Oleh Taufiq Abdul Rahim
Dalam dinamika demokrasi politik modern, berbagai perkembangan dialektika keilmuan serta secara empirik kehidupan sosial kemasyarakat semakin cepat berkembang. Demikian pula pemahaman terhadap kehidupan sosial-politik dan keilmuan politik selaras dengan pemahaman serta praktik politik, juga signifikan dengan kemajuan pemikiran serta aktivitas manusia modern. Sehingga perkembangan diskusi dan dialektika demokrasi politik niscaya menjadi tuntutan kehidupan masyarakat sehari-hari dengan kemampuan serta kapasitas berfikir yang demikian cepat, maju serta berubah. Juga secara prinsipil menghargai hak azasi manusia sebagai kesepahaman universal yang berlaku dalam kehidupan.
Demokrasi sebagai salah satu wahana kebebasan berekspresi dan berpendapata secara sosial, politik, kehidupan kemasyarakatan dalam konstalasi keseimbangan, pemerataan dan keadilan yang setara dalam masyarakat modern. Secara kontekstual empiris demokrasi merupakan dialektika modern kehidupan masyarakat yang menuntut kesetaraan hak dan kewajiban, serta hak azasi manusia. Maka selaras dengan proses berfikir kritis dalam aktivitas politik modern, merupakan hal yang wajar serta relevan. Sehingga tutntutan demokrasi kehidupan masyarakat dengan melakukan kritikan terhadap kebijakan politik dan publik tidak diterjemahkan secara sinis, kaku, nyeleneh, bahkan menyebutkan kritikan dengan ucapan ataupun ungkapan tidak menjunjung tinggi etika moral. Pernyataan petinggi negara tentang “Ndasmu” yang berulang, maka selaku kepala negara menjadi tidak berharga dimata rakyat, nyeleneh bahkan tidak memiliki etika moral sebagai pemimpin bangsa yang beradab.
Kemudian proses demokrasi serta etika moral selaras, seimbang serta sebangun dengan tuntutan demokrasi yang dikehendaki rakyat, karena seluruh pejabat negara dan pejabat publik kehidupan serta aktivitasnya dibiayai oleh rakyat. Karenanya tuntutan demokrasi yang berkembang dalam politik modern menjadi suatu keniscayan sebagai kayu ukur keadaban serta peradaban kehidupan masyarakat modern. Demokrasi dipahami dan dimaknai sebagai harmonisasi pandangan hidup bagaimana suatu masyarakat diatur dan ditata.
Maka menurut David Beetham (2002) adalah, demokrasi tidak semata-mata masalah institusi politik seperti pemilihan umum, partai, ataupun parlemen, tetapi suatu prinsip dasar atau disebut dengan istilah regulative ideal. Namun lerbih luas lagi usaha mengatur kehidupan yang seimbang, setara, berkeadilan serta memiliki prinsip pemerataan antara hak dan kewajiban negara serta masyarakatnya. Sehingga dalam kehidupan masyarakat modern, demokrasi sebuah sistem yang tidak berdimensi tunggal, akan tetapi secara terintegrasi mencakup berbagai aspek yang saling melengkapi dari prinsip-prinsip operasionalnya. Hal yang prinsipil rakyat sebagai pemegang kekuasaan dan kedaulatan tertinggi dalam demokrasi, adanya penghormatan atas hak azasi manusia (HAM) tidak dapat dilepaskan bebas tanpa nilai dari pelaksanaan demokrasi.
Demikian pula, demokrasi politik dalam kehidupan masyarakat modern penuh dengan kebebasan untuk melakukan kritik dikarenakan kebijakan politik dan publik yang tidak pro-rakyat. Sehingga yang merasa perlu merespon akan menanggapi tidak sepakat, kritis dengan kebijakan yang hanya mementingkan elite politik, pejabat publik, para pemangku kekuasaan serta oligarki ekonomi-politik, bahkan penguasa rezim otoriter masa lalu. Semakin kentara dan terlihat ketidaksiapan berhadapan dengan kritik dan anti kritik, berperilaku gerakan tubuh kekanak-kanakan, memalukan dan menggunakan diksi yang tidak beretika moral “Ndasmu”. Karena sejak awal diperkirakan telah tersandera, terjerat dengan kekuasaan politik lama, juga jeratan korupsi yang mengancam, terjepit dan tidak mampu melawan serta bergerak atas nama demokrasi politik rakyat, termasuk isu pelanggaran hak azasi manusia (HAM) yang tidak pernah diselesaikan dengan keputusan hukum yang disidangkan. Maka karakter asli semakin terlihat karena mengalami dis-power complex di tengah tuntutan perubahan kehidupan realistis masyarakat untuk berubah serta pro-rakyat. Maka secara alamiah ketidaksadaran yang hadir dari dalam bereaksi dengan kata-kata yang tidak beretika moral, serta memperkuat asumsi pemimpin dan pemangku kekuasaan anti-kritik dan takut kehilangan jabatan dengan jeratan hukum yang mengancam dan disodorkan isu kudeta yang mengancam kekuasaannya.
Dalam praktik kekuasaan dengan cara otoriter, juga membungkam semua elemen penting pengawasan, seperti legislatif yang sudah dikuasai dengan membangun koalisi besar, memberikan jabatan kepada para elite partai, penguasaan media massa, oragnisasi massa, kelompok strategis, menawarkan elite kampus melaksanakan eksploitasi tambang untuk membungkam. Sementara itu untuk menjawab kelompok kelas menegah serta kritikus yang peka terhadap kepentingan umum serta rakyat, maka digunakan serangan dengan kata yang tidak beretika moral. Ini mencerminkan kekuasaan otoriter dengan dukungan partai yang dikuasai dan elite politik yang telah diberikan jabatan melalui pembentukan “kabinet gemuk” agar banyak pihak patuh dengan kebijakan yang semakin menggelapkan kehidupan rakyat dalam ketidakpastian kehidupan masa depan, “negara semakin gelap” dan cemas .
Menurut Benni Irawan (2007) adalah, rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara dipaksa mengikuti kemauan dan kekuatan elite politik yang sedang berkuasa dalam menjalankan demokrasi. Sehingga diksi kata demokrasi menjadi sandaran seolah-olah bersama rakyat ikut melaksanakan kekuasaan politik oleh kekuasaan politik elite agar kekuasaannya tidak dibenarkan untuk dikritik. Sesungguhnya yang diharapkan gila puji-pujian, bahkan “kemaruk” pujian enggan dikritik, mencari dalih saat mahasiswa berdemo secara prejudice menuduh ada ytang menunggangi. Sementara itu berbagai kebijakan yang diluncurkan tidak pro-rakyat dan hanya kepentingan kelompok, golongan, elite partai politik, memperkuat kekuasaan posisi oligarki ekonomi-politik, sehingga semakin memperkokoh posisi korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin merajalela, korupsi tanpa ketegasan serta tindakan hukum.
Dengan demikian, usaha memperkaya diri dengan berbagai cara agar tetap menjadi penguasa termasuk memanfaatkan dana yang tidak dapat diaudit lembaga keuangan, tidak tersentuh hukum dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memanfaatkan badan usaha milik negara dengan aset besar, kemudian dana dikumpulkan dalam pembentukan “Danantara” yang mengelola uang triliunan rupiah. Ini dilakukan dalam usaha menguasai kekayaan negara dikuasai bersama para oligarki ekonomi-politik, agar dimanfaatkan uang rakyat dengan cara yang tidak elegan. Sehingga rakyat tetap dalam kemiskinan yang diciptakan, terus berharap adanya bantuan dana sosial, bantuan langsung tunai, praktik money politics dan “pork barrel” pada saat momen pemilihan umum politik serta pesta demokrasi. Maka secara linear fungsional bahwa, demokrasi dipahami merupakan praktik nilai kehidupan politik yang baik terhadap pola interaksi sosial dan meluruskan serta memperkuat kebijaksanaan publik hasil kesepahaman bersama dan juga adanya interaksi kepentingan seluruh rakyat.
Menurut Dahl (1956) melalui mekanisme inclusiveness (partisipasi seperti dalam pemilu dan kritik), dan lembaga toleransi yang membolehkan segala bentuk perbedaan sejauh dimungkinkan berdasar aturan hukum. Dengan demikian membangun demokrasi politik melalui menjamin kejujuran dan keadilan kinerja inklusivitas dan toleransi, maka prosesnya mempersyaratkan fungsi transparansi dan efisiensi serta akuntabilitas (Smith G, 2009, 61-64) serta akuntabilitas (Huntington, 1968). Maka demokrasi adalah transparansi dan bebas berpendapat kritis.
Dengan demikian, kebijakan politik dan kebijakan publik yang semestinya efisien, tidak paradoks dengan memberikan jatah jabatan bagi setiap kroni politik, elite partai politik, oligarki ekonomi-politik, dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia dibagi-bagi serta dikapling-kapling dengan cara melanggar hukum. Bahkan tetap menjaga memperkuat kekuasaan pada rezim otoriter korup sebelumnya, ini dilakukan dengan mengagung-agungkan bahwa kemenangan pemilihan umum (Pemilu), memanfaatkan kekuasaan menghalalkan segala cara untuk memang, sehingga merusak aturan hukum dan etika moral. Disadari, karena catatan masa lalu melanggar HAM, tidak menghargai hak sipil dan HAM, enggan dan anti kritik dengan bergaya seperti anak kecil, memalukan dengan membiasakan ucapan “Ndasmu”.
Penulis adalah Dosen FE Universitas Muhammadiyah Aceh dan Peneliti Senior PERC Aceh
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.