan sebagai “Raja Jawa” mesti dikaji asal-usul keturunan serta silsilah latar belakangnya secara komprehensif, sehingga tidak menimbulkan konflik sosial, baik secara vertikal maupun horizontal, jika yang mengucapkannya melanggar hukum, mesti mendapatkan hukuman yang setimpal. Sehingga tidak mudah mempermainkan serta berolok-olok tradisi kesultanan dan peradaban yang pernah jaya, dan ini dilakukan berulang lagi, karena kepentingan politik “patron and client” memperlihatkan perilaku politik yang “menjijikkan” di tengah kehidupan sosial-kemasyarakatan modern serta rasional dan bertanggung jawab.
Sesuatu hal yang prinsipil dalam politik rasional, masyarakat sudah semakin cerdas dalam berpolitik dan memahami isu politik, akibat dari perilaku rasional, realistis yang tidak mengabaikan keadaban, menjunjung tinggi etika-moral. Hal ini tidak hanya mementingkan jabatan dan kedudukan sebagai elite politik, maka sistem “politik menjilat atasan”, berperilaku bagaikan atasan dan bawahan, tuan dan cuan, hamba dan tuan. Sehingga baik disengaja maupun tidak disengaja, menjadikan sistem demokrasi politik dirusak dengan semena-sema tanpa etika-moral yang rasional. Juga kekuasaan yang berlebihan (abused of power) menjadikannya sangat berkuasa dalam kekuasaan politik, bahkan memberikan kesan sebagai “raja” dengan kekuasaan otoritarianisme politik yang dibanggakan sebagai kekuasaan tunggal orang tertentu, keluarga dan dinasti yang dibangunnya. Ini juga dengan kesewenangan kekuasaan menjadikannya raja yang mesti dipatuhi serta disembah. Dengan demikian kondisi negara dan pemerintahan berada pada kehidupan tradisional otokratik, bukan dalam dibalut fenomena demokrasi politik modern, gila kuasa.
Dalam realitas kehidupan masyarakat atau rakyatnya berada pada kondisi dengan hubungan kekuasaan raja sebagai orang berkuasa secara sadar menggunakan haknya untuk kekuasaan yang tidak terbatas, sebaliknya semua orang dikuasainya menyadari kewajibannya untuk tunduk dan patuh terhadap kebijakan serta kekuasaan politiknya. Hal ini memiliki risiko dan konsekwensi kepatuhan yang besar bahwa, kekuasaan raja adalah segalanya. Sehingga dasar kekuasaan raja menurut Doyle Paul Johnson (1986) yaitu, kekuasaan birokrasi kekuasaan otoritas rasional legal (legal rational authority), otoritas tradisional (traditional authority), dan otoritas karismatik (charismatic authority). Hal ini dalam konteks kekuasaan tradiosional dengan kelebihan yang dimiliki secara karismatik dalam kehidupan tradisional masih memungkinkan dilakukan bagi kekuasaan raja. Dalam dinamika kehidupan sosial masyarakat modern tidak mudah diterapkan, karena informasi serta keterbukaan kehidupan masyarakat sudah jauh lebih bebas.
Karenanya, otoritas kekuasaan raja dalam kehidupan tradisional agak sulit dipaksakan pada kehidupan masyarakat modern, serta demokrasi politik yang memaksakan pengakuan kekuasaan raja yang mesti dipatuhi sepenuhnya. Dalam hal ini kekuasaan yang mendominasi Max Weber (1947) adalah, dominasi ketaatan dan kesucian yang luar biasa dan istimewa, sifat-sifat kepahlawanan atau keteladanan dari pribadi individu, dan pola-pola normatif atau ungkapan tata cara yang dinobatkan olehnya. Sehingga yang dibangun dengan kepercayaan serta penghargaan yang tidak dipaksakan, konon pula disuruh ungkapkan sebagai raja dari orang dibawah kekuasaan perintah, meskipun tersamar seolah-olah dengan tipu daya tidak tahu menahu.
Bahwasanya cerminan serta identitas raja yang sesungguhnya menurut Albrow, Martin (2005) yaitu, semua perintah dipatuhi karena rasa hormat terhadap pola-pola tatanan lama yang lebih mapan. Dengan demikian tidak serta merta mengakui sebagai raja tanpa asal-usul dan silsilah, bukan pahlawan, memiliki cara kekuasaan yang licik memerangkap semua bawahan di bawah perintah kekuasaannya, karena bertahan dalam kekuasaan tiba-tiba menjadi Raja Jawa yang bukan sebenarnya diyakini, dihormati, dihargai serta adanya pengakuan dari masakan tradisional Jawa, secara emprik dan sah diakui oleh masyarakat Jawa, yaitu yang berada dalam Kesultanan Jawa Hadiningrat di Yogyakarta.
Dengan demikian bukan karena “shock” kehilangan kekuasaan yang tidak memiliki pengakuan secara realitas dari seluruh rakyat, bahkan dibenci oleh otoritas resmi Kesultanan Jawa yang sah, karena perilaku kesenang-wenagan meminta diakui sebagai Raja Jawa abal-abal karena ambisi kekuasaan politik.
Sesungguhnya jika memiliki intusi normal, sehat dan memahami diri sendiri tidak ada apa-apanya setelah selama ini disanjung puji dengan berbagai rekayasa kekuasaan, maka masih ada penghargaan darti rakyat. Akan tetapi pada amasa akhir kekuasaan setelah berusaha untuk memperpanjang periode menjadi gagal, ternyata semakin semena-mena merupakan seluiruh elemen kekuasaan politik, baik eksekutif, legislative dan yudikatif, sekedar ingin berkuasa selamanya. Maka kesadaran intelektual, masyarakat kelas menengah yang sebelumnya membangun demoikrasi politik yang berdarah-darash melalui usaha dengan meruntuhkan rezim otoriter.
Namun demikian dengan kebodohan dan tidak memahami dan belajar dari sejarah dan dangkal ilmu pengetahuan serta tidak mimiliki “otak” yang cerdas untuk berfikir. Ini dapat dipastikan akan dengan memanfaatkan kelicikannya selama ini menjerat bawahannya karena berbagai kasus penyelewengan, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta kerakusan menguasai sumber daya alam dan ekonomi, maka dapat dipastikan ambisi kekuasaan Raja Jawa akan sirna, bahkan kemungkinan akan meringkuk dalam penjara dengan kebodohannya sendiri, termasuk orang-orang yang selama ini memanfaatkan kekuasaannya.
Pada akhir periode Raja Jawa yang ambisius ini akan menjadikan bahan ejekan, karena otoritas yang dimiliki akan semakin hilang, keistimewaan normatif secara individu semakin hilang serta mendapatkan perlawan dari semua pihak. Hal ini juga termasuk dari para pemuja, penyanjung akan menghilangkan penghormatan karena kekuasaan politik diikuti dengan kesewenagan anak-isteri, menantu, snaka saudara serta iparnya yang ikut menikmati serta membohongi serta menikmati kerakusan dari hak, kewajiban dan tanggung jawab milik rakyat yang dirampok serta dirampas secara sengaja dan terbuka.
Dengan demikian ambisi kekuasaan politik Raja Jawa dengan berbagai gelar, stigma, ejekan dan tuduhan semakin bergema, diikuti muaknya rakyat melihat perilaku kekuasaan politik, tidak menjunjung tinggi aturan hukum, ketentuan dan etika-moral. Selamat tinggal ambisi kekuasaan politik Raja Jawa, rakyat akan segera membungkam ambisi kesetananmu.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior Political and Economic Research Center/PERC-Aceh