Menegakkan Moral Akademik

  • Bagikan
<strong>Menegakkan Moral Akademik</strong>

Dalam melaksanakan tugas intelektualitasnya, para akademisi memiliki empat landasan berpikir yang senantiasa dan yang semestinya digunakan. Prinsip ilmiah dan objektif, senantiasa mengembangkan pemikiran ilmiah dan obejektif, tidak emosional dan simplistik (dangkal)

Degradasi moral akademik, barangkali menjadi salah satu isu yang aktual untuk diperbincangkan, dalam berbagai kasus yang terjadi baik dari segi kualitas maupun dari segi kuantitasnya terus mengalami peningkatan yang signifikan. Kasus-kasus yang menyalahi moral akademik terus menghiasi pemberitaan media massa, mulai dari kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme, bahkan sampai pada kasus-kasus pelecehan seksual, pornografi, hingga pelacuran.

Berbagai kasus ini menjadi permasalahan yang terkesan biasa di mata masyarakat sekarang, bukan sesuatu yang luar biasa dan mengejutkan lagi. Menegakkan moral akademik baik di dalam maupun di luar, sesungguhnya menjadi kewajiban masyarakat akademik dalam rangka mewujudkan peradaban yang semakin berdaya dan memiliki martabat yang tinggi karena keilmuan dan keimanan yang dimilikinya.

Terdapat beberapa alasan utama, mengapa menjadi sangat penting menegakkan moral akademik ini. Pertama, kenyataan sejarah bahwa para akademisi sebagai kaum intelektual menempati posisi yang sangat strategis dalam perkembangan setiap bangsa.

Kedua, kenyataan sejarah bahwa berhasil atau tidaknya perkembangan suatu bangsa menjadi bangsa yang modern, sejahtera, dan religius, para akademisi sebagai kaum intelektual dipandang paling bertanggungjawab terhadapnya, ketiga. sejalan dengan perkembangan dunia yang semakin modern, dan digerakkan oleh ilmu serta teknologi, yang berimplikasi pada pola pikir yang lebih rasional. Peralihan ini seringkali menimbulkan krisis, terutama krisis moral maupun spiritual, Di sinilah peranan para akademisi sebagai kaum intelektual perlu ditoleh, sebagai yang dipandang menggerakkan perkembangan masyarakat mewujudkan kemajuan yang berketuhanan.

Para akademisi sebagai kaum intelektual dan posisinya sebagai tauladan, seharusnya kaum intelektual dituntut mempunyai kapasitas diri yang berketuhanan dan berkemampuan mendemonstrasikan moralitas dalam kehidupan. Jika tidak, maka posisinya sebagai tauladan tidak akan berjalan secara efektif. Pada mulanya kata Intelektual merupakan istilah dalam filsafat, berasal dari kata Intellect (Perancis); Reason (Inggris), ‘Aqal (Arab), dan Itellegentia (Latin), yang dipakai untuk menjelaskan kekuatan berpikir yang terdapat dalam diri manusia. Akan tetapi pada perkembangan lebih lanjut, kata intelektual ini digunakan untuk menyebut orang-orang terpelajar atau cerdik dan pandai.

Manusia dalam sudut pandang ilmu filsafat memiliki dua model keperibadian, Pertama. Keperibadian intelektual, yaitu kemampuan menalar, meneliti, dan mengkritik, sekaligus menyusun ulang konsep terkait apa yang menjadi keyakinannya selama ini. Kedua, Keperibadian hati nurani, yaitu kemampuan merasa, merasakan kebahagiaan, kegembiraan, kesedihan, penderitaan, dan keterbatasan.

Berdasarkan sudut pandang ini, maka kaum intelektual adalah orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan untuk menganalisis, memikirkan ulang dengan akalnya, serta menyusun konsep sebagai jawaban terhadap berbagai permasalahan hidup yang dirasakan oleh masyarakat. Dalam rangka menegakkan moral akademik ini, semestinya para akademisi sebagai kaum intelektual memiliki landasan berpikir dan landasan aksi yang menjadi acuan untuk aktivitas dan kegiatan berpikir maupun aksi mereka.

Dalam melaksanakan tugas intelektualitasnya, para akademisi paling tidak memiliki empat landasan berpikir yang senantiasa dan yang semestinya digunakan. Pertama, prinsip ilmiah dan objektif. Para akademisi senantiasa mengembangkan pemikiran ilmiah dan obejektif, tidak emosional dan simplistik (dangkal).

Kedua, prinsip tauhid. Pernyataan diri sebagai makhluk beriman mengandung berbagai konsekuensi, salah satunya yang paling fundamental adalah pengakuan yang tulus bahwa Tuhanlah satu-satunya sumber otoritas yang serba mutlak dan menjadi tujuan dari semuanya. Landasan ini mengisyaratkan bahwa seorang intelek, hendaknya senantiasa mendekatkan diri pada-Nya.

Pendekatan diri itu diwujudkan dalam merentangkan garis lurus antara dirinya dengan Tuhan secara jujur dan berhimpitan dengan hati nurani yang membawa pada penegakan moral. Prinsip ini membawa kepada tiga sikap: (1) Tidak memutlakkan selain Tuhan atau tidak mengedepankan gagasan-gagasan untuk kepentingan lain, (2) Tidak menyombongkan diri. (3) Memiliki kebebasan diri pribadi dan moralitas yang tinggi. (4) Selalu mengembangkan kehidupan musyawarah dalam kehidupannya. Sebab hanya dengan sikap seperti itulah gagasan-gagasan seorang intelektual akan bermakna bagi pengembangan masyarakatnya.

Ketiga, manusia adalah khalifah Tuhan di bumi, yang harus mengolah dan memelihara-nya demi kebahagiaan mereka. Landasan ini menjadikan para akademisi sebagai kaum intelektual mengusahakan agar bumi menjadi makmur dan membahagiakan manusia tanpa terkecuali. 

Keempat, prinsip tanggungjawab moral. Agar gagasan-gagasannya dapat berhasil para akademisi sebagai kaum intelektual harus memiliki moral yang tinggi, suatu moralitas yang berlandaskan kesadaran diri secara otonom.

Dalam hal landasan aksi, paling tidak terdapat tiga landasan yang semestinya dimiliki para akademisi sebagai intelektual. Pertama, kebebasan menetapkan keputusan demi masa depannya yang lebih baik. Kedua, kebebasan berpikir, dengan metode tersendiri dan sesuai dengan undang-undang (logika) berpikir. Ketiga, menegakkan zikir untuk mengasah hati nuraninya sehingga mampu mengontrol apa yang dihasilkan pikirannya.

Landasan aksi ini melahirkan dinamika, holistika, dan tidak dikotomis. Pada gilirannya melahirkan keseimbangan dalam tiga segi aktifitasnya, yaitu: pikir, zikir, dan amal saleh. Sebab dalam sejarahnya, yang dapat disumbangkan para akademisi sebagai kaum intelektual pada bangsanya senantiasa meliputi tiga hal yakni sumbangan pikiran, sumbangan tenaga, dan sumbangan dana. Ketiga sumbangan ini dapat diberikan apabila ia mampu mengasah intelektualitasnya secara tajam dan tetap dalam kerangka ridha Tuhannya.

Ciri khas para akademisi sebagai kaum intelektual terletak pada karekter, watak, yang teguh pendirian, lepas dari kepentingan diri, golongan, lepas dari soal kedudukan, pangkat atau harta. para akademisi sebagai kaum intelektual harus tegas atas kebenaran, sebab ilmu yang menjadi ciri khasnya senantiasa mencari kebenaran. para akademisi sebagai kaum intelektual merupakan seorang pemikir tanpa kepentingan, seseorang yang melayani pengetahuan tanpa terpengaruh oleh kecenderungan sosial dan materialis. Dua sorotan di atas memperlihatkan bagaimana kesucian jiwa dan sikap konsisten yang dimiliki para akademisi dalam menjalankan tugas-tugas intelektualitasnya.

Dari analisis di atas dapat disimpulkan bahwa menegakkan prinsip moralitas menjadi suatu keharusan bagi masyarakat akademik. Karenanya sebagai konsekuensi dari jalan hidup yang dilakoni masyarakat akademik, maka penegakan prinsip-prinsip tersebut dalam manajemen kehidupan menjadi keniscayaan untuk pemberdayaan umat dalam berbagai aspek kehidupannya hingga mereka menjadi manusia modern yang berkualitas dan dapat bermanfaat bagi manusia dan peradaban demi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Penulis Marlian Arif Nasution adalah PNS, Dosen STAIN Mandailingnatal (Kordinator Bidang Pengembangan Standar Mutu)Muhammad Ikbal adalah PNS, Dosen STAIN Mandailingnatal (Kepala Pusat Penjaminan Mutu).

 


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

<strong>Menegakkan Moral Akademik</strong>

<strong>Menegakkan Moral Akademik</strong>

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *