Oleh Neni Juli Astuti, S.T., M.S.i
Standar Kompetensi Lulusan (SKL) bukan sekadar dokumen administratif, melainkan kompas bagi menyiapkan generasi emas yang mampu menjadi pelaku perubahan di era Society 5.0, yang tidak hanya mengandalkan teknologi terutama AI…
Scroll Untuk Lanjut MembacaIKLAN
Standar Nasional Pendidikan (SNP) kini kembali digunakan oleh pemerintah Indonesia, melalui kebijakan baru Prof. Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen). SNP telah ditetapkan kembali sebagai acuan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Penerapan ini karena adanya evaluasi perlunya kembali SNP dalam merespon persoalan satuan pendidikan, yaitu kualitas layanan satuan pendidikan yang masih harus ditingkatkan. Terdapat sebagian besar satuan pendidikan yang memiliki capaian rendah dan sedang (47%) untuk literasi, 58% untuk numerasi, dan 19% untuk karakter, Hasil akreditasi menunjukkan performa sekolah yang cukup baik, tetapi belum menjamin capaian siswa yang berkualitas di atas kompetensi minimal.
SNP menjadi acuan utama dalam mengukur kualitas layanan satuan pendidikan yang digambarkan melalui peta mutu dalam 8 standar. Standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan pendidikan standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Standar SNP adalah Standar minimal yang harus dipenuhi oleh satuan pendidikan dan semua pemangku kepentingan dalam mengelola dan menyelenggarakan Pendidikan. Pada kesempatan ini, saya akan kemukakan kepentingan dan peta jalan eksistensi SNP dalam menjawab persoalan mutu Pendidikan Indonesia
Eksistensi Peta Jalan & Kepentingan SNP
Untuk menerapkan SNP, digunakan pemetaan mutu sebagai alat dalam menganalisis dan menyusun usulan solusi secara asimetris sesuai dengan kondisi tiap daerah. Pemetaan mutu digunakan juga sebagai alat diperlukan untuk mengetahui sebaran capaian tiap daerah hingga tingkat kabupaten/kota. Capaian kabupaten/kota dapat membantu untuk menentukan prioritas lokasi dalam melakukan intervensi peningkatan mutu, sehingga intervensi dapat dilakukan secara lebih spesifik dan sesuai dengan kebutuhan daerah.
Sebagai kriteria minimal, SNP memiliki peran krusial dalam menjaga kesetaraan layanan pendidikan di seluruh Indonesia, baik di kota besar maupun di wilayah terluar. SNP memastikan bahwa setiap peserta didik memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu, tanpa terhambat oleh latar belakang geografis, ekonomi, atau sosial. Dalam implementasinya, SNP juga menjadi dasar akreditasi satuan pendidikan, serta acuan dalam pengembangan kurikulum dan berbagai kebijakan pendidikan lainnya.
Mari kita bahas satu persatu. Yang pertama adalah standar kompetensi lulusan (SKL). Berdasarkan Permendikbud Ristek Nomor 5 Tahun 2022 Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah. dikatakan bahwa standar kompetensi lulusan adalah pokok substansi yang akan dituju oleh standar pendidikan yang lain. Yang dimaksud dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah kriteria minimal tentang kesatuan sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang menunjukkan capaian kemampuan peserta didik dari hasil pembelajarannya pada akhir jenjang pendidikan.
SKL bukan sekadar dokumen administratif, melainkan kompas bagi pendidikan Indonesia untuk menyiapkan generasi emas yang mampu menjadi pelaku perubahan di era Society 5.0, yang tidak hanya mengandalkan teknologi terutama Artificial Intelegence (AI), tetapi juga tuntutan menjadi manusia yang berkarakter, kreatif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman, maka standar kompetensi lulusan diharapkan mampu menjadi kompetensi lulusan kita.
Berikutnya kita berbicara tentang standar isi yang diatur dalam Permendikbud No. 21 Tahun 2016. Standar isi mengatur secara lebih teknis tentang kurikulum, ruang lingkup materi, dan penekanan pada keseimbangan skill para peserta didik. Standar isi merupakan pedoman penting untuk menjamin pemerataan akses terhadap materi pendidikan. Namun, sering kali pendekatan “seragam” dalam isi kurikulum mengabaikan keragaman konteks lokal.
Standar ketiga adalah standar proses. Standar proses adalah kriteria minimal tentang pelaksanaan pembelajaran pada satuan pendidikan. Tujuannya adalah menjamin kualitas proses belajar-mengajar agar menghasilkan lulusan yang sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL). Permendikbud No. 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah mengatur tentang proses pembelajaran. Proses pembelajaran yang ideal sebagaimana tertuang dalam standar ini adalah pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan.
Yang keempat adalah standar pendidik dan tenaga kependidikan (PTK). Didalam PP No. 57 Pasal 8 diatur kriteria, kualifikasi, dan kompetensi pendidik. Banyak tantangan dan peluang di standar ini. Diantaranya adalah ketidaksesuaian latar belakang guru. Data dari Balitbang Kemdikbud Tahun 2024 menyebutkan ada sekitar 29% guru mengajar tidak sesuai dengan bidang keilmuannya, Di samping itu untuk kualifikasi akademik hanya 32,83% guru SD yang memiliki kualifikasi akademik sarjana (S-1 atau S-2). Ketidaksesuaian antara latar belakang pendidikan guru dengan mata pelajaran yang diajarkan dapat berdampak pada kualitas pembelajaran di mana guru mungkin kesulitan menyampaikan materi secara mendalam, motivasi siswa yang menurun jika pembelajaran tidak menarik atau relevan dan yang pasti mengakibatkan prestasi akademik yang menurun pula.
Hal lainnya adalah kekurangan sekitar 1,3 juta guru pada tahun 2024 akibat banyaknya guru yang pensiun. Pemerintah telah melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini melalui perekrutan guru ASN P3K dan pendataan guru yang lebih baik di Dapodik. Namun menjadi tantangan juga di tahun 2022 ada sekitar 1117 calon P3K yang mengundurkan diri dengan beragam alasan (Kompas, 7 Agustus 2024). Agaknya prinsip the right man on the right job juga harus diperhatikan ketika melakukan perekrutan guru ini.
Standar berikutnya adalah standar sarana dan prasarana. Beberapa regulasi yang mengatur standar sarana dan prasarana adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 34 Tahun 2018 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan di Sekolah dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 6 Tahun 2021 tentang Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan untuk Pendidikan Vokasi. Sarana dan prasarana pendidikan memegang peranan penting dalam menunjang kualitas proses pembelajaran. Standar sarana dan prasarana yang tercantum dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP) bertujuan untuk memastikan bahwa setiap satuan pendidikan memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung pembelajaran yang efektif dan efisien.
Sarana dan prasarana yang dimaksud mencakup ruang kelas, laboratorium, perpustakaan, fasilitas olahraga, hingga aksesibilitas bagi siswa berkebutuhan khusus. Tantangan sarana dan prasarana pendidikan di Indonesia antara lain adalah kesenjangan fasilitas antar daerah terutama daerah perkotaan dan pedesaan, terutama di wilayah 3T dan kurangnya akses listrik dan internet.
Data dari Kemendikbud menunjukkan bahwa lebih dari 60% ruang kelas di Indonesia masih dalam kondisi rusak ringan hingga berat. Data ruang kelas di Indonesia jenjang SD hanya 14% yang berkategori baik, sementara sisanya rusak ringan sampai rusak berat (data dari Portal Data Pendidikan Indonesia 2023). Kerusakan ini antara lain disebabkan usia bangunan yang sudah tua, kurangnya pemeliharaan, dan data yang keliru. Selain sarana ruang kelas, akses teknologi sangat minim. Data BPS tahun 2022 hanya 5,31 % sekolah jenjang SD yang memiliki akses internet, untuk SMP 27,10%, SMA 39,38%, dan SMK 41,45%. Hal ini tentu memprihatinkan karena akses internet sanat dibutuhkan di era digital ini.
Standar Pengelolaan di PP No. 57 tahun 2021 mencakup prinsip-prinsip dan praktik pengelolaan pendidikan yang efektif dan efisien di tingkat satuan pendidikan. Komponen utama dalam Standar Pengelolaan meliputi perencanaan program (visi, misi, dan rencana kerja), pelaksanaan program, pengawasan dan evaluasi, kepemimpinan sekolah, pengelolaan berbasis sekolah, dan sistem informasi manajemen sekolah.
Regulasi tentang Standar Pembiayaan termaktub dalam Permendikbud Nomor 69 Tahun 2009 yang mengatur rincian standar pembiayaan operasional pada pendidikan dasar dan menengah. Selain itu Permendikbudristek No. 2 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis BOS menegaskan alokasi dana BOS reguler harus digunakan untuk mendukung delapan SNP, termasuk standar. Permasalahan dan tantangan standar pembiayaan saat ini antara lain adalah belum semua daerah mengalokasikan anggaran pendidikan hingga 20% APBD dan kesenjangan besar antara kebutuhan riil sekolah dan dana BOS yang diterima khususnya di wilayah 3T, serta kurangnya fleksibilitas dalam penggunaan dana Masalah lain adalah kurangnya transparansi dan akuntabilitas penggunaan Dana BOS. BPK RI mencatat temuan penyimpangan penggunaan dana BOS dan DAK Pendidikan di lebih dari 15 provinsi pada audit tahun 2022.
Last but not least, standar penilaian diatur dalam Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Regulasi ini mengatur teknis utama untuk penilaian hasil belajar, yang mencakup penilaian oleh pendidik dilakukan selama dan setelah proses pembelajaran, mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Ada beberapa tantangan implementasi standar penilaian ini. Diantaranya guru belum terlatih menggunakan beragam instrumen penilaian autentik, banyak penilaian masih berfokus pada hafalan dan tes tertulis bukan pemahaman mendalam, kurangnya integrasi penilaian sikap dan karakter secara konsisten, dan aplikasi teknologi penilaian masih terbatas di sekolah-sekolah di kota-kota besar saja.
Keberhasilan Kebijakan Praktis SNP
Tentu saja, bagi saya, kebijakan dan praktik SNP akan berhasil jika Kemendikdasmen bermitra dengan pemerintah daerah terlibat langsung dalam upaya supervisi dan fasilitasi peningkatan mutu di satuan Pendidikan. Peranan pemerintah daerah dalam penjaminan mutu pendidikan akan mendorong partisipasi aktif dalam pemetaan mutu, melakukan koordinasi dan integrasi perencanaan daerah dengan satuan pendidikan serta fasilitasi peningkatan mutu oleh pemerintah daerah (guru, sarana dan prasarana, serta pendanaan) melalui perencanaan daerah. Demikian pun, kolaborasi dengan mitra pembangunan juga dilakukan untuk meningkatkan sistem dan mengawal implementasi penjaminan mutu pendidikan. Semoga.
Penulis adalah Staf Balai Penjaminan Mutu Pendidikan (BPMP) Provinsi Sumatera Utara.