Menu
Pusat Berita dan Informasi Kota Medan, Sumatera Utara, Aceh dan Nasional

Menanti Komisioner Baru

  • Bagikan

Berikutnya, menanti komisioner baru, para komisioner pusat juga harus berani membangun dan menjaga relasi yang harmonis antara institusi KPU, Bawaslu, dan DKPP. Sehingga, ketika relasi di pusat bisa berjalan dengan harmonis, maka di daerah akan mengikuti.

Tim Seleksi (Timsel) calon anggota KPU dan Bawaslu RI telah selesai menjalankan tugasnya. Dimana, Timsel telah menyerahkan 24 nama calon anggota KPU dan Bawaslu RI ke Presiden Joko Widodo (06/01/22). Dari 24 nama itu ada 14 orang untuk calon anggota KPU RI dan 10 orang untuk calon anggota Bawaslu RI.

Selanjutnya, Presiden Jokowi akan ikut menilai dan mempertimbangkan nama-nama calon tersebut sebelum diserahkan ke DPR RI. Secara normatif, nama-nama tersebut harus sudah disampaikan ke DPR RI dalam 14 hari ke depan.

Nantinya, di tangan komisi II DPR RI inilah nasib kejelasan para calon anggota KPU dan Bawaslu ini akan ditentukan. Apakah mereka akan terpilih sebagai anggota KPU dan Bawaslu atau tidak?

Tentunya, sampai di tahapan ini, para calon mau tidak mau harus melakukan lobi-lobi politiknya. Baik itu ke pihak elit pengurus partai politik (Parpol) maupun kepada anggota Parpol yang duduk di Komisi II DPR RI. Sekalipun mekanisme penentuannya melalui uji kelayakan dan kepatutan, lobi-lobi politik tidak bisa dihindari.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah para calon tersebut masih bisa memegang teguh prinsip mandiri, bebas, dan independen ketika sudah terpilih? Tentunya, pertanyaan ini sejatinya hanya bisa dijawab sendiri oleh para calon. Mengingat, jabatan yang akan diemban selama 5 tahun ke depan tentu akan bersinggungan dengan kekuatan Parpol tertentu.

Ditambah lagi, kekuatan politik dalam menyongsong Pemilu dan Pemilihan 2024 akan mengerucut kepada satu kekuatan Parpol tertentu. Maka, di titik inilah Parpol terkuat tersebut akan mendapat benefit politik dari para komisioner (anggota KPU dan Bawaslu) yang telah didukung dan dipilih.

Bila situasi dan kondisi ini terus terjadi, maka jangan heran bila para komisioner (pusat hingga kabupaten/kota) masih ada yang bermain di dua kaki. Alih-alih mandiri dan independen, para komisioner justru akan mengambil keuntungan pribadinya di saat berlangsung Pemilu 2024.

Sokongan Semu

Bila melihat dinamika proses seleksi akhir calon anggota KPU dan Bawaslu RI yang sedang berjalan sekarang, pertanyaan timsel cenderung yang normatif. Nyaris tidak ada ditemukan pertanyaan bagaimana bentuk sokongan riil kepada para komisioner di bawah (provinsi dan kabupaten/kota) bila ada yang tersangkut masalah hukum.

Padahal sokongan riel ini sangat dibutuhkan oleh para komisioner di daerah. Tentunya, sokongan riel tersebut juga harus didukung oleh infrastruktur institusi yang resmi. Mengingat, masih ada ditemukan kasus pelanggaran kode etik atau perilaku yang sering dihadapi oleh para komisioner.

Dari catatan media sepanjang 6 tahun terakhir, ada 44 kasus korupsi yang melibatkan KPU di berbagai daerah. Begitu juga yang terjadi di Bawaslu (berbagai daerah) ada 43 kasus. Lain lagi 1.046 orang penyelenggara Pemilu yang sudah dikenakan sangsi etik (tajuk rencana Kompas, 10/01/22).

Sudah pasti, nasib para komisioner di berbagai daerah ada yang mengalami dismotivasi. Karena secara institusi, penyimpangan atau dugaan pelanggaran hukum tidak akan berdiri sendiri. Pasti ada yang terjadi karena unsur percepatan kerja dan desakan dari berbagai pihak. Apalagi bila periode kasus yang terjadi berlangsung saat adanya tahapan Pemilu dan Pemilihan (Pilkada).

Pada titik inilah, para komisioner di berbagai daerah sering tidak mendapat sokongan kongkret dari para komisioner di pusat. Dari pengamatan penulis selama ini, nyaris tidak ada pendampingan dalam bentuk pembelaan hukum yang kongkret dari komisioner di pusat kepada jajarannya di bawah.

Memang ada sokongan dalam bentuk pendampingan di saat para komisioner disidang oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Tapi itupun sifatnya normatif dan tidak melekat kepada para komisioner yang sedang menjalani proses hukum.

Bisa dikatakan, sokongannya bersifat semu karena tidak mendapat pembelaan yang tuntas. Kasus inilah yang pernah dialami oleh anggota KPU RI Evi Novida Ginting dan Arif Budiman. Sampai-sampai, kedua punggawa KPU RI itu harus turun gunung mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terkait batas kewenangan DKPP.

Itu masih kondisi yang terjadi di level para komisioner, sering tidak mendapat pendampingan/pembelaan hukum dari institusi KPU atau Bawaslu. Bagaimana dengan para penyelenggara Pemilu yang sifatnya Adhoc?

Setelah penulis dalami, ternyata selama ini perangkat insfrastruktur birokrasi di KPU atau Bawaslu tidak ada khusus untuk memberikan pendampingan/pembelaan hukum. Inilah satu persoalan yang harus dituntaskan oleh para komisioner baru yang terpilih nanti.

Persoalan lainnya adalah selalu meruncingnya relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP. Apalagi DKPP, sebagai penentu tunggal bersalah atau tidaknya para penyelenggara Pemilu masih memiliki kewenangan yang ‘absolut’. Oleh karena itu, diktum putusan DKPP final dan mengikat itu sampai harus diuji materi ke MK.

Sering meruncingnya relasi lembaga KPU, Bawaslu, dan DKPP selama ini tidak terlepas dari pengkondisian regulasi yang terlihat masih memelihara dan menciptakan konflik horizontal. Kelemahan regulasi ini pasti tidak terlepas dari campur tangan DPR RI dan pemerintah sebagai pembuat Undang-Undang.

Ditambah lagi dugaan masih kuatnya unsur politis dibalik penetapan salah satu komisioner (pusat, provinsi, kabupaten/kota) sebagai terperiksa. Karena itu, penulis usulkan kedua persoalan di atas bisa segera menjadi agenda perbaikan dari para komisioner baru yang terpilih nanti. Tujuan perbaikan itu muaranya hanya satu yakni adanya sokongan kongkret dari para komisioner RI kepada para komisioner di daerah yang tersangkut masalah hukum atau pelanggaran etik.

Berharap Terobosan

Bentuk sokongan kongkret itu bisa diwujudkan dalam infrastruktur resmi kelembagaan. Misalnya melalui pembentukan biro bantuan hukum yang bertugas mengawal dan membela para komisioner yang tersangkut masalah hukum.

Di samping kebutuhannya untuk para komisioner, biro tersebut juga akan ikut mengawal para staf sekretariat KPU (pusat, provinsi, kabupaten/kota) yang tersangkut masalah hukum. Kebutuhan tersebut sebenarnya sangat mendesak untuk difasilitasi oleh institusi.

Mengingat, beban kerja penyelenggara Pemilu dan staf sekretariat akan sangat berat karena jadwal dan tahapan Pemilu dan Pemilihan 2024 berlangsung beririsan. Tentunya, terobosan ini membutuhkan dukungan kerjasama para komisioner dengan pejabat di internal dan eksternal institusi KPU.

Poin ini setidaknya menjadi sebuah keniscayaan bagi para insan penyelenggara Pemilu dalam membangun semangat soliditas dan solidaritas.

Berikutnya, menanti komisioner baru, para komisioner pusat juga harus berani membangun dan menjaga relasi yang harmonis antara institusi KPU, Bawaslu, dan DKPP. Sehingga, ketika relasi di pusat bisa berjalan dengan harmonis, maka di daerah akan mengikuti.

Memang pekerjaan ini tidaklah gampang, tapi tidak juga terlalu sulit untuk diwujudkan. Sekarang tinggal bagaimana para komisioner tersebut bisa berbagi peran demi menjaga soliditas dan solidaritas di internal.

Jika di internal sudah solid, dengan sendirinya memudahkan membangun relasi dengan eksternal. Mengingat KPU dan Bawaslu dalam tugasnya bisa kok habis-habisan menghadapi Parpol dan para elit penguasa di MK ketika terjadinya sengketa hasil Pemilu atau Pilkada. Semangat itu pulalah yang seharusnya terinternalisasi dan diwujudkan para komisioner di pusat.

Karena apapun ceritanya, momen Pemilu dan Pemilihan 2024 nanti semua masyarakat harus bergembira, termasuk bagi para penyelenggara pemilu. Buat apa rakyat dan para calonnya bergembira pasca Pemilu dan Pemilihan, tapi para penyelenggara Pemilu harus gigit jari.

Karenanya, soliditas di institusi KPU dan Bawaslu harus dipelihara dengan baik dan membudaya. Supaya loyalitas itu juga bisa ditunjukkan oleh para komisioner di level provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan begitu, institusi akan tetap kokoh dan kuat sepanjang masa sekalipun masa jabatan para komisionernya terus silih berganti. WASPADA

Penulis adalah Alumnus Fakultas Ilmu Budaya USU, Peminat Pemilu

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *