Scroll Untuk Membaca

Opini

Mengadopsi Kepemimpinan Jawa

Mengadopsi Kepemimpinan Jawa

Oleh Zulkarnain Lubis

Sikap dan perilaku ngalah atau mengalah ini bukan berarti benar-benar kalah, perilaku mengalah dipandang sebagai sikap yang positif karena mampu menekan pamrih pribadinya dan mampu mengendalikan nafsunya sehingga dapat mengesampingkan keinginan dirinya

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Mengadopsi Kepemimpinan Jawa

IKLAN

Indonesia kaya dengan kearifan lokal termasuk dalam hal memimpin dan kepemimpinan, salah satu di antaranya adalah kepemimpinan berdasarkan falsafah Jawa. Kearifan lokal ini memiliki nilai yang luhur dan masih relevan dijadikan sebagai pedoman dalam memimpin baik untuk organisasi, institusi, maupun di pemerintahan, setidaknya dengan mengkombinasikannya dengan kepemimpinan modern. Dalam berbagai tulisan dikatakan bahwa karakteristik kepemimpinan (leadership characters) para raja yang memimpin kerajaan di Jawa secara umum dikenal rendah hati, waspada, sabar, taat beragama, prihatin, suka bekerja keras, mampu mengintrospeksi diri, berpendirian teguh, menjunjung tinggi nilai kesusilaan, tekun, santun, dan lain-lain.

Sifat dan karakteristik raja Jawa dalam konteks budaya dan sejarah sering kali diidentifikasi melalui berbagai atribut dan nilai-nilai adat yang dijunjung tinggi, yaitu adil dan bijaksana, berlaku rukun dan harmonis, berwibawa dan berkarisma, paham kebudayaan dan adat istiadat, bertanggung jawab dan tegas, memiliki spiritualitas yang tinggi, sabar dan penuh perhitungan, dan pemelihara kesejahteraan. Meskipun tentu saja, gambaran ini merupakan idealisasi yang mungkin tidak selalu sesuai dengan kenyataan sejarah setiap raja, masing-masing raja pastilah memiliki kepribadian dan gaya kepemimpinan yang unik yang dipengaruhi oleh zaman dan konteks sosio-politik pada masa pemerintahannya, namun karakteristik tersebut di atas tetap menjadi acuan dalam menilai kepemimpinan dalam budaya Jawa.

Ada tiga ungkapan yang berisi nasihat yang menjadi pantangan serta tidak pantas dan tidak layak dilakukan oleh seorang pemimpin dalam masyarakat Jawa agar pemimpin itu dapat menjalankan amanahnya dalam menjalankan kepemimpinannya, yaitu adigang, adigung, adiguna. Adigang artinya adalah mengandalkan kekuatannya, adigung artinya adalah membanggakan kebesarannya dan adiguna maksudnya adalah membanggakan kepintarannya. Intinya, seorang pemimpin tidak boleh sombong dan lupa diri ketika mendapatkan kebaikan, tidak sombong ketika memperoleh kepandaian, tidak sombong ketika mendapatkan kekayaan, serta tidak menyombongkan diri sedang mendapatkan kekuasaan.

Ketiga pantangan adigang, adigung, adiguna dianggap sebagai gambaran watak binatang, adigang merupakan gambaran watak kijang yang sombong karena kecepatan lari, adigung merupakan gambaran watak gajah sombong karena kelebihannya dengan tubuh yang besar dibandingkan hewan yang lainnya, dan adiguna sebagai gambaran watak ular yang menyombongkan diri karena memiliki racun yang ganas dan bisa mematikan siapa saja yang digigitnya. Dengan kata lain, adigang, adigung, dan adiguna adalah falsafah Jawa berisi nasihat agar seorang pemimpin tidak berwatak angkuh atau sombong dengan kekuatan, kekuasaan, dan kepintaran yang dimilikinya, serta tidak boleh menjadi bersikap sewenang-wenang terhadap orang lain, terutama terhadap rakyat, bawahan, dan karyawannya. Pemimpin yang bersifat dan bersikap adigang, adigung, adiguna seperti kesombongan ketiga hewan tersebut dipastikan akan menjadi pemimpin yang otoriter.

Pemimpin yang memiliki sifat dan sikap adigang, adigung, adiguna sering pula melakukan pantangan lain yang sebaiknya dihindari, yaitu “sapa sira sapa ingsun” yang secara harfiah diartikan sebagai “siapa kamu, siapa aku”. Ungkapan ini menunjukkan perasaan perbedaan kelas antara seorang yang berbicara yang biasanya seorang pemimpin dan yang diajak bicara, biasanya adalah bawahannya, karyawannya, anggotanya, rakyatnya, atau siapa saja yang dianggapnya posisi atau statusnya lebih rendah darinya. Ungkapan sapa ingsun atau siapa aku menunjukkan kesombongan seseorang atas status sosialnya sebagai pemimpin yang lebih terhormat dibanding sapa ingsun atau siapa kamu yang posisinya atau status sosialnya lebih rendah yaitu sebagai rakyat, bawahan, karyawan, atau anggotanya. Biasanya posisi lebih terhormat ini bisa juga terkait dengan harta, kepandaian ilmu, jabatan, atau posisi strategis lainnya. Watak “sapa sira sapa ingsun” yang memandang rendah bawahan dan karyawannya akan menyebabkan mereka tidak dapat berkomunikasi dengan sang pemimpin secara fair dan transparan dan akan jauh dari suasana demokrasi karena akan ada kendala psikologi bagi bawahan yang merasakan posisinya lebih rendah.

Untuk menghindari watak adigang, adigung, adiguna, dalam falsafah Jawa diingatkan untuk “aja dumeh” yang berarti jangan semena-mena, jangan sok termasuk jangan sok kaya, jangan sok pintar, dan jangan sok menang sendiri. Ojo dumeh mengajarkan orang, termasuk pemimpin, untuk tenggang rasa, menahan diri, dan merendah sehingga menjadi kendali bagi seorang pemimpin untuk tidak terjebak pada perilaku sewenang-wenang dan menyombongkan diri. Agar terhindar dari watak adigang, adigung, adiguna, dalam masyarakat Jawa dikenal juga falsafah kehidupan yang sangat kuat dalam menjunjung tinggi sopan santun dan kerendahan hati, yaitu “aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa “ yang secara harfiah berarti jangan merasa bisa, tetapi bisalah merasa.

Ungkapan itu bernada nasihat agar seseorang tumbuh menjadi sosok yang rendah hati, tidak sebaliknya tumbuh menjadi sosok yang tinggi hati atau sombong. Jangan merasa bisa tentu diartikan juga sebagai tidak sok bisa, tidak merasa lebih hebat, dan tidak selalu ingin mempamerkan kebisaannya, sementara bisa merasa artinya seorang pemimpin harus bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, terutama orang yang dipimpinnya, bawahannya, karyawannya, anggotanya, atau rakyatnya. Bisa merasa ini tentu terkait juga memimpin menggunakan rasa atau berempati terhadap pihak lain, terutama bawahannya, anggotanya, karyawannya, maupun rakyatnya.

Dalam hubungan bisnis, bisa merasa tentu juga dimaknai sebagai merasakan apa yang dirasakan pelanggannya, kliennya, mitranya, maupun pihak lain yang mungkin mendapatkan dampak atas kebijakan dan keputusannya. Pemimpin yang bisa rumangsa adalah pemimpin yang sensitif yang dapat merasakan kebutuhan kelompok yang dipimpinnya, dapat menilai mereka, dan membimbing mereka ke suatu arah yang diinginkan dan yang dituju oleh organisasi, lembaga, atau institusi yang dipimpinnya.

Karakter kepemimpinan lain yang tergambar dalam masyarakat Jawa adalah watak “andhap asor lan lembah manah” yang berarti sopan santun dan rendah hati. Kesopanan dan kerendahan hati yang tertanam dalam masyarakat Jawa dan juga tercermin dalam kepemimpinan Jawa termasuk kemampuan seorang pemimpin dalam menjaga emosi dan dalam mengekspresi diri ketika sedang berinteraksi dengan orang lain. Implementasi dari andhap asor lan lembah manah ini juga ditunjukkan dalam gaya hidup yang tidak glamor.

Dalam berbagai urusan dengan orang lain, pemimpin yang memiliki sikat andhap asor lan lembah manah akan selalu menjaga untuk tidak mengupayakan dan tidak menonjolkan pamrih pribadi, serta lebih mendahulukan, mengutamakan, dan menjunjung titnggi kepentingan bersama. Bukan hanya itu, andhap asor lan lembah manah juga tergambar dalam cara bersikap dan bahasa tubuh, termasuk cara seseorang berjalan, cara duduk, dan cara berbicara.

Seorang pemimpin dalam masyarakat Jawa juga harus “berbudi bawa leksana” yaitu sosok yang dalam setiap ucapannya dilaksanakan dengan penuh konsekuen dan tanggung jawab. Pemimpin yang berperilaku “berbudi bawa leksana” cenderung bersikap memberi atau beramal kepada bawahan atau orang lain serta cermat dan hati-hati sebelum dirinya menyampaikan ucapan atau memutuskan sesuatu masalah yang menuntut dirinya harus bertanggung jawab atas segala yang diputuskannya. Sikap “berbudi bawa leksana” akan mendorong roda kepemimpinan atau pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena didukung oleh semangat demi tegaknya peraturan yang telah ditetapkan dan diamanatkan kepadanya untuk dijalankan. Pemimpin demikian akan menempatkan dirinya sebagai sosok teladan bagi rakyatnya, bawahannya, anggotanya, karyawannya, atau rakyatnya, serta melaksanakan tugas secara tepat sebagai pemimpin.

Pemimpin pada masyarakat Jawa juga dituntut untuk memegang prinsip “wani ngalah luhur wekasane” yang maknanya adalah berani mengalah, untuk keluhuran dan kebaikan bersama. Pemimpin yang wani ngalah luhur wekasane akan selalu berupaya tidak menonjolkan pamrih pribadi demi mendahulukan kepentingan bersama dan kebersamaan atau menghargai orang lain. Sikap dan perilaku ngalah atau mengalah ini bukan berarti benar-benar kalah, perilaku mengalah dipandang sebagai sikap yang positif karena mampu menekan pamrih pribadinya dan mampu mengendalikan nafsunya sehingga dapat mengesampingkan keinginan dirinya. Sebaliknya sikap pemimpin yang selalu ngotot dalam berpendapat atau dalam mencapai suatu tujuan tanpa memperhatikan situasi dan kondisi justru dinilai sebagai sosok negatif sebagai pimpinan yang tidak matang. Orang yang berperilaku mengalah dianggap sebagai pribadi pimpinan yang demokratis dan mampu menjaga keharmonisan hidup sosial.

Pada kepemimpinan Jawa tergambar pula asah, asih dan asuh. Kata asih bermakna segala aspek yang berkaitan dengan kasih sayang yaitu pelayanan kasih, saling memberi dan menerima, penuh perhatian, serta mengedepankan hubungan persahabatan, Selanjutnya asah berhubungan dengan aspek pengembangan pribadi yaitu sifat dan sikap membimbing, mendidik, dan bantuan lain dalam rangka pengembangan kapasitas dan kapabilitas bawahan dan orang-orang yang dipimpinnya. Sementara itu, asuh berkaitan dengan dukungan, perhatian, penjagaan, perawatan, dan pemeliharaan, sehingga orang-orang yang dipimpinnya tetap bisa berdiri tegak dalam menjalani hidupnya dan membina karirnya dengan rasa percaya diri yang tinggi.

Demikianlah karakter kepemimpinan yang ada pada masyarakat Jawa, yaitu pemimpin tidak menyombongkan diri atas keberadaannya, keilmuannya, dan kekuasaan yang ada dalam genggamannya, rendah hati, berbudi pekerti, memiliki kepedulian terhadap orang-orang yang dipimpinnya, berani mengalah demi kepentingan yang lebih luas, bertanggungjawab atas amanah yang diembannya, tidak semata-mata mengedepankan akal tetapi juga menggunakan rasa dan hati, serta memiliki sopan santun, adab, dan budi pekerti yang mulia dalam menjalankan kepemimpinannya.

Penulis adalah Ketua Program Doktor Imu Pertanian, Program Magister Agribisnis, Ketua Dewan Guru Besar UMA.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE