Memburu Gelar Doktor

  • Bagikan
Memburu Gelar Doktor

Oleh Budi Agustono

Feodalisme pernah hidup dan disokong penguasa lokal. Feodalisme ditandai adanya stratifikasi masyarakat dan kecintaan memuja gelar–menjadi gengsi sosial karena gelar yang melekat dalam diri seseorang makin mendapat kehormatan tinggi

Jika lulusan sarjana ingin menjadi dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga penelitian tidak cukup hanya berpendidikan sarjana. Tuntutan penambahan keahlian di bidangnya dan mengikuti perkembangan pengetahuan sebagai dosen dan peneliti harus dilakukan melalui pendidikan lanjutan studi master dan doktoral. Memilih pekerjaan dosen dan peneliti tidak cukup bergelar sarjana tetapi harusmemiliki jenjang pendidikan master dan doktor. Seorang bergelar sarjana tidak lagi dapat mengajar di perguruan tinggi. Mengajar di perguruan tinggi mnimal bergelar master. Jika diterima sebagai dosen harus secepatnya melanjutkan studi master dan doktor agar mempunyai kapasitas akademik memadai dalam melaksanakan kegiatan akademik.

Dosen atau peneliti yang menempuh studi master dan doktor ada yang di dalam dan luar negeri. Biasanya mereka ini beroleh beasiswa dari berbagai institusi yang sangat membantu keuangannya. Terutama lagi jika menerima beasiswa studi di luar negeri semakin menambah gengsi penerimanya, apalagi di terima di perguruan tinggu terkenal dunia semakin melambungkan nama penerima beasiswa karena berhasil lolos dan diterima di perguruan tinggi dunia.

Sepuluh atau lima belas tahun lalu orang yang memburu studi master dan doktor sebagian besar diikuti dosen perguruan tinggi.. Nyaris tidak ada yang di luar kedua profesi ini memburu studi master dan doktor. Mereka yang studi di perguruan tinggi terkemuka dunia bangga sekali bisa kuliah di kampus terkemuka dan dibimbing oleh akademisi terkenal dunia semakin menambah prestise dosen sewaktu selesai menamatkan studinya dan kembali mengajar di perguruan tingginya. Sepulang dari studi master dan doktornya selain mengajar banyak yang dipakai sebagai konsultan, staf ahli dan tenaga ahli di instansi pemerintah daerah sesuai dengan disiplin ilmu dan keahliannya.

Belakangan yang bukan berlatar belakang dosen seperti pegawai atau pejabat instansi pemerintah daerah saling berlomba mengambil program master di perguruan tinggi negeri dan swasta yang menyelenggarakan program magister. Mula-mula di perguruan tinggi negeri daerah karena jumlah peserta pegawai atau pejabat instansi pemerintah terus melompat tajam , tidak mau kalah berebut persaingan akademik, perhuruan tinggi swasta nmembuka program master atau magister ragam program studi. Untuk memudahkan dan membuat nyaman kuliah pegawai dan pejabat instansi pemerintah daerah dibuka kelas eksekutif yang kuliahnya di akhir pekan. Kelas eksekutif ini diminati pegawai atau pejabat instansi pemerintah daerah dan malah melebihi kapasitasnya kelas terutama di program studi tertentu yang tidak ketat membatasi persyaratan disiplin ilmu. Latar belakang sarjana apapun bisa mengikuti program master sepanjang membayar sedikit mahal uang kuliah kelas eksekutif.

Bagi para dosen perguruan tinggi bertemu dan berkawan kuliah dengan pegawai dan pejabat instansi pemerintah di program master ini terkadang membawa kesenangan tersendiri karena selalu mendapat traktiran jika berkumpul dan ada kalanya diminta membantu membuat tugas kuliah atau tugas akhir kuliah. Sebagai pegawai dan pejabat instansi pemerintah daerah belitan kesibukan kerja di birokrasi selalu membuat mereka tak punya waktu mengerjakan tugas kuliah. Untuk menyelesaikan tugas kuliah mereka memerlukan bantuan dosen teman kelasnya yang dengan senang hati menolong menyelesaikan tugas kuliah sohibnya. Dari sinilah terbangun relasi pertemanan dosen dengan pegawai atau pejabat pemerintah daerah. Sering terjadi ikatan pertemanan kuliah membawa keberutungan dengan pemberian projek tertentu kepada kawan dosen yang membantu tugas kuliah dan tidak tertutup kemungkinan membantu penelitian dan penulisan tesis . Sering pula mahasiswa pegawai dan pejabat pemerintah daerah memberi projek-projek tertentu kepada dosen pengajarnya.

Feodalisme

Saat ini studi master biasa-biasa saja, karena hampir semua perguruan tingggi negeri ndan swasta mempunyai program studi master. Sarjana tidak lagi dianggap cukup menopang karir dan prestasi sehingga begitu selesai strata satu banyak yang lanjutkan kuliah ke program master. Tak cukup berhenti di master, sekarang selain dosen yang harus kuliah program doktor, minat pejabat negara, elite politik dan pemimpin partai mengambil program doktor terus membesar. Sejak sepuluh tahun belakangan pejabat negara, elite politik dan pemimpin partai memburu gelar doktor di berbagai perguruan tinggi negeri. Rupanya jabatan politik, uang dan popularitas belum mencukupi sebagai orang terkenal dan berpengaruh. Untuk memenuhi kelengkapan status sosial itu studi doktor menjadi bergengsi dan mampu melambungkan status sosial seseorang. Gelar doktor dipandang prestisus dan menaikkan gengsi sosial akademik.

Pejabat publik dan elit politik yang mengikuti kuliah doktoral regular tidak mempunyai waktu kuliah penuh lantaran berjibunnya pekerjaan rutin sehingga tidak memungkinkan membaca buku dan menyiapkan tugas kuliah. Belum lagi soal kehadiran yang tentu saja nyaris tidak bisa dipenuhi sebagai mahasiswa regular. Untuk menutup semua itu calon doktor memerlukan tim bayangan yang handal guna menyelesaikan tugas-tugas kuliah, membaca buku, turun ke lapangan dan menulis disertasi. Semua ini tidak bisa dikerjakan sambilan atau paruh waktu. Menulis disertasi perlu waktu tersendiri dan tidak bisa dikerjakan sembarang waktu. Jika kapan ingat dan waktu kosong baru menyentuh disertasi dapat dipastikan akan memerlukan panjang menyelesaikannya Apalagi jikan calon doktor pejabat negara dan elite politik tidak ada yang membantu menyelesaikan penulisan disertasi mudah ditebak waktu kuliah akan semakin panjang dan melelahkan bahkan tidak bisa tidak selesai.

Feodalisme pernah hidup dan disokong oleh penguasa lokal. Feodalisme ditandai dengan adanya stratifikasi masyarakat dan kecintaan memuja gelar. Gelar menjadi gengsi sosial karena dengan adanya gelar yang melekat dalam diri seseorang makin mendapat kehormatan tinggi. Dalam dunia akademik seorang yang menderetkan gelar akan beroleh gengsi sosial tinggi, apalagi gelarnya dari perguruan tinggi terkemuka membuat dirinya naik status sosial. Karena para pejabat publik dan elite politik mendekap feodalisme mereka berebut gelar doktor. Tidak peduli lagi cara apa mendapatkan doktor sesuai dengan prosedur atau menabrak aturan. Yang dikejar adalah mendapatkan gelar doktor segera mungkin.

Feodalisme yang menghargai gelar sebagai penghargaan atas kedudukan seseorang dalam masyarakat bukannya memudar di masa demokrasi, melainkan pancaran sinarnya tidak pernah redup. Ia terus dihidupkan dan direproduksi oleh pejabat publik dan elite politik dengan dengan memiliki gelar doktor yang melekat di tubuh. Doktor dipandang tahapan akhir meraih kesempurnaan hidup. Gelar doktor itu bukan digunakan sebagai persyaratan mengajar di perguruan tinggi atau menunjukkan ketinggian pengetahuan. Mereka tidak mengajar di perguruan tinggi, tidak berumah di kampus dan gelar doktornya memang bukan untuk persyaratan akademik di kampus sebagain mana tuntutan wajib seorang dosen yang harus doktor. Mereka berburu doktor tidak lain hanya memenuhi hasrat melengkapi kesempurnaan hidup untuk prestise soial dan mengerek diri memperkuat status sosial. Status sosial yang terjaga menjadi sekrup utama dalam penguatan feodalisme.

Penulis adalah Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.


Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.

Memburu Gelar Doktor

Memburu Gelar Doktor

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *