Oleh Sutan Siregar
Pemberian kewenangan untuk memblokir atau memutus akses ruang siber adalah langkah yang sensitif dan memerlukan pertimbangan yang matang terhadap berbagai aspek, terutama dalam konteks keamanan siber dan privasi individu
DPR RI telah mengesahkan revisi UU Polri menjadi usulan RUU inisiatif DPR dalam Rapat Paripurna pada 28 Mei 2024 lalu. Revisi Undang-Undang Kepolisian ini merupakan topik yang penting, mengingat peran vital kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Revisi ini bertujuan untuk menyelaraskan peraturan kepolisian dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat yang semakin kompleks. UU Kepolisian yang ada saat ini mungkin perlu diperbarui untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, dan dinamika sosial yang terus berubah.
Dalam konteks ini, revisi UU Polri bisa mencakup berbagai aspek, seperti peningkatan kapasitas polisi dalam menghadapi tantangan keamanan modern, perubahan teknologi, dan tuntutan hukum yang berkembang. Pengesahan revisi UU Polri ini diharapkan dapat memberikan landasan hukum yang lebih baik dan lebih sesuai dengan konteks zaman saat ini, sehingga kepolisian dapat menjalankan tugasnya secara lebih efektif dan efisien dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Adapun beberapa hal yang berkembang dalam revisi UU ini antara lain; Restoratif justice atau keadilan restoratif. Restoratif justice dipahami sebagai bentuk pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan (Eva Achjani Zulfa, dalam Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana). Konsep ini berbeda dengan pendekatan tradisional yang lebih fokus pada penghukuman pelaku. Dalam konteks revisi UU Kepolisian, integrasi restoratif justice menjadi sangat relevan untuk menciptakan sistem kepolisian yang lebih humanis dan efektif dalam menyelesaikan konflik serta tindak pidana.
Revisi UU Kepolisian yang memasukkan prinsip-prinsip restoratif justice berpotensi untuk mengubah cara kerja kepolisian dalam menangani kasus-kasus kriminal. Tujuannya adalah untuk mencapai keadilan yang lebih holistik, di mana kebutuhan korban untuk mendapatkan pemulihan dan pelaku untuk bertanggung jawab atas tindakannya dapat terpenuhi.
Susan Sharpe seorang ahli berkebangsaan Canada pada tahun 1998 yang dikutip oleh Marlina, memberikan penjelasan kembali terhadap definisi restoratif justice dengan 4 prinsip kunci dari restorative justice yaitu:
Restorative justice invites full participation and consens us (restorative justice mengandung partisipasi penuh dan konsensus), artinya korban dan pelaku dilibatkan dalam perjalanan proses secara aktif.
Restorative justice seeks to heat what is broken (restorative justice berusaha menyembuhkan kerusakan kerugian yang ada akibat terjadinya tindakan kejahatan).
Restorative justice seeks full and direct accountability (restorative justice memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh). Restorative justice seeks to recinite what hasbeen devided (restorative justice mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang telah terpisah atau terpecah karena tindakan kriminal).
Dapat disimpulkan dalam konteks revisi Undang-Undang Kepolisian yang memasukkan prinsip-prinsip restoratif justice, terdapat beberapa hal penting yang berkembang: Pendekatan Keadilan Restoratif: Restoratif justice merupakan pendekatan dalam penyelesaian perkara pidana yang menekankan pemulihan dan rekonsiliasi antara pelaku, korban, dan komunitas yang terdampak, bukan hanya fokus pada hukuman terhadap pelaku. Dalam konteks kepolisian, hal ini dapat mengubah cara kepolisian berinteraksi dengan masyarakat dalam menangani kasus-kasus kriminal.
Humanis dan Efektif: Integrasi restoratif justice dalam UU Kepolisian dapat membawa aspek kehumanisan dalam penegakan hukum. Hal ini melibatkan pemahaman yang lebih mendalam terhadap kebutuhan korban untuk pemulihan, serta memberikan kesempatan bagi pelaku untuk mengambil tanggung jawab atas tindakannya dan memperbaiki kesalahannya. Dengan demikian, kepolisian tidak hanya berperan sebagai penegak hukum, tetapi juga sebagai mediator dan fasilitator dalam mencapai keadilan yang lebih holistik.
Tujuan Holistik: Salah satu tujuan utama dari integrasi restoratif justice adalah menciptakan sistem kepolisian yang mampu memenuhi keadilan secara holistik. Ini melibatkan pemahaman yang lebih dalam terhadap akar permasalahan di masyarakat yang mungkin menjadi penyebab terjadinya tindak kriminal, serta upaya untuk mencegah terjadinya kejahatan di masa depan dengan membangun hubungan yang lebih baik antara masyarakat dan kepolisian.
Dengan demikian, revisi UU Kepolisian yang mengadopsi prinsip-prinsip restoratif justice memiliki potensi besar untuk mengubah dinamika dalam penegakan hukum di Indonesia, menuju sistem yang lebih responsif, inklusif, dan berorientasi pada pemulihan serta rekonsiliasi. Terkait pemberian kewenangan untuk memutus akses ruang siber pemblokiran ruang siber. RUU ini memungkinkan Polri untuk memblokir atau memutus akses ruang siber guna mencegah kejahatan yang sangat meresahkan dan menimbulkan kerugian material bagi masyarakat. Pemberian kewenangan untuk memblokir atau memutus akses ruang siber adalah langkah yang sensitif dan memerlukan pertimbangan yang matang terhadap berbagai aspek, terutama dalam konteks keamanan siber dan privasi individu. Beberapa poin penting yang perlu dipertimbangkan terkait dengan RUU yang memberikan kewenangan ini adalah sebagai berikut:
Perlindungan dari ancaman kejahatan siber: Mengingat ruang siber telah menjadi medan penting dalam kehidupan digital, keberadaan ancaman seperti peretasan, pencurian data, penipuan online, dan serangan siber lainnya menunjukkan perlunya langkah-langkah preventif dari pihak kepolisian. Memungkinkan Polri untuk memblokir atau memutus akses dalam situasi-situasi yang mengancam keamanan publik dan menimbulkan kerugian material bagi masyarakat dapat dianggap sebagai respons yang diperlukan.
Keseimbangan dengan prinsip demokrasi: Penggunaan kewenangan ini harus selalu dijalankan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, seperti transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum yang adil. Langkah-langkah yang diambil harus didasarkan pada hukum yang jelas dan terukur, serta harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Penghormatan terhadap privasi dan kebebasan berpendapat: Penggunaan kewenangan untuk memblokir atau memutus akses ruang siber juga harus menghormati privasi individu dan kebebasan berpendapat. Langkah-langkah ini tidak boleh digunakan sebagai alat untuk membatasi kebebasan berekspresi atau mengawasi secara berlebihan aktivitas online yang sah.
Kontrol dan pengawasan: Diperlukan mekanisme kontrol dan pengawasan yang efektif atas penggunaan kewenangan ini untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil oleh Polri sesuai dengan tujuan dan ruang lingkup yang telah ditetapkan dalam undang-undang.
Dengan demikian, sementara RUU ini memberikan kewenangan tambahan bagi Polri dalam menangani kejahatan siber, penting untuk memastikan bahwa implementasinya sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, menghormati privasi individu, dan tidak disalahgunakan untuk tujuan yang tidak sesuai. Ini adalah langkah penting dalam menjaga keseimbangan antara keamanan siber dan kebebasan digital di era yang semakin terkoneksi ini.
Seterusnya mengenai batas usia pensiun anggota Polri. Dalam UU yang berlaku saat ini, usia pensiun bagi anggota kepolisian umumnya ditetapkan pada usia 58 tahun. Namun, ada usulan untuk memperpanjang usia pensiun ini hingga 60 tahun dan bagi anggota kepolisian yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas kepolisian dapat diperpanjang sampai dengan 62 tahun. Memperpanjang usia pensiun dapat mengurangi kebutuhan untuk melatih personel baru secara terus-menerus, yang bisa menghemat biaya. Anggota kepolisian yang berpengalaman juga dinilai dapat memberikan pelatihan dan bimbingan yang lebih baik kepada personel yang lebih muda.
Usulan untuk memperpanjang batas usia pensiun bagi anggota Polri memiliki pertimbangan yang penting dalam konteks efisiensi organisasi dan pengembangan sumber daya manusia. Beberapa poin yang perlu diperhatikan terkait dengan usulan ini adalah sebagai berikut:
Mengurangi kebutuhan pelatihan baru: Dengan memperpanjang usia pensiun, anggota Polri yang berpengalaman dapat tetap berkontribusi dalam menjalankan tugas kepolisian tanpa harus digantikan oleh personel baru secara terus-menerus. Hal ini dapat mengurangi biaya yang dikeluarkan untuk melatih personel baru serta mempertahankan kestabilan dan kontinuitas dalam organisasi.
Pemeliharaan Pengalaman dan Keahlian: Anggota Polri yang telah berpengalaman biasanya memiliki pengetahuan dan keahlian yang berharga dalam menangani berbagai situasi yang kompleks. Memungkinkan mereka untuk tetap aktif dalam dinamika kepolisian dapat mendukung pemberian pelatihan dan bimbingan yang lebih efektif kepada personel yang lebih muda, sehingga meningkatkan profesionalisme dan kualitas layanan kepolisian.
Penghargaan terhadap Pengabdian: Memperpanjang usia pensiun juga dianggap sebagai bentuk penghargaan terhadap pengabdian jangka panjang anggota kepolisian. Ini mencerminkan pengakuan atas nilai kontribusi dan pengalaman mereka dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Pertimbangan Terhadap Kesehatan dan Kondisi Fisik: Meskipun memperpanjang usia pensiun bisa mengoptimalkan penggunaan sumber daya manusia, penting untuk mempertimbangkan bahwa tidak semua anggota Polri akan dapat mempertahankan kondisi fisik dan kesehatan yang memadai untuk tetap aktif dalam tugas kepolisian hingga usia yang lebih tua. Karena itu, perlu adanya penilaian yang cermat terhadap kesehatan dan kemampuan fisik anggota yang akan memperpanjang masa dinasnya.
Implementasi dan pengawasan: Usulan ini harus diimplementasikan dengan peraturan yang jelas dan mekanisme pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa penggunaan kelonggaran usia pensiun ini tidak disalahgunakan dan tetap sejalan dengan tujuan organisasi serta prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia yang baik.
Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, memperpanjang usia pensiun bagi anggota Polri dapat menjadi strategi yang cerdas untuk menjaga kontinuitas, meningkatkan efisiensi, dan memanfaatkan pengalaman yang berharga dalam menjalankan tugas penting dalam kepolisian. Diharapkan dengan adanya RUU ini, institusi kepolisian dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dalam menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia. Berbagai penambahan kewenangan yang termuat harus disertai dengan pengaturan pengawasan baik internal maupun eksternal.
Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa RUU yang dimaksud bertujuan untuk memperkuat kinerja institusi kepolisian dalam menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia. Penambahan kewenangan yang diatur dalam RUU tersebut harus diimbangi dengan sistem pengawasan yang efektif, baik dari internal kepolisian maupun dari pihak eksternal. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pelaksanaan kewenangan tambahan tidak disalahgunakan dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi manusia.
Pengaturan pengawasan internal dapat membantu dalam memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam setiap tindakan kepolisian. Sementara itu, pengawasan eksternal, seperti oleh lembaga negara terkait atau masyarakat sipil, dapat memberikan tambahan perlindungan terhadap kemungkinan penyalahgunaan kewenangan. Dengan demikian, RUU tersebut diharapkan tidak hanya meningkatkan efektivitas kepolisian dalam menjalankan tugasnya, tetapi juga memastikan bahwa upaya tersebut dilakukan dengan tetap menghormati hak-hak warga negara dan prinsip-prinsip demokrasi.
Penulis adalah Dosen FH UM-Tapsel.