[Sebuah Refleksi dari Tragedi Pencopotan Sekda Aceh Besar – Saling Sikut Alumni Praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN)]
Oleh : Muhammad Aufa Alwan, Lc.
Ie Jok Masam Seulimeum Ala Kanibalisme – Marco Polo
Banda Aceh merupakan sebuah kota kecil dengan sejarah panjang. Marco Polo pernah menginjakkan kakinya di kota ini pada 1292. Bahkan, Ibn Battutah pernah singgah di sini tahun 1345. Abad ke 17 Banda Aceh menjadi pusat kesultanan di bawah kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Belanda menguasai Banda Aceh tahun 1873. Perang Belanda dan Aceh bertahan sampai 1903.
Pada awalnya, kota ini dikenal dengan sebutan Bandar Aceh Darussalam. Bandar berasal dari bahasa Persia yang berarti pelabuhan. Di kota ini dahulunya adalah pusat pemberangkatan haji melalui jalur laut. Tidak heran, Banda Aceh dikenal juga dengan sebutan Serambi Makkah.
Aceh kaya akan rempah. Kekayaan Aceh menarik banyak ‘pengunjung’ dari luar. Sejak abad ke 15, banyak kapal laut asing yang melewati Selat Malaka. Kesultanan Aceh memiliki hubungan bilateral yang kuat di masa itu. Turki Usmani pernah membantu kerajaan Aceh melawan Portugis dari awal abad ke 15 sampai abad 16.
Samudra Pasai bahkan sudah dikenal sebagai Kesultanan Islam terkuat pada abad 13. Pasai berperan penting dalam pengawasan perdagangan jalur laut melewati Selat Malaka.
Kekuatan perairan Aceh kala itu sangat diperhitungkan. Kapal asing yang masuk ke kawasan Aceh harus siap siaga. Ambisi Portugis menguasai kawasan Malaka melahirkan gejolak politik. Tidak terkecuali dengan kerajaan Aceh yang menolak pengaruh Portugis di wilayah Asia. Kedatangan Portugis tahun 1519 memicu konflik berdarah.
Sultan Ali Mughayat Syah memimpin pasukan berjumlah 1.000 orang dengan 15 gajah. Serangan pada pasukan Portugis terjadi pada 1522, menewaskan 35 orang termasuk komandan. Pasukan Portugis akhirnya menuju Pasai. Profesor asal Belanda pernah menjadi penguji disertasi sampai bercerita Ie Jok Masam yang diberikan Sultan Malikussaleh kepada rombongan Marco Polo ketika singgah di Pasee.
Marco Polo merupakan salah satu penjelajah yang paling terkenal di sejarah dunia. Dia merupakan salah satu penjelajah paling awal yang membuka hubungan antara Eropa dengan berbagai wilayah di Asia. Tetapi tahukah Anda bahwa ternyata Marco Polo ternyata pernah singgah di pulau Sumatra? Berdasar catatan yang dimilikinya, pada tahun 1292, dia pernah singgah selama beberapa bulan di Sumatera. Ketika itu pada tahun 1270-an, Marco Polo mengikuti perjalanan dari ayah dan pamannya untuk menemui Kubilai Khan di China. Saat itu Marco Polo berusia sekitar 17 tahun dan itu merupakan perjalanan jauh pertamanya. Membutuhkan perjalanan selama tiga tahun untuk sampai ke China, setelah itu dia tinggal di sana selama kurang lebih 20 tahun.
Pada tahun 1292, Marco Polo beserta ayah dan pamannya menumpang armada kapal Mongol dengan tujuan membawa seorang putri yang akan dinikahkan dengan seorang Khan dari wilayah Levant. Dalam perjalanan ini lah Marco Polo sempat singgah di bagian utara Sumatera. Persinggahan ini untuk menunggu musim yang tepat guna meneruskan perjalanan ke barat.
Kunjungan ini terjadi pada masa-masa awal pembentukan kerajaan Islam di wilayah Nusantara. Pada catatannya, Marco Polo mengatakan bahwa dia menghabiskan waktu lima bulan di wilayah Kerajaan Samudera Pasai. Pada waktu tersebut Marco Polo sempat singgah di beberapa daerah seperti Barus dan Perlak. Selain itu dia juga membuat catatan mengenai kanibalisme kelompok masyarakat tertentu pada masa itu serta produk kapur Barus yang sangat terkenal.
Syahdan ketika berlayar menaklukkan Selat Malaka pada tahun 1292, Marco Polo, seorang penjelajah asal Venesia, Italia, sempat menyusuri pesisir Sumatra. Di tengah perjalanannya, dia terkejut karena menyaksikan adanya masyarakat yang mengonsumsi daging manusia. Tepatnya ketika berada di Kerajaan Dagroian, Daerah Pidie (Aceh), Marco Polo menyaksikan masyarakat “kanibal” di sana yang memakan daging kerabatnya yang menderita sakit parah dan sudah tidak bisa diselamatkan.
“Ketika salah satu kerabat mereka jatuh sakit, mereka akan memanggil penyihir untuk datang dan mencari tahu apakah si sakit bisa sembuh atau tidak. Jika penyihir itu berkata bahwa si sakit akan mati, kerabat si sakit akan memanggil orang tertentu yang secara khusus membunuh si sakit. Ketika dia sudah mati, mereka akan memasaknya. Kemudian para kerabat akan berkumpul dan menyantap seluruh badan orang itu,” tulis Marco Polo, “Para Kanibal dan Raja-raja: Sumatera Utara pada 1290-an,” dimuat dalam Sumatera Tempo Doeloe karya Anthony Reid.
“Menurut kepercayaan mereka,” catat Marco Polo, “jika ada satu bagian saja yang tertinggal, bagian tersebut akan mengeluarkan cacing-cacing yang akan mati kelaparan. Bersamaan dengan kematian cacing-cacing itu, jiwa orang mati tadi akan mendatangkan dosa besar dan kesengsaraan. Itulah sebabnya mereka menyantap seluruh tubuh orang mati tadi”.
Menurut Bernard HM Vlekke, kanibalisme sebagai ritual karena unsur utama dalam animisme adalah panteistik, bahwa segala sesuatu dan segala makhluk punya “jiwa” dan “energi kehidupan.” “Kebiasaan kanibalisme dan pengayauan yang kini sudah punah bertujuan untuk mengambil-alih ‘energi kehidupan’ dari musuh yang terbunuh tersebut,” tulis Vlekke dalam Nusantara: Sejarah Indonesia.
Selain sebagai sebuah ritual, kanibalisme juga dilakukan sebagai hukuman bagi yang kalah perang atau melanggar peraturan. Seorang peneliti bernama Oscar von Kessel, melakukan penelitian tentang masyarakat Batak pada 1844.Menurutnya, masyarakat Batak menganggap kanibalisme sebagai perbuatan hukum bagi pelanggaran seperti pencurian, perzinaan, mata-mata, atau pengkhianatan. Garam, merica merah dan lemon harus disediakan oleh keluarga korban sebagai tanda menerima keputusan hukuman itu dan tidak lagi memikirkan balas dendam.
Dalam kasus lain, kanibalisme berlaku untuk seorang yang dituduh mata-mata dan tawanan perang. “Mereka dapat menangkap orang asing yang bukan berasal dari daerahnya, mereka akan menahan orang itu. Jika orang itu tidak sanggup menebus dirinya sendiri, mereka akan membunuhnya dan memakannya langsung di tempat,” tulis Marco Polo. “Itu adalah kebiasaan yang sangat buruk dan menjijikan”.
Kanibalisme di Nusantara berangsur-angsur menghilang setelah pada 1890 pemerintah kolonial Belanda melarang segala bentuk kanibalisme Hindia Belanda. (Red :
( https://historia.id/kuno/articles/kanibalisme-di-nusantara-DWk3D/page/1 )
Politik Balas Dendam Di Aceh Besar: Kontroversi Pencopotan Sekda Dan Aroma Kepentingan Pilkada
Pergantian Sulaimi dari jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh Besar terus menjadi sorotan publik. Drama politik yang menyelimuti pencopotan ini dinilai sarat kepentingan Pilkada dan dugaan balas dendam politik, publik mencermati rangkaian kejadian yang mencerminkan pelanggaran etika dan protokol pemerintahan, memperkuat kecurigaan terhadap motif di balik pergantian ini, terlalu ekstrem bila menyebut ini adalah bentuk “kanibalisme akibat power kekuasaan”.
Pencopotan Sulaimi terdapat kecacatan dalam bentuk pelanggaran protokol yang diselimuti oleh nafsu kekuasaan. Jauh sebelum ini pernah ada seorang personal top yaitu Adolf Hitler adalah seorang politisi Jerman dan ketua Partai Nazi kelahiran Austria. Ia menjabat sebagai Kanselir Jerman sejak 1933 sampai 1945 dan diktator Jerman Nazi mulai tahun 1934 sampai 1945. Memberikan sebuah kata bijak “jika ingin memenangkan sebuah pertempuran dalam politik adalah harus menggunakan intimidasi dan teror”.
Keputusan pencopotan Sulaimi dinilai tidak hanya melanggar etika, tetapi juga aturan formal. Surat pelantikannya sebagai Staf Ahli Bupati diterima hanya (dua menit) sebelum pelantikan, bertentangan dengan peraturan kepala badan kepegawaian negara (PERKA BKN ) No. 7 Tahun 2017 yang mewajibkan pemberitahuan resmi minimal satu hari kerja sebelumnya.
Foto pelantikan Sulaimi yang beredar di media semakin memperkeruh suasana. Ia tampak mengenakan kemeja berwarna pink biasa, bukanlah Pakaian Sipil Lengkap (PSL) sebagaimana yang diatur dalam Permendagri No. 11 Tahun 2020. Publik menilai ini sebagai upaya mempermalukan Sulaimi, yang tanpa disadari juga mencoreng citra Pemerintahan Aceh Besar yang dianggap tidak memahami aturan keprotokolan. Ya, yang melantik adalah Iswanto alumni STPDN, yang dicopot Sulaimi alumni IPDN, dan yang menggantikan adalah Bahrul Jamil Alumni IPDN.
Isu DPA Dan Konflik Kepentingan Politik
Sulaimi diklaim memperlambat penandatanganan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) perubahan yang disebut-sebut akan digunakan untuk mendukung kemenangan “Om Bus” dalam Pilkada Aceh Besar. Ia bahkan mengambil cuti untuk ibadah dari awal November hingga sehari sebelum pemilihan, sementara beberapa DPA belum selesai ditandatangani. Langkah ini dianggap sebagai bentuk perlawanan politik yang membuat dirinya menjadi target pencopotan, padahal itu semua adalah anasir-anasir jahat yang basis sangat dangkal, cuti itu dilakukan adalah hak Pegawai Negeri Sipil, dan hemat kami, Sulaimi bukan Ke Mesir bukan ingin berfoto di piramida yang berdiri megah sebagai saksi bisu peradaban masa lalu konon menurut sejarawan Mesir tempat tersebut sebagai makam bagi Firaun atau raja-raja Mesir zaman dahulu, faktanya apa?
Sulaimi tidak melakukan selfie di jasad Firaun atau piramida tersebut, Sulaimi ke sana ( Red : Mesir ) hanya menghadiri wisuda anak sulungnya di salah satu universitas di Mesir.
Tidak berhenti di situ klaim bahwa Sulaimi disebut-sebut mendukung Pasangan Calon Gubernur No. 2 pada Pemilukada lalu. Ia juga dikabarkan dekat dengan Calon Bupati No. Urut 2, yang berasal dari partai yang sama dengan pasangan gubernur tersebut. Kedekatan ini diduga menjadi alasan utama jurang konflik antara Sulaimi dan Pj Bupati Aceh Besar, yang berujung pada pencopotan dirinya secara tragis dan brutal.
Sebagai informasi, Sulaimi pernah menjabat posisi strategis sebagai Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Aceh Besar periode 2018. Ia dipercaya memimpin pengelolaan PORA 2018, sebuah ajang olahraga bergengsi pertama dalam sejarah Pemerintahan Kabupaten Aceh Besar yang menjadi atensi dan sorotan publik secara luas. Posisinya saat itu justru menempatkannya sebagai salah satu tokoh kunci dalam pemerintahan saat itu, memperkuat dugaan bahwa keberpihakan politiknya kini berbuah sanksi politik yang tak pantas dia terima sebagai bentuk dedikasi seorang abdi negara dalam menjalankan tugasnya.
Krisis Jiwa Korsa (APDN) Versus Pertaruhan Integritas Pemerintahan
Pada tahun 1988, Menteri Dalam Negeri Rudini mengeluarkan kebijakan 20 Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia. Tertuang dalam Keputusan nomor 38 Tahun 1988 tentang Pembentukan APDN berkedudukan di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat.
Mengingat perkembangan dan kebutuhan akan kelulusan Pamong Praja APDN ditingkatkan menjadi Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Perpres) nomor: 42 tahun 1992 dengan program studi Diploma Tiga (D-III).
Diresmikan Presiden RI pada 18 Agustus 1992. Kemudian, sejak tahun 1995 ditingkatkan menjadi Diploma IV (D-IV) dan Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Keberadaan STPDN dengan program vokasi D-IV dan IIP menyelenggarakan Pendidikan akademik Sarjana Strata Satu (S-I) menjadikan Departemen Dalam Negeri memiliki dua Pendidikan tinggi kedinasan dengan kelulusan kepangkatan golongan III/a. Seiring waktu berjalan, tahun 1999 kebijakan nasional mengatur suatu Departemen tidak diperbolehkan melebihi dua atau lebih perguruan tinggi.
Dasar tersebut, Departemen Dalam Negeri mengintegrasikan STPDN dan Institut Ilmu Pemerintahan menjadi satu wadah dengan diberlakukan Undang-undang Nomor: 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan nasional, Melalui Keputusan Presiden nomor 87 Tahun 2004 tentang Penggabungan STPDN ke dalam IIP sekaligus merubah nama IIP menjadi Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Selanjutnya ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor: 892.22-421 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Penggabungan dan Operasional IPDN disertai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja IPDN dan Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 43 Tahun 2005 tentang Statuta IPDN serta peraturan pelaksanaannya.
Dalam doktrin purna praja IPDN “Melukai atau mengkhianati senior maupun junior sama halnya dengan melukai dan mengkhianati saudara sendiri. Kami senantiasa menjaga loyalitas, kesetiaan, taat dan patuh,” karena sebagai salah seorang Pamong Praja yang memang dididik untuk setia dalam pengabdian dan loyalitas terhadap senior serta menyayangi junior. Mengkhianati senior atau junior sama halnya membunuh saudara sendiri. Kami memegang teguh kesetiaan tiada batas”.
Dalam doktrin senior yang disegani dan dihormati serta tidak akan dikhianati. Junior disayangi dan dibimbing, dibina untuk lebih tegar menuju profesionalitas. Sekalipun salah, tetap dibela untuk perbaikan, agar lebih terarah. Apalagi berbuat kebenaran, sudah barang tentu tidak mau menyerah apalagi gagal dalam tugas, “Kondisi ini bukanlah mengutamakan kepentingan golongan atau personal tetapi sebuah prinsip dan karakter setia kawan yang sudah tertanam dalam jiwa alumni STPDN tanpa memendam rasa dendam sekalipun terlalu sakit diperlakukan”.
Purna alumni Praja IPDN bersedia ditempatkan di manapun di seluruh tanah air. Pengabdian yang tulus untuk kemajuan bangsa dan negara walaupun tanpa jabatan di pemerintahan. Setia untuk kedamaian dalam mewujudkan Indonesia damai, dalam hal ini Menariknya, baik Sulaimi maupun Pj Bupati Aceh Besar adalah alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), sebuah institusi yang dikenal dengan jiwa korsa yang kuat. Publik mempertanyakan mengapa hubungan emosional sesama purna praja tidak mampu meredam konflik ini. “Ini lebih dari sekadar konflik personal; ini adalah pertaruhan integritas pemerintahan,” menurut hemat penulis.
Fakta dalam kasus pencopotan Sulaimi tidak hanya menjadi cerminan konflik politik di Aceh Besar, tetapi juga mengangkat isu tata kelola pemerintahan yang memprihatinkan. Pelanggaran aturan, intimidasi, dan kepentingan politik yang membayangi pergantian ini menciptakan preseden buruk bagi birokrasi daerah.
Setelah Dicopot Sebagai Sekda Sulaimi Diancam Sulut Api Rokok Ke Mulutnya
“Nyan kah lon peu ingat, bek jak kurek2 atra kamo lapor bak Polda, yang pah rukok nyo ku culok bak babah”. Sabda Mulyadi Sepupu Iswanto setelah Sulaimi keluar dari ruang pelantikan.
Redaksi Mulyadi mengancam secara verbal lisan terhadap Sulaimi adalah bentuk intimidasi dalam bentuk teror terhadap Sulaimi, Mulyadi lupa bahwa Sulaimi adalah sosok personal asoe lhok Aceh Rayeuk asal “Pulo Aceh“ yang kerap mengalami derasnya ombak Samudra Lautan Selat Malaka tatkala menuju daratan ke Banda Aceh dan Aceh Besar, ganasnya ombak yang kerap menerjang terumbu karang dan tak jarang juga menghantam kapal yang membawanya ke Banda Aceh telah membentuk karakter mental baja bagi seorang Sulaimi, ya Sulaimi tidak gentar apalagi goyang dengan sikap premanisme kampungan dari orang yang selama ini kerap menyetir dan mencoba mengendalikan Pemerintah Aceh Besar sejak tahun 2022-2024.
Kini masyarakat menunggu tanggapan resmi dari Pj Bupati Aceh Besar terkait kontroversi ini, sekaligus berharap adanya kejelasan hukum dan transparansi dalam proses pengelolaan pemerintahan. Apakah pencopotan Sulaimi adalah langkah strategis, atau sekadar politik balas dendam? Atau ancaman Mulyadi ini adalah teori teror yang disetting Iswanto? Biarkanlah Waktu yang akan menjawab. Saya hanya ingin berpesan, perbaikilah niat dan hasrat, karena narid maja Aceh berkata “Meunyoe Get Niet ngon Kasad Laot ngon darat, Allah peulara“ dan Iswanto serta Mulyadi jangan lupa membaca pesan orang tua Aceh, “Adat Meukoh Reubong, Hukum Meukoeh Purieh, adat Hana jeut meurangkahoe ta Kong, Hukom Hana jeut meurangkahoe takieh“. Wallahualam Bissawab
Penulis adalah putra Aceh Besar dari Kecamatan Pulo Aceh alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.