Oleh Dr Drs Indra Muda Hutasuhut, M.AP
Pengadopsian teknologi digital dalam Pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate
Secara sederhana dapat dikatakan, digitalisasi atau digitizing merupakan sebuah terminologi untuk menjelaskan proses alih media dari bentuk tercetak, audio, maupun video menjadi bentuk digital. Digitisasi dilakukan untuk membuat arsip dokumen bentuk digital, untuk fungsi fotokopi, dan untuk membuat koleksi perpustakaan digital. Berbagai bentuk digitalisasi terus ditingkatkan, dalam rangka mempermudah semua proses berjalan dengan baik. Terkait dengan pelaksanaan Pemilu di Indonesia tentu sangat memungkinkan penerapan sistem digitalisasi. Karena banyak negara yang sudah mulai menerapkan secara e-voting.
Pengadopsian teknologi digital dalam Pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu. Sekarang timbul pertanyaan, mungkinkah diterapkan di Indonesia?
Mencermati perjalanan politik di Indonesia dari Pemilu pertama masa Orde lama hingga Pemilu terakhir tahun 2019, semuanya diselenggarakan dengan sistem manual,. Sehingga dalam proses perhitungan suara penentuan pemenang Pemilu memakan waktu hingga 1-3 bulan, konon 2 periode Pilpres sebelumnya harus dibawa ke meja Mahkamah Konstitusi karena adanya sengketa. Hal ini tentunya juga dipengaruhi sistem multipartai yang dianut bangsa Indonesia. Dengan banyaknya jumlah Parpol tidak menguntungkan berkembangnya pemerintahan yang stabil karena sering terjadi perpecahan antar Parpol bahkan perpecahan dalam tubuh Parpol itu sendiri.
Hal ini bisa kita lihat dari hasil Pemilu tahun 1955 dapat membawa penyederhanaan dalam jumlah parpol yaitu munculnya 4 partai besar yaitu Masyumi, PNI, NU dan PKI, tetapi partai-partai tetap tidak dapat menyelenggarakan fungsinya sebagai pembawa aspirasi rakyat sebagaimana yang diharapkan, sehingga pada masa demokrasi terpimpin parpol dipersempit ruang geraknya.
Ir Soekarno sebagai pemegang mandat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 melakukan perubahan dalam berbagai aspek yang bercirikan dominasi dari seorang presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan ABRI sebagai kekuatan di bidang sosial politik. Era ini sering disebut masa demokrasi terpimpin, dimana kekuasaan presiden sangat luas dan terkesan bersifat otoriter. DPR hasil Pemilu tahun 1955 dibubarkan, campur tangan presiden-pun semakin meluas kepada badan yudikatif. Kesalahan mendasar yang dilakukan Ir.Soekarno adalah mendirikan badan-badan ekstra-konstitusionil seperti Front Nasional yang ternyata dipakai komunis sebagai arena kegiatan.
Pada masa Orde Baru Parpol diberikan kesempatan untuk bergerak lebih leluasa, akan tetapi setelah diadakan Pemilu tahun 1971, dimana Golkar sebagai pemenang pertama yang disusul tiga partai besar NU, Parmusi dan PNI, agaknya partai-partai harus menerima kenyataan bahwa peranan mereka dalam decision making process untuk sementara akan tetap terbatas. Pada tahun 1973 terjadi penyederhanaan partai, empat partai Islam yaitu NU, Parmusi, PSI dan Perti bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Selain itu lima partai yaitu PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba dan Partai IPKI bergabung menjadi Partai Demokrasi Pembangunan. Dengan demikian dalam Pemilu tahun 1977 peserta pemilu terdiri dari 2 Parpol dan Golkar.
Kehidupan demokrasi semasa Orba, juga tidak jauh berbeda dari masa Orla yang menerapkan kekuasaan dengan paternalistik. Masyarakat hidup di dalam bungkusan yang bernama demokrasi. Demokrasi Pancasila yang diusung Orba diharapkan akan dapat membawa perubahan kepada pembangunan dan pembaharuan, ternyata masih jauh dari harapan. Pengekangan kehidupan Parpol semakin legal dengan berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah, Parpol yang diizinkan mengikuti Pemilu hanya PPP, PDI dan Golkar, namun Golkarlah yang menjadi anak emas pemerintah, sedang PPP dan PDI boleh hidup tapi jangan sampai besar, sehingga sebelum penyelenggaraan Pemilu masyarakat sudah tahu siapa yang menjadi pemenangnya, hanya yang ditunggu adalah skor kemenangannya. Praktek ini tidak boleh dikritik karena dapat berakibat penangkapan, penahanan diri atau tuduhan negatif lainnya.
Di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto Orba menggunakan sistem politik berdasarkan pada negara kuat yang elit penguasanya didominasi antara lain, militer, birokrat sipil, teknokrat dan kavitalis domestik. Para penguasa ini mempunyai kapasitas untuk merencanakan, melaksanakan, mengarahkan dan mengontrol kebijaksanaan-kebijaksanaan serta program dibawah payung pejabat eksekutif yang berkuasa. Untuk memenuhi kewajiban politik yang demikian, rezim Soeharto menciptakan format politik yang tujuan utamanya adalah menjamin posisi dominan negara, khususnya eksekutif dan depolitisasi masyarakat agar tetap di bawah kontrol eksekutif. Kehidupan politik hampir sepenuhnya di bawah arahan pemerintah dan ini berarti berada di bawah pengawasan personil Soeharto, hampir tidak ada kekuatan politik yang menunjukkan kekuasaannya tanpa diketahui dan dikontrol oleh pemerintah.
Pada era reformasi ini sistim multipartai tetap dipertahankan, para elit politik beralasan multi partai lebih dapat mewakili aspirasi rakyat sehingga dapat menyuarakannya dalam menetapkan kebijakan negara. Dalam realitas justru yang terjadi masih jauh dari harapan karena suara rakyat hanya dijadikan sebagai jembatan politik memperoleh kekuasaan. Setelah elit tersebut berkuasa, tidak jarang mereka lebih vokus memperkaya diri dengan korupsi, mengabaikan janji-janji politik yang disampaikan kepada rakyat sewaktu mengkampanyekan suksesi politiknya.
Penyelenggaraan Pemillu Presiden secara langsung yang diharapkan dapat menghapus keraguan atas legitimasi kekuasaan, juga masih dibumbui dengan berbagai kecurangan seperti, money politics, korupsi dana kampanye, koalisi yang tidak sehat, pengajuan Bacapres Gibran Raka Bumingraka, putra sulung Presiden Jokowi yang polemik karena tersangkut batas usia dan lain-lain.
Penutup
Berkaca dari beberapa penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, termasuk Pilpres dan Pileg 2024, (tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu) masih tetap mengacu kepada sistem manual. Harapan rakyat Indonesia ke depan tentunya dapat beralih kepada sistem digital sehingga, konflik dalam Pemilu dapat diminimalkan serta hasil Pemilu yang LUBER dapat diperoleh… Semoga!
Penulis adalah Dosen Fisip Universitas Medan Area.
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.