
Generasi Z atau Gen Z adalah kelompok usia yang lahir antara 1997 dan 2012. Mereka adalah generasi pertama yang tumbuh besar dengan akses luas terhadap teknologi digital sejak usia dini. Meskipun teknologi yang maju dan perubahan sosial yang cepat memberikan mereka banyak peluang, banyak anggota Gen Z menghadapi tantangan signifikan dalam memasuki pasar kerja. Data dari Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa hampir 10 juta penduduk Indonesia dari generasi ini berusia 15-24 tahun menganggur atau tergolong dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, and Training).
Pernahkah Anda melihat keluhan di media sosial tentang kinerja Generasi Z di tempat kerja? Banyak perusahaan melaporkan bahwa generasi ini kerap dianggap sulit diajak bekerja sama. Salah satunya adalah laporan terbaru Inc., yang mana menyatakan 60% perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan karyawan Gen Z yang baru mereka rekrut pada tahun 2024. Dalam data yang dipublish GWI salah satu Lembaga market research di USA disebutkan, bahwa 72% Gen Z sangat membatasi diri dalam urusan kehidupan maupun pekerjaan mereka. Mereka juga dinilai kerap menolak hustle culture, hingga menganut the soft life (gaya hidup santai dan nyaman) sehingga lebih sering dianggap malas dan kurang mampu bekerja sama dengan tim dalam dunia kerja.
dr. Elvine Gunawan,Sp.KI seorang spesialis kejiwaan sekaligus pendiri Mental Hub Indonesia, menyatakan bahwa tantangan Gen Z sering dianggap sulit diajak bekerja sama karena empati yang kurang berkembang dan fokus pada diri sendiri. Mereka cenderung melihat pekerjaan hanya sebagai sumber pendapatan, tanpa menganggapnya sebagai tempat pertumbuhan atau pembelajaran. Istilah seperti strawberry generation (generasi rapuh) sering disematkan karena pola asuh orang tua yang terlalu permisif atau memberikan fasilitas berlebihan. Pola asuh yang terlalu memanjakan menyebabkan Gen Z kurang mandiri dan memiliki kemampuan menyelesaikan masalah yang rendah. Over-facilitating dan over-caring dari orang tua membuat anak-anak sulit beradaptasi dengan kerasnya dunia nyata. Anak-anak butuh diberi kesempatan untuk gagal agar mereka belajar dan mengembangkan problem-solving yang baik.
Tumbuhnya kesadaran tentang kesehatan mental membawa tantangan baru, seperti self-diagnosis yang sering keliru. Gen Z lebih berani mencari bantuan profesional, tetapi stigma orang tua terhadap psikiater dan psikolog masih menjadi hambatan. Media sosial memperburuk tekanan pada generasi muda dengan menciptakan kompetisi tidak sehat dan membandingkan diri mereka dengan orang lain.
Hubungan Antar Generasi di Tempat Kerja juga menjadi perhatian dimana Konflik sering terjadi karena perbedaan pola pikir antara Gen Z dan generasi yang lebih tua (Boomers). Pemimpin sering kali kurang inklusif, sementara Gen Z lebih membutuhkan kepemimpinan yang kolaboratif. Gen Z sering dianggap impulsif, mudah menyerah, dan memiliki work purpose yang pendek.
Kondisi ini membutuhkan komunikasi dan kolaborasi, komunikasi yang efektif antara generasi tua dengan generasi muda menjadi kunci penentu. Anak muda perlu belajar menghormati pengalaman generasi sebelumnya, sementara generasi tua harus membuka diri untuk memahami pola pikir Gen Z.
Untuk itu peran orangtua harus adaptif dalam pola asuh, mendukung pertumbuhan anak secara emosional, dan memberikan ruang untuk eksplorasi. Disisi lain pendidikan formal seharusnya fokus pada pengembangan empati, keterampilan memecahkan masalah, dan kemampuan kolaborasi, bukan hanya nilai akademik.
*Penulis adalah dosen STIE Dharma Putra Pekanbaru*
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel : https://whatsapp.com/channel/0029VaZRiiz4dTnSv70oWu3Z dan Google News Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News ya.