Menjewer

  • Bagikan

Mengangkasa lewat media sosial sehingga jeweran yang mulanya merupakan hal artifisial dan perkara kecil ketika sampai dalam jagad maya menjadi sesuatu yang menarik dalam konteks sosial politik di Sumatera Utara

Hari-hari ini media daring (sosial) sedang meributkan pemberitaan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menjewer pelatih biliar saat pemberian tali asih kepada atlit kejuaraan Pekan Olah Raga (PON) Sumatera Utara.

Selesai memberi sambutan Gubernur Edy Rahmayadi menyaksikan salah seorang yang kemudian dikeenal pelatih biliar atlit Sumatera Utara tidak menggerakkan kedua telapak tangannya untuk bertepuk tangan seperti peserta lainnya sebagai penanda gembira para atlit berkumpul bersama gubernur.

Menyaksikan ada peserta yang tak bertepuk tangan, Gubernur Edy Rahmayadi bertanya kepada seorang peserta yang tidak bertepuk tangan yang diketahui sebagai pelatih biliar. Mendengar jawaban pelatih biliar Gubernur Edy Rahmayadi menjewer telinga pelatih ini di depan khalayak luas (publik).

Tidak lama sesudah menjewer pelatih biliar pemberitaan tentang jeweran gubernur mengalir viral ke media sosial. Karena dijewer di depan publik dan dianggap mempermalukan dirinya di depan publik, sang pelatih biliar akan melaporkan ke kepolisian. Rupanya rencana laporan ini beroleh respons dari pengacara yang akan memberi bantuan hukum kepada pelatih biliar.

Menjewer dalam bahasa sederhana artinya memilin telinga. Memilin sama artinya memegang dan memutar daun telinga. Jika telinga dipilin sepadan artinya dengan menjewer telinga. Menjewer telinga terkait dengan laku seseorang yang diganjar hukuman.

Menjewer telinga pertanda seseorang mendapat hukuman ringan. Selain menjewer telinga, ada lagi sebutan menyelentik telinga. Selentik adalah menempelkan jari tengah ke ibu jari lalu digerakkan ke atas untuk mengenai telinga. Lazimnya yang sering diselentik adalah telinga. Menyelentik telinga berarti mendapat hukuman.

Tahun 1960-an guru sekolah menanamkan disiplin tinggi kepada muridnya. Murid menghormat guru. Guru masih mempunyai banyak waktu mendidik dan mengajarkan sopan santun kepada murid. Kesibukan dan aktifitas guru masih belum sekompleks zaman modern sehingga perhatian terhadap murid masih tinggi.

Meski guru menerapkan disiplin tinggi tetapi bila ada murid yang menganggu atau berbuat iseng kepada murid lainnya atau murid tidak menyelesaikan pekerjaan rumah guru selalu memberi hukuman kepada murid. Jenis hukuman yang selalu digunakan guru adalah menyeterap murid dengan cara meminta murid berdiri beberapa saat tanpa boleh gerakkan tubuh.

Hukuman lain adalah mencubit perut murid. Cubitan guru biasanya cukup sakit membuat murid meringis sebagai pertanda sakit. Ada kalanya guru menampar murid jika kesalahan murid keterlaluan. Masa itu jika ada guru menempar murid, murid hanya merasakan di kelas.

Jarang murid mengadu atau melapor ke orang tuanya. Juga kalaupun orang tua murid mengetahui guru menampar murid, tapi tidak ada orang tua murid yang laporkan perbuatan guru ke pihak lain sebagai tindakan melanggar hukum. Orang tua murid sadar kalau menampar merupakan hukuman kepada murid.

Ada lagi jenis hukuman lain yaitu menjewer. Jika ada murid yang tidak menyelesaikan pekerjaan rumah untuk memberikan efek jera guru selalu menjewer murid. Tetapi jeweran tidak dilakukan secara jasar, terkadang ada yang menjewer dengan menarik kuping ke atas yang acap memunculkan rasa sakit.

Jika guru menjewer murid di kelas, murid lain mengetahui, tetapi mereka diam seribu bahasa. Murid yang dijewer guru menjadi pem bicaraan kawan kawan lainnya di luar kelas. Jeweran guru kepada bukan bertujuan memermalukan murid di depan kelas. Itu semata-mata bentuk hukuman guru.

Viral
Sejak tahun 1980-an sampai sekarang tidak terdengar lagi guru menjewer atau menyelintik murid. Diksi menjewer atau menyelintik menghilang dari sekolah, apalagi menampar murid nyaris tidak ada lagi.

Terutama ketika terjadi perubahan sosial di sekolah dan menaiknya perbincangan hak asasi manusia tidak ada hukuman fisik karena khawatir akan dilaporkan ke kepolosian dengan alasan melakukan tindak kekerasan fisik.

Karena alasan hak asasi manusia orang tua murid jika anaknya ditampar guru akan melaporkannya ke kepolisiam. Dengan selalu mengaitkannya ke hak asazi manusia guru berpikir panjang melakukan jeweran.

Tersebab itu sejak dua puluh tahun terakhir tak terdengar lagi ada guru yang menjewer, menyelentik dan menampat siswa. Padahal semua itu tidak lain cara guru mendidik murid.

Dalam bahasa lain menjewer bermakna memberi teguran kepada bawahan. Biasanya yang menegur bawahan adalah atasan atau orang yang lebih tua. Dengan maksud memberi teguran akan memperbaiki pekerjaan atau laku murid agar tidak memgulanginya lagi.

Jika atasan menjewer bawahan artinya sang atasan telah menegur bawahannya. Menegur bawahan dilakukan secara verbal (lisan) dengan berbagai ragam gaya bahasa, tetapi tidak menyentuh bagian tubuh seperti halnya guru menjewer muridnya.

Diksi menjewer yang tidak pernah lagi keluar sekian lama, tiba-tiba mencuat di media massa elektronik. Diksi menjewer menjadi viral bukan lantaran ada guru yang memberi hukuman kepada muridnya, tetapi Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi menjewer pelatih biliar saat pemberian tali asih kepada atlit Pekan Olah Raga Sumatera Utara. Sewaktu pemb

Jeweran gubernur di depan publik dengan cepat menyebar viral ke dunia maya. Setelah penjeweran itu berbagai komentar dan tanggapan bermunculan yang dianggap tindakan ceroboh di depan publik malah tidak pantas, tidak etis dan tidak selayaknya dilakukan gubernur di depan publik.

Jeweran gubernur justru menjatuhkan wibawanya karena pimpinan tertinggi Sumatera Utara yang memiliki pengaruh kekuasaan menggunakan kekuasaannya tidak pada tempatnya.

Pelatih biliar Sumatera Utara tidak terima beroleh jeweran Gubernur Sumatera Utara karena merasa dipermalukan dan beritanya disebarkan ke jagad raya lewat media sosial yang mendorong dirinya melaporkan ke kepolisian. Pengacara hukum yang bersimpati kepada dirinya ingin membantu proses advokasi hukum.

Menjewer yang dianggap pemberian hukuman kepada murid yang tidak menyelesaikan pekerjaan sekolah, membikin keributan di kelas atau atasan menegur bawahan karena kelalaian dalam menjalankan tugas yang selama ini hanya berada di ruang kelas atau perkantoran.

Kini di masa digitalisasi jeweran gubernur dalam hitungan menit secara bersahutan menyebar di luar batas kelas dan perkantoran secara cepat. Mengangkasa lewat media sosial sehingga jeweran yang mulanya merupakan hal artifisial dan perkara kecil ketika sampai dalam jagad maya menjadi sesuatu yang menarik dalam konteks sosial politik di Sumatera Utara.

Terutama terkait dengan gaya kepemimpinan pejabat publik. Viralisasi Gubernur Sumatera Utara menjewer pelatih biliar dapat dibaca dari macam perspektif sebagai bacaan politik dan psikologis model kepemimpinan di Sumatera Utara. WASPADA

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

  • Bagikan