Oleh: Jannus TH Siahaan
Tak pelak, pemandangan tersebut membawa saya kembali kepada sebuah buku dari salah satu profesor Universitas Negeri Medan (dulu IKIP Medan), yang terbit di tahun 1990an, yakni Profesor Dr Usman Pelly, yang sepanjang pengamatan saya juga sering menulis analisis dan opininya di media ini.
Sepanjang pengetahuan saya, buku tersebut terbit di tahun 1990an, setelah buku Mochtar Naim (1979) dan Taufik Abdullah (1987) terbit. Disunting dari naskah awal sebagai disertasi Usman Pelly di salah satu Universitas kenamaan di Amerika, buku tersebut hadir sebagai kritik sekaligus pelengkap dari teori “Merantau” (Migrasi) yang dicetuskan oleh dua orang pendahulunya. Dalam buku tersebut, Profesor Pelly memberikan narasi interpretatif atas motivasi keperantauan orang Minang dan orang Mandailing di Kota Medan.
Terkait dengan suku Minangkabau, Usman Pelly menawarkan teori alternatif untuk melengkapi teori dari Moctar Naim (1979), sosiolog dari Universitas Andalas, dan Taufik Abdullah (1987), sejarawan LIPI (Hari ini BRIN), yang telah lebih dulu mencoba menjelaskan latar belakang “keperantauan” orang-orang dari suku Minangkabau, lalu Pelly membandingkannya dengan perantau Minang di Medan dan dari Mandailing Natal, suku asal istri beliau.
Untuk kilas balik, menurut Mochtar Naim, keperantauan orang Minangkabau disebabkan oleh faktor budaya, yakni faktor hubungan kekeluargaan di Minangkabau. Sistem hubungan kekerabatan suku bangsa Minangkabau yang matrilineal, yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan, menyebabkan pihak laki-laki dianggap menempati posisi yang relatif lemah, kurang memiliki kebebasan, serta tidak banyak berperan dalam pengambilan keputusan (decision making) dalam keluarga. Menurut Naim, dalam konteks itulah, merantau dilakukan kaum laki-laki Minangkabau.
Sementara itu, tidak berbeda dengan Naim, Taufik Abdullah, juga melihat fungsi merantau sebagai sarana guna mengurai ketegangan internal dari adanya perselisihan antara konsepsi budaya Minangkabau mengenai hubungan antara perorangan dengan masyarakat di satu pihak serta tuntutan struktur kekerabatan matrilineal di pihak lain.
Menurut Usman Pelly, baik Moctar Naim maupun Taufik Abdullah terlalu fokus pada “push factor” yang berasal dari hubungan kekeluargaan yang matrilineal di Minangkabau, sehingga melewatkan faktor-faktor lain yang tidak kalah berperannya di dalam perilaku merantau orang Minangkabau.
Usman Pelly mencoba memperluas kajiannya dengan cara membandingkannya dengan tetangganya, suku bangsa Mandailing. Dengan studinya yang tidak sekedar melihat faktor pendorong, tetapi juga membahas kehidupan perantau di tempat perantauan serta sejauh mana keterikatan mereka terhadap tanah asal, Pelly ingin mempertanyakan dan sekaligus menguji apakah memang sistem kekerabatan matrilineal merupakan faktor yang bermakna dalam mendorong perilaku merantau pada kedua suku bangsa tersebut.
Pelly menyebutkan bahwa Naim dan Abdullah terjebak pada paradigma yang terlalu memusatkan perhatian pada faktor internal-situasional yang menyebabkan mengapa orang-orang Minangkabau merantau, misalnya konflik dengan, atau tekanan dari, keluarga luas (extended family). Kemudian tak lupa pula peristiwa PRRI (1958-1960) dianggap sebagai faktor internal-situasional lain yang dianggap mendorong banyaknya orang-orang Minangkabau meninggalkan kampung halaman.
Dalam penelitiannya, Pelly mendapati data bahwa para perantau Minang terus mengirimkan uang ke kampung halaman mereka untuk membangun rumah atau membeli tanah bagi istri-istri atau saudara-saudara perempuan mereka, dan mencoba menerapkan pengetahuan dan pengalaman mereka untuk pengembangan kampung halaman. Dan hal itu merupakan manifestasi loyalitas mereka terhadap apa yang diperkenalkan oleh Pelly sebagai “misi budaya” perantau Minang, walau cara mereka mengekspresikan loyalitas bisa berubah-ubah menurut strategi adaptasi mereka di perantauan.
Melalui temuan penelitiannya, Pelly hendak menyatakan bahwa dengan adanya loyalitas perantau terhadap keluarga dan daerah asal mereka, berarti keperantauan orang-orang Minangkabau tidak banyak berkaitan dengan lemahnya kedudukan laki-laki serta konflik-konflik yang timbul akibat dari organisasi kekerabatan Minangkabau yang matrilineal, melainkan ada faktor lain yang mendorong mereka, atau secara lebih luasnya seperti suku-suku bangsa lain, merantau, yaitu apa yang disebut Pelly dengan konsep misi budaya (cultural mission).
Menurut Pelly, orang Minangkabau dan juga orang Mandailing yang merantau ke kota Medan, atau ke kota-kota lain, didorong oleh ”misi budaya” tertentu. Dalam konsepsi Pelly, ”misi budaya” adalah seperangkat tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh anggota suatu masyarakat, yang didasarkan pada nilai-nilai dominan dari pandangan dunia masyarakat (world view) bersangkutan. Bagi Pelly, misi budaya inilah yang menggerakkan fase-fase awal migrasi dan misi ini tetap berlaku dan berlangsung terus walaupun banyak orang-orang Minangkabau kini memandang daerah rantau sebagai tempat yang permanen bahkan kampung halaman kedua.
Menurut Pelly, di dalam proses merantau, fungsi alam rantau adalah untuk memperkaya dan menguatkan alam Minangkabau. Kelompok etnik Minangkabau sangat mendorong kaum muda mereka supaya merantau; namun ketika mereka kembali, mereka harus membawa sesuatu yang berharga bagi keluarga dan daerah asal, berupa harta benda atau ilmu pengetahuan, sebagai simbol keberhasilan misi mereka di rantau.
Apabila mereka tidak membawa sesuatu, mereka tidak akan diterima oleh sesamanya di kampung halaman; mereka dianggap telah gagal menjalankan misi budayanya. Penduduk kampung akan menyebut mereka bagaikan “seekor siput pulang ke rumahnya” (pulang langkitang) atau mengatakan mereka “begitu perginya, begitu pulangnya” (baitu pai, baitu pulang).
Dalam konteks misi budaya yang seperti itulah, Pelly mengungkapkan, bahwa pola merantau orang Minangkabau berbentuk circula migration. Bagi mereka alam rantau hanyalah tempat tinggal sementara (temporary settlement), tempat mencari nafkah dan menimba pengalaman untuk bekal hidup nanti di kampung halaman. Sehingga cukup bisa dimaklumi bila investasi dari keuntungan di rantau akan ditanamkan di kampung halaman dalam bentuk rumah, tanah, atau usaha ekonomi lain untuk persiapan di hari tua.
Karena misi budaya Minang tersebut, perantau Minangkabau yang cenderung sirkuler (mobile) dan sangat berorientasi untuk memajukan kampung halaman, membuat perantau Minangkabau lebih banyak memilih pekerjaan yang berada di sekitar pasar atau di sektor perdagangan. Profesi yang banyak dijalankan adalah sebagai pedagang, kaki lima maupun sedang, atau berbagai jenis profesi yang terkait dengan pasar yang ada di sekitar lokasi pusat perdagangan. Dan otomatis, perantau Minangkabau pun lebih cenderung tinggal di sekitar pusat-pusat keramaian dan pusat perdagangan. Pun pilihan organisasinya juga tipikal pembaharuan, yakni Muhammadiyah.
Sementara perantau Mandailing dengan misi budaya untuk melebarkan kekuasaan dan cenderung memilih untuk menetap di perantauan, maka pekerjaan yang paling banyak dijalankan oleh perantau Mandailing di Medan adalah menjadi pegawai negeri sipil dan karyawan tetap. Preferensi profesi ini akhirnya berimbas juga kepada pola pemukiman orang Mandailing yang cenderung tinggal di kawasan pinggiran kota yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk keramaian.
Dalam hemat saya, sebagian besar dari penjelasan dan interpretasi Prof Pelly masih bisa dipakai hari ini untuk memahami mengapa orang Minangkabau di perantauan jauh lebih banyak berada di pusat perdagangan, sementara suku Mandailing lebih memilih menjadi ASN dan pegawai. Boleh jadi pada bagian-bagian tertentu masih bisa diberikan kritik, karena faktor perkembangan zaman yang membuat perantau Minangkabau turunan ke dua atau ketiga tak lagi berorientasikan murni pada misi budaya di atas, lalu memilih berkarir di dalam pemerintahan dan menjadi karyawan tetap.
Tapi setidaknya, buku Profesor Pelly bisa menjadi gambaran jelas atas fenomena keperantauan orang Minangkabau dan orang Mandailing di saat Prof Pelly melakukan penelitian. Dan harus diakui, buku ini memiliki jasa yang besar dalam perkembangan teori migrasi di Indonesia, melengkapi teori yang dipostulasikan oleh Mochtar Naim dan Taufik Abdullah. Analisa-analisa dan interpretasi-interpretasi ilmiah seperti ini sejatinya sangat dibutuhkan hari ini, agar perkembangan teori sosial yang ada tak tertinggal oleh zaman dan dinamika sosial. Namun sampai hari ini, para intelektual Sumut dan Medan belum terdengar lagi gaungnya, sebesar gaung teori yang pernah ditelurkan oleh seorang Prof. Usman Pelly.
Akhir kata, saya ingin mengatakan bahwa opini ini adalah salah satu bentuk pernghargaan saya kepada Prof Usman Pelly di satu sisi dan sebagai pemantik para intelektual Sumut dan Medan di sisi lain, agar terus memberikan interpretasi-interpretasi sosial baru berdasarkan perkembangan yang ada saat ini. Dan sebagai penutup, saya ingin mengucapkan “sehat-sehat selalu, Prof. Pelly. Terima kasih atas sumbangsih intelektualnya.
Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran dan Dosen Pasca UDA Medan
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.